-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    MMK di Aceh Utara, Abu Blangjruen. Ungkap Hakikat Keimanan Kepada Allah SWT

    Senin, 22 November 2021, November 22, 2021 WIB Last Updated 2021-11-23T06:29:32Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh

     


    Aceh Utara, indometro.id - Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Utara, Tgk. H.Abdul Manan (Abu Blangjruen)  mengisi muzakarah masalah keagamaan (MMK) se-Aceh Utara yang berlangsung selama tiga lokasi terpisah sejak 21 - 23 Novemver 2021. 


    Kegiatan yang dibuka wakil bupati Fauzi Yusuf sehari sebelumnya, dengan menerapkan protokol kesehatan covid-19, para peserta antusias mendengarkan materi yang dibawakan oleh pemateri pemateri luar daerah, yakni Wakil Ketua MPU Aceh, Dr.Tgk. H. Muhibbuththabary,M.Ag, dan Saptono Budi Satryo (Sharing Banking Academy) dari Jakarta. Selain itu ketua MPU Kabupaten Aceh Utara, Tgk. H. Abdul Manan, Wakil Ketua MPU Aceh Utara, Tgk. H. Jafar Sulaiman.

    Dalam muqaddimahnya, Abu Blangjruen menyampaikan rukun iman yang paling mendasar dalam Islam adalah keimanan kepada Allah SWT, sebagai Sang Pencipta bagi sekalian makhluk dan yang menanggung segala kebutuhan makhluk baik yang terlihat secara kasat mata (lahiriyah) maupun secara bathiniyah, yang mencakup segala nikmat, rahmat, dan hidayah. Ia pun member materi dengan hakikat keimanan kepada Allah SWT.

    Karena keimanan kepada Allah SWT adalah keimanan yang paling pokok, maka wajib bagi 
    sekalian makhluk mengenal-Nya dengan sebenar-sebenar kenal, mengetahui eksistensi ketuhanan-Nya, serta mengetahui ketentuan-ketentuan-Nya, agar memenuhi pokok-pokok dasar keimanan kepada-Nya semata-mata.
    Keimanan kepada Allah SWT merupakan Aqidah yang paling dasar. Aqidah adalah keyakinan yang pasti dan keputusan yang mu’tamad, tidak bercampur dengan syak atau keraguan pada seseorang yang beraqidah. 

    Sehingga aqidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang teguh tanpa disertai keraguan di dalam hati. Aqidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya:
    بِ ِعبَا َدِة َربِِّ ِه أَ ف َح ًدا َ َم ْن َكا َن يَ ْر ُجو ِلقَا َء َربِِّ ِه فَلْيَ ْعَم ْل َع َمال َصاِل ًحا َوال يُ ْشِر ْك
    Artinya: Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada￾Nya. (QS. Al Kahfi: 110). Ayat tersebut menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan kesyirikan.

    "Oleh sebab itulah para rasul sangat memperhatikan perbaikan aqidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para rasul kepada kaum mereka: 
    “Menyembah kepada Allah saja dan tidak menyembah kepada selain Allah Swt.” ungkapnya dalam materi yang diterima kepada media ini, Senin (22/11/2021).

    Keesaan Allah SWTKeimanan kepada Allah SWT adalah meyakini semua yang ada pada Allah SWT dan meyakini semua yang tidak ada bagi Allah SWT. Oleh karena itu, kita wajib meng-isbatkan ada pada Allah SWT karena Allah itu memang ada. Demikian juga kita wajib meng-isbatkan sesuatu yang tidak ada bagi Allah SWT, seperti syirik dan anak, karena memang syitik dan anak itu tidak ada pada Allah 

    Keesaan pada Allah SWT juga disebut dengan istilah Tauhid. Tauhid adalah mengesakan Allah sebagai zat wajib wujud yang tiada Ta’addud pada Wujud dan Maujud. Berarti Allah SWT adalah Ahad, yang pengertiannya adalah satu dalam hitungan dan satu pula dalam bilangan. Tauhid pada Allah SWT tidak hanya membicarakan tentang Zat, tetapi mencakup sifat dan Af’al. Maka tidak dinamakan Tauhid jika seseorang hanya beriman pada Ahad zat Allah SWT, sedangkan pada sifat dan Af’al Allah SWT diimani keesaan-Nya. 

    1. Keesaaan Zat Allah SWT
    Keimanaan pada keesaan zat Allah SWT adalah mengesakan dengan penuh keyakinan 
    (Keimanan) bahwa Zat Allah SWT itu tunggal (Ahad), bukan dua, tiga, dan seterusnya. Zat Allah SWT juga tidak terdiri dari juzuk-juzuk (anggota/bagian) seperti tangan, kaki, wajah, dan sebagainya. Zat Allah SWT tidak serupa dengan makhluk, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran surah Asyura 
    ayat 11, berbunyi:
    ۦ َش ۡي ءۖٞ َو ُهَو ٱل َّسِمي ُع ٱلۡبَ ِصي ُرهلَۡي َس َكِمثِۡل
    Artinya: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat (QS. Asyura: 11). 
    Ketidakserupaan Zat Allah SWT menunjukkan kepada kekekalan, tiada awal dan akhir, sebalik dari makhluk yang ada awal dan akhirnya, serta terjadi perubahan pada manusia dari tiada menjadi ada, dari kecil menjadi tua, kemudian binasa. Atau dari hidup menjadi mati, dan dihidupkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka pada Hari Akhir.

    Dengan demikian, Zat Allah SWT merupakan perwujudan dari adanya Allah. Sama halnya 
    manusia ada, karena Allah dan dzat-Nya ada. Zat Allah SWT merupakan satu perwujudan yang berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan pada zat yang lain. Sangat berbeda dengan manusia yang membutuhkan Allah SWT untuk bisa hidup. Adanya alam, malaikat, jin, dan manusia itu tercipta 
    karena adanya akibat dari adanya Zat Allah. Semua ada karena Zat Yangmaha Qadim. Zat Allah SWT memiliki sifat-sifat yaitu sifat yang wajib, sifat yang mustahil bagi Allah, dan sifat yang Jaiz pada Zat Allah SWT.

    2. Keesaan Sifat Allah SWT
    Tauhid terhadap sifat Allah SWT adalah mengesakan dengan sesungguhnya bahwa Allah SWT memiliki sifat yang tidak bisa disifati oleh makhluk. Artinya, tidak ada satu pun dari makhluk yang dapat menyamai dengan sifat Allah SWT. Karena sifat Allah SWT mengandung unsur Ahad (keesaan), 
    berarti tidak ada syarikat/sekutu bagi-Nya. Seperti sifat Qudrah Allah SWT yang tidak dimiliki oleh manusia. Kemampuan manusia hanya sebatas apa yang diberikan oleh Allah SWT.

    3. Keesaan Af’al Allah SWT
    Selain Ahad atau esa pada zat dan sifat, Allah SWT juga Ahad perbuatan-Nya. Artinya tidak 
    ada satu makhluk pun yang dapat menyamai, bahkan menandingi perbuatan Allah SWT. Bahkan perbuatan atau kejadian pada manusia telah Allah ciptakan pada Azali. Firman Allah SWT:
    هللا خلقكم و ما تعملون
    Artinya: Allah yang telah menciptakan dan apa saja yang engkau kerjakan. Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa Allah SWT yang menciptakan makhluk dan menciptakan perbuatan makhluk. Apabila seseorang beriktiqad bahwa Allah SWT yang menciptakan makhluk dan Allah pula yang menciptakan perbuatan makhluk, maka seseorang tersebut sudah termasuk orang beriman.

     Sedangkan apabila seseorang beriktiqad bahwa Allah SWT yang 
    menciptakan makhluk, sedangkan perbuatan makhluk tidak diciptakan oleh Allah SWT, namun makhluk itu sendiri yang menciptakannya, maka orang tersebut telah jadi kafir. Tapi perlu diketahui bahwa perbuatan manusia tersebut tidak tersentuh dengan Allah SWT. Sebagaimana contoh, perbuatan mencuri itu diciptakan Allah SWT, tapi Allah SWT tidak melakukannya, karena perbuatan mencuri tidak tersentuh dengan Allah SWT. Tapi yang nampak perbuatan mencuri adalah manusia, sebab 
    manusia yang melakukannya, Allah SWT hanya menciptakannya.

    Dari penjelasan tersebut sahlah dikatakan, bahwa Allah SWT memasukkan seseorang ke dalam syurga karena dia taat dan Allah memasukkan orang bermaksiat ke dalam neraka. maka, iman seseorang sangat bernilai di sisi Allah. Nilai ibadat seukuran dengan nilai iman. Sempurna iman maka sempurna nilai ibadat, demikian pula sebaliknya. 

    Ketentuan Allah SWT terhadap manusia disebut “Qadar.” Qadar ini telah ditentukan Allah SWT pada Azali, apakah dia kaya, miskin, bahagia, celaka, dan sebagainya. Sebagai contoh, Allah SWT telah mentakdirkan seseorang itu kaya pada masa Azali atau disebut juga Saabiq (terdahulu), maka usaha dan doa yang dilakukan di dunia ini merupakan Laahiq yakni suatu perbuatan yang menghubungkan pada Qadarullah pada Azali. Wallahu A’lam Bish Shawab.


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini