Bandar Lampung,Indometro.id –
Kelompok Studi Kader (KLASIKA) mengecam tindakan aparat kepolisian yang menjadikan buku sebagai barang bukti dalam sejumlah kasus kerusuhan saat demonstrasi mahasiswa dan masyarakat. Direktur KLASIKA, Ahmad Mufid, menilai langkah tersebut sebagai bentuk kriminalisasi pemikiran dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi, Sabtu (20/9/2025).
Mufid mengungkapkan praktik penyitaan buku yang terjadi di berbagai daerah mengingatkan pada sejarah kelam pembredelan dan pelarangan buku di Indonesia. Ia mencontohkan kasus di Bandung, Jawa Barat, ketika polisi tidak hanya menetapkan tersangka kericuhan di DPRD Jawa Barat, tetapi juga menyita sejumlah buku bacaan, di antaranya karya Pramoedya Ananta Toer dan literatur tentang anarkisme.
Hal serupa juga terjadi pada kasus hukum Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, yang ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya. Polisi turut menyita sejumlah buku dari kantor Lokataru maupun kediaman pribadi Delpedro. Di Surabaya, Jawa Timur, polisi juga menyita 11 judul buku dari tersangka kasus pembakaran Pos Lantas Waru, Sidoarjo.
Menurut Mufid, penyitaan buku bermasalah secara hukum karena bertentangan dengan KUHAP yang hanya membolehkan penyitaan terhadap barang yang diduga digunakan langsung untuk tindak pidana. Ia menegaskan, hak untuk membaca dan memiliki buku dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E dan 28F, serta dikuatkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang menyatakan pelarangan atau penyitaan buku hanya bisa dilakukan melalui proses pengadilan.
“Penyitaan buku tanpa dasar yang jelas adalah cacat prosedural dan inkonstitusional. Itu bukan hanya masalah hukum, tapi juga ancaman serius terhadap kebebasan akademik dan demokrasi,” tegasnya.
Berdasarkan hal itu, KLASIKA menyampaikan tiga sikap tegas. Pertama, menolak bangkitnya praktik otoritarianisme melalui pelarangan buku. Kedua, mendesak aparat penegak hukum menghentikan penyitaan buku yang tidak relevan dengan tindak pidana. Ketiga, meminta pemerintah dan semua pihak menghormati kebebasan berekspresi dan akademik sebagaimana dijamin konstitusi.
“Buku adalah ruang gagasan, bukan alat kekerasan. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika keberagaman gagasan dijaga, bukan dibungkam,” pungkas Mufid. (*)


Posting Komentar untuk "KLASIKA Kecam Penyitaan Buku Sebagai Barang Bukti Kerusuhan"