-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Lenyap

    Selasa, 08 Desember 2020, Desember 08, 2020 WIB Last Updated 2020-12-07T19:31:11Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh

    Nasi, asam pedas, dan secangkir kopi hitam menyambut kepulangannya, tak sabar apa reaksi yang akan ia tunjukan hari ini, karena semenjak kami menikah ia tidak menunjukan reaksi baik padaku. Langkah kaki terdengar mendekat dan tiba lebih dekat.

    “Assalamualaikum”
    “Waalaikumsalam!” jawabku. Ia memandangku dengan wajah biasa dan melihat hidangan sederhana yang kusiapkan.
    “Ayo makan!” sapaku menawarkan. Ia tutup pintu seraya masuk.

    Dalam keheningan, ia beranjak menuju kamar sambil berkata “Tidak lapar!”
    Jujur saja aku tidak tahan perlakuannya saat ini, aku terus mencoba sabar tapi apa yang dapat ku lakukan, dia tidak mencintaiku, karena pernikahan kami hanya sebuah belas kasihan.

    ***
    Riuh sekolah belum usai, tapi jam sekolah sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Kami berencana belajar kelompok untuk membahas soal-soal menjelang ujian kelulusan kami. Seperti biasanya kami berkumpul di rumah Ahmad, dalam minggu ini sudah ketiga kalinya kami datang, tapi untunglah ayah Ahmad merespon kami dengan sangat baik.

    “Loh, datang lagi?” canda ayah Ahmad yang kebetulan akan pergi keluar.
    “Iya pak, kami ingin belajar kelompok” sahut teman-temanku
    “Belajar kelompok atau…”
    “Maaf pak!” kata seorang temanku merasa tidak enak
    “Eh, kenapa minta maaf. Pergi masuk! Belajar dengan rajin”
    “Eh, ada Sarah?” sapa ayah Ahmad padaku
    “Iya pak, kebetulan ada belajar kelompok”
    “Emak sehat?”
    “Alhamdulillah pak, seperti biasa.”

    Ya, ayah Ahmad tau kehidupanku. Ayahku adalah sahabat karib ayah Ahmad sejak lama. Tapi sejak ayahku meninggal, ayah Ahmadlah yang selalu memberikan perhatian padaku.
    “Sarah, ayo kita mulai!” teriak Ahmad dari dalam rumah
    “Baiklah pak, saya permisi. Assalamualaikum!”
    “Waalaikumsalam”

    Sudah berjam-jam dan berpuluh-puluh soal pun telah kita bahas. Kedekatanku dengan Ahmad ternyata menimbulkan reaksi pada teman-temanku. Padahal mereka saling tau kalau kami hanya sebatas teman, dan hal ini sampai pada ayah Ahmad yang mengira bahwa aku dan Ahmad memiliki hubungan. Dan kami hanya menganggap sindiran teman-teman sebagai lelucon biasa.

    Aku pulang dengan perasaan lega, beban tugas akan berkurang dan hanya fokus pada ujian kelulusan besok. Sedikit berlari aku menyusuri jalanan sepi disertai rintik-rintik air yang mulai membasahi seluruh tubuhku, tapi aku harus pulang sebelum gelap karena Ibu akan sangat khawatir. Dan benar saja, sampai di rumah…

    “Sarah, dari mana nak? Jam segini baru pulang?”
    “Iya bu, tadi Sarah belajar kelompok di rumah Ahmad”
    “Di rumah Ahmad lagi? Nak, jangan seringkali datang ke sana, apa kata orang nanti. Dengan siapa tadi? Ayahnya ada di rumah?”
    “Bu, tadi Sarah belajar kelompok dengan teman-teman, karena besok Sarah akan ujian. Ayahnya tadi pergi keluar tapi kami sempat minta izin!”
    “Hmm baiklah, sekarang mandi cepat nanti kamu demam.”

    Begitulah kekhawatiran emak, ditengah kondisinya yang kini sakit-sakitan ia tidak ingin merepotkan orang lain. Mungkin saja emak takut aku akan menjadi beban bagi ayah Ahmad karena keluargaku sangat berhutang budi pada ayah Ahmad.

    Hingga ujian kulalui dengan aman, dan sekarang hanya tinggal menunggu hasil. Tapi, hari demi hari kesehatan emak kian melemah dan hanya bisa berdiam di tempat tidur, dan kami juga tidak punya cukup uang untuk berobat ke dokter dan aku hanya bisa memberinya obat-obatan di apotik saja. Ditengah keterpurukan kami dan disaat tidak ada jalan lain kami hanya bisa berdoa dan pasrah berharap suatu keajaiban segera datang.

    “Assalamualaikum.., Assalamualaikum!”
    “Waalaikumsalam, sebentar.. Sarah, Sarah.. ada yang datang!” suara serak ibuku membangunkan lamunanku dan bergegas aku mendekati sumber suara.
    “Iya bu..”
    “Buka pintu nak, ada yang datang”
    “Assalamualaikum..!”
    Suara orang itu sekali lagi
    “Waalaikumsalam, siapa? Ada apa pak?” sahutku
    “Kami datang dengan suatu keperluan”
    “Silahkan masuk!”

    Para tamu tak diundang tersebut masuk dengan pakaian rapi, sebagian ada yang menunggu di luar rumah, karena keterbatasan rumah kami yang sempit. Perbincangan basa-basi terus terucap, kabar, sekolah, dan hingga pada akhirnya.

    “Baiklah bu, saya dan rombongan datang kemari ingin menyampaikan pinangan dari keluarga bapak H. Bashir untuk anaknya Ahmad kepada anak perempuan Ibu, Sarah dan akan membantu pembiayaan pengobatan Ibu”

    Ibu terdiam dan mengalihkan pandangannya kepadaku,
    “Setuju!” jawabku tanpa ku berpikir ulang
    “Setuju? Bagaimana bu?” jawab salah satu pria diantara mereka
    “Hmm, maaf pak, saya mohon beri kami waktu untuk mempertimbangkannya” sahut Ibuku
    “Baiklah bu, memang seharusnya begitu”

    “Nak, yakin Sarah akan terima pinangan itu?”
    “Bagaimana lagi bu? pinangan itulah harapan satu-satunya Sarah untuk kesembuhan Ibu”
    “Tapi Sarah, Ibu masih punya Sarah untuk merawat Ibu. Ibu tak setuju dengan pinangan ini. Sarah punya banyak peluang untuk menciptakan masa depan Sarah sendiri, dan Sarah tidak bisa memutuskan begitu saja”
    “Bu, tapi pinangan inilah peluang untuk kesembuhan Ibu kan?”
    “Ibu masih tidak setuju nak, coba Sarah pikirkan sekali lagi!”

    Keputusan telah aku ambil..
    “Saya terima nikahnya Sarah binti alm. Hamid dengan seperangkat alat sholat, tunai”

    Doa kerabat, teman dan keluarga mengiringi pernikahan kami, tapi pernikahan ini  tak lebih hanyalah seperti permainan anak-anak. Aku tertekan perlakuan Ahmad padaku. Kami sadar kami bukan lagi sahabat yang dulu belajar bersama, kami adalah suami dan istri. Ada hak dan tanggung jawab yang kami sama-sama penuhi. Kami seperti orang asing, malam ini adalah malam kesedihan bagiku, pada akhirnya aku dan dia sadar kami terlalu muda untuk menjalin hubungan ini, tapi siapa yang berani membela diri, aku sudah memutuskan atas pilihanku sendiri, dan dia atas kehendak ayahnya.

    Tapi disayangkan, aku terlambat berpikir. Besok Ahmad juga akan pergi dan ini juga bukan keputusannya karena ini perintah ayahnya karena Ahmad akan melanjutkan pendidikannya di Amerika. Aku terjebak dalam istana sebagai menantu yang baik dengan semua tugasnya. Ikut bersama Ahmad pun aku tak sanggup meninggalkan ibu. Sekarang hanya tinggal penyesalan, otakku terlalu dangkal untuk berpikir tentang diriku. Ibu benar, aku sudah memutuskan peluang besar masa depanku, beasiswa, universitas kini telah lenyap. 

    Kenyataan ini harus aku telan pahit-pahit. Apalagi, air mata tak bisa merubah kenyataan. Semua terlambat, Ahmad akan pergi jauh dan aku kehilangannya, entah ia kan kembali atau tidak, cita-citanya terlalu tinggi untuk ku iringi. Tapi kesetiaanku sebagai istri tetapku pegang, tanpa cita-cita dan mimpi besar lagi. Sekarang aku juga memutuskan akan kembali pada Ibu walau ditengah kenikmatan yang kudapat sekarang tiada artinya dibanding kebersamaanku bersama Ibu dalam kesederhanaan.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini