(perwakilan DPP LSM KPK-RI)
ACEH TENGGARA | INDOMETRO.ID – Meski Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara mengklaim telah merampungkan pembentukan Koperasi Merah Putih Syariah di seluruh 385 desa, sejumlah pihak justru mempertanyakan keabsahan dan kesesuaian proses tersebut dengan aturan hukum nasional yang berlaku.
Langkah cepat dan serentak ini menimbulkan keraguan dari kalangan pemerhati kebijakan publik dan aktivis antikorupsi. Banyak yang menduga bahwa pembentukan koperasi ini tidak melalui prosedur yang sah secara teknis dan administratif, serta berpotensi hanya formalitas demi memenuhi target pusat.
Indikasi Proses Top-Down dan Tidak Partisipatif
Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pembentukan koperasi harus dilakukan secara sukarela atas inisiatif masyarakat, bukan atas dasar perintah struktural atau pemaksaan dari atas.
Namun, beberapa pengakuan dari perangkat desa menunjukkan adanya indikasi pendekatan top-down yang tidak melibatkan musyawarah atau pemahaman memadai dari warga. “Kami hanya dikirimi formulir, diminta setor nama, dan langsung tanda tangan. Tidak ada sosialisasi atau pelatihan,” ujar salah satu kepala dusun di wilayah Kecamatan Lawe Alas.
Penuhi Target Tapi Abaikan Prosedur?
Dinas terkait mengklaim bahwa seluruh koperasi telah memiliki akta notaris dan badan hukum dalam kurun waktu 21 Mei hingga 25 Juni 2025. Namun proses sesingkat ini sulit dipercaya dapat memenuhi semua syarat legal formal, seperti:
Rapat pendirian koperasi dengan calon anggota
Penyusunan AD/ART berdasarkan hasil rapat
Pelatihan atau pendidikan dasar perkoperasian
Verifikasi keabsahan keanggotaan dan kepengurusan
Jika proses ini dilewati atau dipercepat tanpa kedalaman, maka bisa disimpulkan bahwa yang terbentuk hanyalah koperasi di atas kertas, bukan koperasi fungsional.
Inpres Tidak Menggugurkan Aturan Teknis
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 memang mendorong lahirnya koperasi syariah desa, namun Inpres bersifat kebijakan umum, bukan instrumen hukum teknis. Pelaksanaan di lapangan tetap harus mengikuti undang-undang, peraturan menteri, dan kaidah hukum organisasi koperasi.
Ketika prosedur formalitas lebih ditonjolkan ketimbang kesiapan sumber daya manusia, koperasi bisa gagal menjalankan fungsinya sebagai penggerak ekonomi rakyat.
LSM KPK-RI: Kami Akan Lakukan Audit Sosial
Perwakilan DPP LSM Pemantau Pemburu Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI), Saidul Amran, menyampaikan kekhawatirannya atas dugaan pelanggaran prosedur ini. Ia menegaskan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan bukti dan testimoni dari berbagai desa.
“Jangan sampai koperasi ini hanya proyek formalitas yang menghabiskan anggaran tanpa manfaat bagi rakyat. Kami akan lakukan audit sosial dan investigasi lapangan, demi memastikan bahwa setiap dana dan proses berjalan sesuai hukum,” tegas Saidul.
Menurutnya, jika terbukti ada rekayasa atau manipulasi dalam pembentukan koperasi, maka pihaknya siap melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum.
Masyarakat Butuh Hasil Nyata, Bukan Sekadar Papan Nama
Pembentukan koperasi desa berbasis syariah memang penting, namun substansi jauh lebih penting daripada seremonial. Pemerintah daerah perlu membuktikan bahwa 385 koperasi yang diklaim sudah terbentuk itu benar-benar ada, aktif, memiliki kegiatan ekonomi nyata, dan tidak menjadi beban anggaran daerah.
Masyarakat menunggu bukti, bukan sekadar klaim. ***


Posting Komentar untuk "Benarkah Pembentukan Koperasi Merah Putih Syariah di Aceh Tenggara Sudah Sesuai Aturan?"