Aceh Tenggara,Indometro.id -
Proyek peningkatan jaringan irigasi di Desa Namo Buloh, Kabupaten Aceh Tenggara, yang dibiayai oleh Dana Otonomi Khusus (Otsus) tahun 2025, kini menuai sorotan tajam dari publik. Proyek sepanjang 402 meter itu menyedot anggaran fantastis senilai Rp 755.093.000, meski secara teknis hanya berada di wilayah datar, bukan daerah perbukitan atau rawan longsor.
Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya indikasi markup anggaran atau penggelembungan biaya proyek, yang dapat merugikan keuangan negara serta mencederai tujuan utama dana Otsus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ketua DPD LKGSAI Aceh: “Kami Curiga Ini Sarang Korupsi!”
Ketua DPD Lembaga Komando Garuda Sakti Aliansi Indonesia (LKGSAI) Provinsi Aceh, Saidul, secara tegas menyatakan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan data dan bukti untuk melaporkan proyek tersebut ke penegak hukum.
“Kami menilai proyek irigasi di Namo Buloh berpotensi kuat mengarah pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Masa hanya 402 meter di tanah datar bisa sampai Rp 755 juta? Ini tidak masuk akal. Kami akan laporkan ini ke kejaksaan dan bila perlu ke KPK,” tegas Saidul, Senin (5/8/2025), di Kutacane.
Perhitungan: Biaya Tak Masuk Akal
Jika mengacu pada standar RAP nasional untuk pekerjaan irigasi di lahan datar, rata-rata harga per meter hanya Rp 850.000 s.d. Rp 1.100.000/meter.
Estimasi Wajar:
402 meter × Rp 1.100.000 = Rp 442.200.000
Namun nilai kontrak yang tercantum dalam papan proyek adalah:
Rp 755.093.000
* Selisih: ±Rp 312.893.000
*Mark up: 70% dari harga wajar
Perusahaan pelaksana: CV. Aceh Cremona Construction
Perencana: CV. Prima Aceh Engineering
Pengawas: CV. Cariandri Engineering Consultant
Ketiganya patut ditelusuri rekam jejak proyeknya. Dugaan pola kerja sama antara perencana, pelaksana, dan pengawas tanpa pengawasan ketat dari pemerintah menimbulkan risiko moral hazard yang tinggi.
Dasar Hukum yang Dilanggar Bila Terbukti Korupsi
Jika benar terdapat unsur penggelembungan harga dan kerugian keuangan negara, maka proyek ini dapat melanggar berbagai regulasi hukum, di antaranya:
1. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
> Pasal 2 Ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain... yang merugikan keuangan negara... dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta.”
2. Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah:
Pasal 6: “Setiap pelaku pengadaan wajib melaksanakan pengadaan secara efisien, transparan, dan akuntabel.”
3. PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP):
Pemerintah daerah dan OPD harus menjamin bahwa semua program pembangunan berjalan sesuai ketentuan dan tidak merugikan keuangan daerah.
LKGSAI Desak Audit dan Tindak Lanjut
Ketua LKGSAI Aceh, Saidul, mendesak Inspektorat Kabupaten Aceh Tenggara, BPKP Perwakilan Aceh, dan Kejaksaan Negeri agar segera melakukan audit dan pemeriksaan terhadap proyek tersebut.
“Jangan tunggu proyek ini selesai baru heboh. Ini uang rakyat. Kalau memang ada dugaan kerugian negara, kami minta ditindak, dan pelaku diproses hukum sampai ke meja hijau,” tambah Saidul.
Uang Rakyat Bukan untuk Dikorupsi
Dana Otsus semestinya digunakan seefektif mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, khususnya infrastruktur pertanian seperti jaringan irigasi yang langsung menyentuh kehidupan petani. Proyek-proyek fiktif atau mark-up seperti ini justru akan menjadi penghambat pembangunan dan memperkuat budaya korupsi di daerah.
Media dan masyarakat diharapkan ikut aktif memantau jalannya proyek ini. Jangan sampai dana Otsus hanya menjadi ladang bagi oknum untuk memperkaya diri. ***


Posting Komentar untuk "Proyek Irigasi Namo Buluh Rp 755 Juta Di Lahan Datar Dipertanyakan,Ketua LKGSAI Aceh: Ini Berbau Kecurangan !"