Reduce bounce ratesindo Sikapi Temuan BPK, Pengamat BUMN Nilai Harga Jual Pupuk Tak Cerminkan Alokasi Subsidi - Indometro Media

Sikapi Temuan BPK, Pengamat BUMN Nilai Harga Jual Pupuk Tak Cerminkan Alokasi Subsidi


 


Jakarta, Indometro.id - 
Pengamat BUMN, Defiyan Cori menilai harga jual pupuk itu tidak mencerminkan alokasi subsidi yang harusnya diterima oleh petani menyikapi laporan temuan BPK semester II tahun 2020 terhadap PT Pupuk Indonesia (Persero) dan anak perusahaannya, ditemukan beberapa penyimpangan yang merugikan negara.

Diantaranya, temuan BPK itu terkait Harga Pokok Produksi (HPP) yang terlalu tinggi karena memasukan biaya-biaya yang seharusnya bukan komponen biaya produksi sehingga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian. 

Defiyan mengatakan bahwa pertama soal pupuk yang dijual ke petani atau harga pupuknya. Kalau harga pupuk itu ternyata dibeberapa daerah berbeda, bervariasi harga pokok atau harga jualnya ke petani. 

Tetapi kalau berbicara soal pupuk subsidi yang dianggarkan oleh DPR, dia mengira selama ini subsidi harga pupuk yang diterima oleh petani rata-rata lebih mahal dari alokasi subsidi yang sudah dianggarkan oleh DPR. 

"Jadi petani kita itu mendapatkan harga sebenarnya, harga yang sudah di tambah oleh perusahaan pupuk entah Pusri, Kujang saya nggak tahu, yang penting harga jualnya itu sudah tidak mencerminkan alokasi subsidi yang harusnya diterima oleh petani," kata Defiyan saat dihubungi, Selasa, (3/8/2021).

Menurut Defiyan, informasi penemuan semacam itu bukan hanya ditahun 2020 saja tetapi pada tahun sebelumnya pun sudah ada. Namun persoalan semacam itu belum pernah ditindaklanjuti dengan serius. 

Jadi temuan BPK dan pertanyaan anggota Komisi lV DPR RI terhadap temuan BPK ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, hanya saja ini terus terjadi.

Apakah memang betul-betul serius itu untuk mengalokasikan subsidi dan mendistribusikan ke petani, ini yang menjadi tanda tanya publik. 

"Sangat kasian petani, alokasi subsidinya sudah dianggarkan, terlebih harga pupuk di tingkat petani justru tidak mencerminkan mereka memperoleh subsidi," jelasnya. 

Defiyan menjelaskan bahwa persoalan penyaluran pupuk itu harus diketahui, trader yang menyalurkan pupuk dari PT Pusri ke petani itu siapa, misalnya. Berapa suplai chance, manajemen rantai pasoknya itu berapa, sehingga ketika ke petani harganya menjadi mahal. 

"Nah inilah kemudian di jaman Pak Harto (Presiden Soeharto ke-2) tidak terjadi. Makanya saya pernah mengusulkan sejak lama sebelum pemerintahan Jokowi Widodo terbentuk tahun 2014, saya menyampaikan, yang tepat itu bukan mengkorporasikan koperasi tetapi membangun manajemen koperasi ditingkat desa yang lebih profesional, dan efisien bukan korporasi," jelasnya. 

Korporasi itu adalah perusahaan terbatas yang dimiliki oleh orang perorang. Tetapi kalau koperasi basisnya adalah anggota tapi kalau korporasi perseronya itu bentuk kepemilikan saham. Tentu antara keduanya ini berbeda. 

Oleh karena itu, kata Defiyan, pupuk itu seharusnya yang menyalurkan adalah koperasi. Dimana koperasi itu anggotanya adalah para petani. Sehingga kalaupun pupuk mahal, tetapi petani membeli ke koperasinya sendiri yang kemudian keuntungannya itu juga kembali kepada anggota, dimana petani menjadi fair (adil). 

"Saya sudah lama mengusulkan, jadi koperasi Unit desa itu harus direvitalisasi dengan pendekatan manajemen, profesional, pendampingan konsultan manajemen, literasi keuangannya harus masuk," kata dia. 

Sehingga biaya produksi petani atau harga pokok produksi di pertanian itu betul-betul mencerminkan harga yang wajar. Harga beras itu harga yang wajar sehingga kesejahteraan petani juga diakomodasi karena tidak adanya HPP yang dihitung secara wajar sehingga petani itu tidak pernah merasakan kesejahteraannya. 

"Harga berasnya murah sementara pupuknya mahal. bagaimana mereka mau sejahtera, harga berasnya murah pupuknya mahal. Tenaganya, bagaimana mau menghitungnya, sementara mereka butuh menghidupi keluarganya, butuh sandang pangan, dan butuh juga pendidikan serta kesehatan. Ini yang tidak pernah setelah Reformasi itu dipikirkan oleh para ekonom," terangnya.

Defiyan menegaskan bahwa dirinya konsen dibidang pangan, energi dan air yang bertujuan untuk menyelamatkan sandang, pangan, papan masyarakat, dan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. 

"Ini yang harus diperkuat dulu sebagai fundamental ekonomi," tegasnya. 

Terkait dengan temuan BPK, Defiyan juga mengatakan, bahwa BPK harus memberikan catatan supaya ditindaklanjuti secara hukum dan rekomendasi BPK itu harus jelas. Sehingga pertanyaan Komisi lV DPR terkait dengan alokasi subsidi penyimpangan itu harus dijelaskan oleh aparat hukum. 

"Sehingga ada efek jera terhadap orang-orang yang bermain di level trader perdagangan pupuk ini sehingga membuat petani yang dirugikan," ungkapnya. 

Menurut Defiyan, hulunya harus dibenahi sehingga hilirnya itu dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat petani. Sesuai dengan inti pasal 33 yang sebenarnya. 

Oleh karena itu perekonomian harus disusun berdasarkan kerangka bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Selama kerangka pikirnya kapitalisme dan liberalisme dan mekanisme pasar, selama itu pula petani tidak akan mendapatkan haknya secara wajar. 

"Petani juga tidak akan mendapat manfaat dari alokasi subsidi, sehingga yang mendapatkan kapital gane, rente dari perdagangan pupuk itu adalah kelompok yang memang mencari keuntungan didalam memanfaatkan distribusi pupuk ini," tuturnya. 

Defiyan juga mengungkapkan bahwa penetapan subsidi pupuk tidak pernah mengajak bicara para petani. Bagaimana, wakil petani tidak bisa dipanggil ke DPR Senayan untuk berdiskusi soal pertanian. Paling tidak Asosiasinya, wakil masyarakat petaninya, sehingga masyarakat petani betul-betul merasakan ada wakilnya yang memperhatikan mereka. 

Jangan hanya sekedar untuk mengambil ceruk atau suara, seolah-olah memperhatikan kesejahteraan petani. Tetapi permasalahan pokoknya tidak dibenahi. Permasalahan pokok yang mendasar adalah ada rente, ada rantai panjang yang tidak menguntungkan posisi petani didalam memperoleh harga pupuk yang wajar. 

Untuk memperbaikinya tidak hanya kebijakannya, kebijakannya sudah benar mengalokasikan subsidi. Tetapi pembenahan kelembagaannya yang mengelola pupuk ini yang belum benar. 

Kalau selama ini yang memegang suplai chance, manajemennya, rantai pasoknya itu adalah orang-orang yang mencari keuntungan, selama itu pula petani tidak akan memperoleh harga pupuk yang wajar dan tidak akan memperoleh harga jual beras dipasar yang menguntungkan mereka, yang memperhitungkan biaya-biaya yang masuk didalam pembentukan beras, menanam beras. Karena untuk semua itu ada biaya pupuk, air, saluran air, perawatan, dan biaya tenaganya.

"Pernah nggak itu petani menghitung itu secara mandiri sehingga mereka punya posisi tawar juga untuk menjual harga beras itu ke pasar. Ini yang tidak dimiliki oleh petani saat ini karena tidak ada kelembagaan yang menaungi mereka secara manajerial dalam konteks pembentukan harga pokok produksi beras itu untuk dijual ke pasar," tukasnya. 

Sementara Anggota Komisi Vl DPR-RI Fraksi PAN, Nasril Bahar mengatakan setiap penyimpangan terhadap penempatan biaya sehingga dapat menciptakan harga pokok produksi yang tinggi, yang dimana penempatan penempatan komponen-komponen biaya itu yang padat sesungguhnya tidak tepat bukan dimasukkan kedalam komponen harga produksi yang merupakan temuan dari BPK katanya itu. 

"Kalau memang sudah ada termasuk temuan-temuan BPK itu secara otomatis korporasi yang bersangkutan baik secara langsung pada saat tahun buku berikutnya secara bertahap mereka akan menyelesaikan itu dalam tempo waktu yang ditetapkan oleh BPK," kata Nasril ketika dihubungi, Selasa (3/8/2021). 

Nasril menjelaskan bahwa kalau hal itu merupakan temuan, maka korporasi yang bersangkutan akan melakukan perubahan atau perbaikan dan sekaligus menggantikan dan mengeluarkan komponen biaya itu. 

"Komponen biaya yang sudah dimasukkan berapa jumlah nilainya tentunya pupuk Indonesia akan menggantinya. Apakah akan berimplikasi hukum itu apa boleh buat. Artinya manajemennya nggak kredibel, dan tidak fair didalam memasukkan komponen biaya," jelasnya. 

"Itu secara otomatis mereka harus lakukan dan akan melaporkannya di RUPS," sambung dia. 

Menurut Nasril, di DPR sendiri ada pengawasanya yang disebut Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKN) dan persoalan itu akan dibahas disana. Dan akan ditindaklanjuti dengan memberikan info selanjutnya kepada komisi yang terkait, apa Komisi Xl DPR-RI, apa Komisi Vl DPR-RI dan Komisi lV nantinya. 

"Kita jangan berandai-andai mengatakan itu korupsi terlebih dahulu. Ngga bisa. Kalau hanya komponen-komponen biaya dimasukkan ke komponen produksi itu harus dikeluarkan. Artinya manajemen akuntansi itu tidak akuntabel," tuturnya. 

Jadi, kata Nasril, PT Pupuk Indonesia harus memperbaiki semua hal-hal yang dianggap penyimpangan tersebut. 

Selanjutnya, penilaian dari Kementerian Perekonomian Negara terhadap PT Pupuk yang menyusun dan menentukan harga pokok produksi mereka itu tidak kredibel. Sehingga harga produksi tinggi mengakibatkan subsidi yang dialokasikan oleh negara semakin besar. 

"Ini akan diproses oleh BPK, kalau memang ada indikator penyimpangan tersebut tindak pidana korupsi maka diproses secara hukum. Jadi sederhana saja itu," tukasnya. 


Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Slamet mengatakan berdasarkan laporan temuan BPK semester II tahun 2020 terhadap PT Pupuk Indonesia (Persero) dan anak perusahaannya yaitu PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Sriwijaya Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Indonesia Logistik, ditemukan beberapa penyimpangan yang merugikan negara.

Atas hal itu, Slamet menyampaikan, di tengah penghargaan atas keberhasilan PT. Pupuk Indonesia HC membukukan keuntungan, namun tetap harus memperhatikan temuan BPK tersebut.

"Jangan sampai ada kesan subsidi pupuk untuk petani justru banyak dinikmati oleh BUMN Pupuk," kata Slamet dilaman www.dpr.go.id Selasa, 20 Juli 2021 yang diikutip, Selasa (3/8/2021). 

Slamet menjelaskan, ada banyak temuan BPK terkait Harga Pokok Produksi (HPP) yang terlalu tinggi karena memasukan biaya-biaya yang seharusnya bukan komponen biaya produksi sehingga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/Sr.130/1/2012 Tentang Komponen Harga Pokok Penjualan Pupuk Bersubsidi untuk sektor pertanian.

"Temuan lain dalam laporan BPK tersebut adalah terkait manajemen hubungan kerja dengan para rekanan yang menyebabkan pemborosan pada biaya distibusi yang ujungnya juga dibebankan pada Harga Pokok Produksi yang menyedot subsidi pupuk negara pada pembiayaan yang tidak semestinya," jelasnya.

Selain itu, Slamet melanjutkan, ditemukan juga penyaluran pupuk bersubsidi yang belum direncanakan, dilaksanakan dan dipantau secara cermat sehingga tidak tepat sasaran mulai dari distributor sampai ke pengecer. Hal ini berpotensi ada petani yang tidak mendapatkan haknya sesuai eRDKK, atau menyebabkan kelangkaan pupuk di lapangan.

"Persoalan besar pupuk bersubsidi terletak pada besarnya angka subsidi pupuk oleh negara dan manajemen penyaluran yang tidak tepat sasaran menyebabkan pupuk bersubsidi langka, sehingga tetap tidak bisa dirasakan oleh banyak petani dan tidak bisa mendongkrak produktifitas petani. Alhasil angka pertumbuhan produksi panen padi petani menjadi stagnan bahkan cenderung menurun," ungkap dia. 

Selamat mengatakan bahwa angka subsidi yang sebesar Rp34,2 triliun hanya baru mensubsidi sekitar 34 persen dari kebutuhan eRDKK, atau sekitar 8,8 juta ton dari 26,2 juta ton.

Namun disisi lain, sebenarnya banyak kemampuan petani yang bisa dilihat, UKM dan perusahaan swasta menciptakan pupuk murah yang bagus dan diminati petani. Tetapi pemerintah melakukan pembatasan dan mekanisme izin yang super ketat sehingga sulit ditembus, lebih ketat dari masuknya pupuk impor.

"Di tengah kelangkaan pupuk bersubsidi dan tingginya subsidi pupuk, saya menyarankan agar presiden membuka pembatasan peran serta masyarakat untuk ikut membangun negara melalui penemuan pupuk bagus dan murah dan menekan pemborosan. BUMN harus efisien dan tidak kalah bersaing dengan pupuk buatan petani, UKM atau swasta lainnya," tandasnya. (sumber) 

Posting Komentar untuk "Sikapi Temuan BPK, Pengamat BUMN Nilai Harga Jual Pupuk Tak Cerminkan Alokasi Subsidi"

PELUANG TIAP DAERAH 1 ?