-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Andi Arief Tuding Moeldoko Mainkan Rencana Busuk, Jubir Yusril: Andi Penuh Delusi Tak Beralasan

    Senin, 27 September 2021, September 27, 2021 WIB Last Updated 2021-09-28T02:55:44Z

    Ads:



    Jakarta, indometro.id

    Polemik Yudisial Review Ad/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung masih berlanjut. Kali ini datang dari Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arif yang menunding Moeldoko akan mainkan rencana busuk melalui kamar gelap kekuasaan terkait pengajuan Judicial Review AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung oleh Yusril Ihza Mahendra. 

    Atas tudingan tersebut, Juru Bicara Yusril Ihza Mahendra, Jurhum Lantong menyampaikan sikapnya, ia mengatakan bahwa hari ini muncul pernyataan yang bombastis dari Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arief yang menegaskan partainya tidak takut menghadapi pengacara Yusril Ihza Mahendra yang hendak menggugat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung.

    Jurhum Lantong mengatakan bahwa Andi Arief melalui sebuah postingan video di akun milik pribadinya @Andiarief, yang juga dikutip beberapa media, dengan kalimat yang hiperbolik, 

    "Andi memaklumatkan jika Demokrat hanya takut pada Kepala Staf Presiden, Moeldoko, yang berpotensi menggunakan instrumen kekuasaan dalam sengketa ini," kata Jurhum melalui pesan elektronik kepada indometro.id, Senin (27/9/2021). 

    Dalam postingannya, Andi Arief mengatakan bahwa Yusril tak pantas jumawa.

    "Sebab yang kami takutkan bukan mulutnya Yusril, tapi kamar gelap kekuasaan yang akan dimainkan Moeldoko untuk memainkan rencana busuknya," kata Andi yang dikutip Jurhum, Senin, 27 September 2021.

    Juru Bicara Yusril melanjutkan, dari kalimat itu, ia mencatat cara berpikir Andi yang penuh delusi dari kecamuk rasa benci yang tak beralasan terhadap Yusril yang menjadi kuasa hukum anggota Partai Demokrat yang mengajukan judicial review AD/ART Partai Demokrat. 

    Ketika ia berusaha menyematkan kata ‘jumawa’ pada sosok Yusril Ihza Mahendra, hampir bisa dipastikan bahwa ia tengah berakrobat kata-kata tanpa makna. 

    Kultur inilah yang selama ini dibangun untuk menghadapi lawan dengan cara menyematkan kalimat pejoratif mereka yang bersebrangan, bukan memperdebatkan pokok pikiran yang tengah diperkarakan.

    "Apa ukuran jumawa Andi, bukankah Yusril sebagai pengacara hanya menjalankan tugasnya sebagai kuasa hukum, yang menempuh jalan legal dengan cara terhormat dan kontitusional melalui jalur Mahkamah Agung. Pekerjaan yang biasa dilakukan oleh para advokat," lanjutnya.

    Jurhum mempertegas, dimana letak jumawa Yusril? Apakah Yusril sudah merasa menang, kan tidak? Andai pun kelak dimenangkan di meja hijau, apakah Yusril patut jumawa, kan tidak juga, ini cara-cara demokratis yang ditempuh, bukan cara-cara barbar. 

    "Apalagi Yusril tak melakukan akrobat kata seperti istilah-istilah tak sesuai porsinya seperti ‘begal’, ‘kudeta’ atau kata tak bermakna lainnya. Idiom politik yang jauh dari kultur diskursus cerdas," tegasnya.

    "Sebagai politisi dan juga aktivis partai, Andi sejatinya mampu menempatkan kata yang punya makna, jangan asal hiperbolik, dan bombastis tapi miskin pemaknaan, sehingga diskursus demokrasi tak buang-buang energi," sambung Jurhum.

    Lebih lanjut, Jurhum Lantong memaparkan, sementara soal ‘kamar gelap’ kekuasaan yang disebutnya akan dimainkan Moeldoko, yang dianggapnya akan memainkan ‘rencana busuk’, juga tak jelas ukurannya. 

    "Lepas dari konflik di internal mereka, antara kubu Moeldoko dan Agus Harimurti Yudhoyono, saya melihat Andi seperti mengidap sindrom paranoid politik," paparnya. 

    Jurhum menjelaskan bahwa sikap ini biasanya dilatari bayang-bayang ketakutan berlebih, seperti yang ia sebut di atas; (yang kami takutkan adalah Moeldoko…). 

    Rasa ketakutan berlebih atau paranoid ini biasanya didasari ilusi keinginan akan kepastian yang mutlak. Padahal setiap kejadian yang akan datang adalah kemungkinan, atau probabilitas. Dan Andi tak membaca atau bisa jadi tak mampu merumuskan kemungkinan itu. 

    Andi tampak dilanda panik, cemas dan khawatir berlebih ketika mendadak Yusril mengungkap permohonan judicial review sesuai mantan keempat kader PD, sehingga perasaannya dibayangi prasangka hingga ilusi tentang manuver yang akan dilakukan seseorang termasuk tuduhannya ke Yusril dan Moeldoko. 

    Karena bayangan itulah, Andi lupa merinci dan menganalisis pokok persoalan yang tengah diajukan keempat kader PD melalui wasilah kantor kuasa hukum Yusril.

    "Karena sikap paranoid pula Andi bermanuver dengan kata-kata hiperbolik. Saya menduga itu untuk menutupi ketidakmampuannya menjelaskan kepada publik ihwal Partai Demokrat yang selama ini masih punya kesan sebagai partai oligarkis, nepotis, dan patriarkis, praktik politik yang jauh dari kesan demokratis," cetus Jurhum.

    Jurhum juga menambahkan, kalau Yusril dan Moeldoko tengah bersiasat mencari celah, ketika celah hukum yang digunakan sesuai prosedur dan konstitusional kenapa harus dianggap tengah bersiasat busuk? 

    "Bukankah kalau mau menggunakan kekuasaan sedari usai KLB sudah ada putusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memihak ke kubu Moeldoko, kan faktanya tidak, justru kubu AHY yang diakui Kemenhukham, lalu dimana letak busuk dan begalnya seperti lantang disuarakan Andi dan kawan kawan? Ya, Andi cuma bisa nuduh tapi faktanya tidak jelas, dan saya kira ini bener-bener sindrom paranoid politik," tambahnya.

    Juru Bicara Yusril menuturkan, ada kalimat yang lebih super-hiperbolik yang Andi kemukakan, yakni ungkapan: "Kami memang harus mati-matian membela partai kami. Sebab ini akan jadi batas lonceng kematian Demokrasi di negeri ini," kata Andi seolah mengglorifikasi diri sebagai pejuang demokrasi.

    Pernyataan itu, kata Jurhum, selain menunjukan sejenis sisa-sisa sindrom berkuasa, karena di masa lalu PD pernah jaya, tapi Andi lupa bahwa lonceng kematian demokrasi yang ia sebut sesungguhnya akibat ulah mereka sendiri.

    Jika partainya punya landasan demokrasi yang kokoh, mengapa masih ada aroma aturan main (AD/ART) yang diduga oleh sebagian kader internal, terutama 4 orang yang mengajukan judicial review sarat oligarkis, nepotis dan represif, hingga membuat partai ini terus bergejolak. 

    "Jadi saya kira, saran saya buat saudara Andi dan teman-teman Demokrat harus merubah kultur berpolitik dan cara komunikasinya, terutama ketika merespon isu yang tengah menerpa Demokrat. Baiknya menyikapi gugatan atau permohonan sesuai porsi dan substansi, bukan delusi kata atau narasi," tuturnya.

    Jurhum mempertegas, bahwa budaya politik santun yang katanya diusung Demokrat mana buktinya? Budaya semua saluran demokrasi harus sesuai jalur hukum mana buktinya? Kan pokok-pokok judicial review yang Yusril ajukan sudah dibeberkan. Kalau mau ‘mikir’ meluangkan waktu kan mudah saja, tinggal membedah dan menyusun saja sanggahan. 

    "Lagian mau bersiasat apa dengan lembaga tertinggi negara sekelas Mahkamah Agung, Presiden saja tidak bisa intervensi MA, Andi mestinya bacalah apa kewenangan dan kedudukan paling dasar dari MA dalam sistem Negara demokrasi kita ini, katanya pejuang demokrasi kok masih gak mudeng," sindir Jurhum. 

    Jurhum menyarankan, bahwa semua proses judicial review di MA sejatinya akan berlangsung transparan, yang diuji muatan bukti bukan kalimat-kalimat benci.

    "Rubahlah gaya politik asal bunyi, kalau gak mau dibilang jurus mabuk, rakyat ini butuh pernyataan-pernyataan politik yang bergizi kok, bukan budaya akrobatik narasi bombastis," sarannya. 

    Terakhir, Jurhum menerangkan, pada poin lain, Andi mengaku tak dilibatkan selaku tergugat. Ini pernyataan paling aneh dan super halu. Andi nampaknya tak tahu prosedur yang tengah ditempuh. 

    "Begini, saya jelaskan biar Andi paham duduk perkaranya. Istilah Penggugat atau Pemohon, itu disebut Prinsipal,  sementara termohon dalam hal ini kan Kemenkumham. Nah, ada pun posisi Partai Demokrat bukan pihak yang digugat dalam kasus judicial review AD/ART ke MA," terangnya.

    Posisi Partai Demokrat yang menggugat ke MA adalah empat kader yang telah dipecat, mereka berempat itu yang berada pada posisi Prinsipal. Sementara posisi legal standing YIM adalah memenuhi permohonan keempat kader PD tersebut sebagai pendamping dalam hal permohonan judicial review AD/ART ke MA itu.

    Pertanyaan mendasarnya, kata Jurhum, apa dan bagaimana posisi PD nanti? Apakah MA akan menyurati PD sebagai pemberitahuan atau sebagai para pihak,  ia tidak tahu. 

    Sebagaimana publik juga tahu bahwa dalam keluarga besar PD ada kampiun pengacara yang juga berjibun.  Baiknya saudara Andi Arif musyawarahkan dalam internal PD dengan tim hukum mereka yang handal.

    "Jadi tak relevan teriak sana sini melempar ocehan tak menyasar ke pokok persoalan, itu cuma jadi tambahan lelucon," tukasnya.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini