Aceh Tenggara,Indometro.id –
Proyek peningkatan jaringan irigasi di Desa Namo Buloh, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, yang didanai dari Dana Otsus 2025 senilai Rp755.093.000, kini menjadi sorotan.
Semula diharapkan membawa kesejahteraan, proyek ini justru menimbulkan keresahan baru di tengah masyarakat.
Sebelumnya, nilai kontrak proyek ini telah memicu pertanyaan publik. Kini, polemik semakin meruncing dengan munculnya keluhan dari warga pemilik lahan yang merasa dirugikan akibat aktivitas pembangunan.
Kebun yang menjadi tumpuan hidup mereka, kini terancam tak bisa lagi ditanami.
Kisah Pilu dari Ladang Jagung Brimob
Tim investigasi dari LSM DPP Komunitas Pemburu Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) yang dipimpin oleh Saidul, turun langsung ke lokasi proyek.
Di sana, mereka bertemu dengan Brimob, seorang petani yang hatinya hancur melihat kondisi kebunnya.
"Abang lihat saja kebun saya ini, sudah padat diinjak-injak alat berat dan mobil dam truk.
Bekas adukan material semen nanti akan mengeras, dan tidak bisa ditanami jagung lagi," ungkap Brimob dengan nada kecewa kepada tim KPK-RI.
Brimob menjelaskan bahwa pihak pelaksana proyek, CV. Aceh Cremona Construction, tidak pernah sekalipun berkomunikasi atau meminta izin kepadanya sebagai pemilik lahan.
Kebunnya kini telah beralih fungsi menjadi area camp dadakan, tempat pengadukan semen, dan jalur lalu lintas kendaraan proyek.
"Sebetulnya kami tidak melarang proyek ini. Tapi, kami perlu diskusi dulu dengan pihak kontraktor.
Apakah nanti setelah selesai, mereka mau membersihkan bekas-bekas tempat adukan semen itu? Dan apakah mereka bersedia menteraktorkan kebun kami yang sudah padat diinjak truk? Ini yang tidak jelas," lanjutnya, menyiratkan harapan akan tanggung jawab dan kejelasan.
Etika Pembangunan yang Terabaikan
Temuan di lapangan ini semakin memperkuat dugaan bahwa proyek yang sejatinya dibiayai oleh uang rakyat ini, belum sepenuhnya menganut asas partisipasi masyarakat dan penghormatan terhadap hak-hak warga sekitar.
Menjadikan kebun warga sebagai basis operasional proyek tanpa izin tertulis atau lisan, adalah bentuk kelalaian serius yang berpotensi memicu konflik sosial.
"Ini pelanggaran etika teknis dan sosial. Pihak pelaksana wajib berkoordinasi dengan masyarakat terdampak sebelum memulai pekerjaan di luar area saluran irigasi," tegas Saidul.
KPK-RI mendesak Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Aceh Tenggara untuk segera turun tangan menengahi dan memediasi persoalan ini.
Proyek yang dibiayai APBK-DOKA ini seharusnya membawa manfaat, bukan malah menimbulkan kerugian bagi petani lokal yang menggantungkan hidupnya pada tanah.
Desakan Evaluasi dan Tanggung Jawab Kontraktor
Lebih jauh, LSM KPK-RI mendesak agar Pemkab Aceh Tenggara melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kontraktor pelaksana.
Mereka juga menuntut klarifikasi tertulis dari CV. Aceh Cremona Construction atas dugaan kelalaian sosial ini.
"Jika tidak segera ditindaklanjuti, dikhawatirkan akan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proyek pemerintah dan bisa berdampak pada konflik horizontal," ujar Saidul, memberikan peringatan keras akan potensi masalah yang lebih besar.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak pelaksana maupun dari Dinas teknis terkait. KPK-RI menegaskan akan terus mengawal proyek ini hingga tuntas, termasuk mendokumentasikan setiap kerusakan lahan warga sebagai bahan laporan ke Inspektorat dan Ombudsman RI Perwakilan Aceh. ***


Posting Komentar untuk "Proyek Irigasi Otsus 2025 di Namo Buloh: Janji Pembangunan yang Berujung Keluhan Warga"