-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Iress:Rencana Pemerintah Tingkatkan PLTS Atap Ekspor Listrik 100 Persen Harus Ditolak Rugikan Pelanggan

    Senin, 20 September 2021, September 20, 2021 WIB Last Updated 2021-09-20T06:34:22Z

    Ads:


    Iress:Rencana Pemerintah Tingkatkan PLTS Atap Ekspor Listrik 100 Persen Harus Ditolak Rugikan Pelanggan

    Jakarta, indometro.id - Iress menilai rencana pemerintah untuk meningkatkan penggunaan PLTS Atap melalui revisi Permen ESDM No.49/2018 yang akan menetapkan tarif ekspor listrik dari 65% menjadi 100% harus ditolak karena akan merugikan pelanggan listrik, meningkatkan subsidi APBN dan menambah beban BUMN/PLN. 

    Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan bahwa penolakan ini semakin valid setelah menganalisis siaran pers Kementerian ESDM (KESDM) No. 303.Pers/04/SJI/2021 pada 2 September 2021, yang isinya patut dipertanyakan. 

    "KESDM telah mengajukan draft revisi Permen pada Presiden tanpa melibatkan seluruh _stakeholders_ terkait, sehingga melanggar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Marwan Batubara melalui surat elektronik yang diterima indometro.id, Senin (20/9/2021). 

    Marwan menjelaskan bahwa guna mempercepat revisi, KESDM menerbitkan rilis berjudul Indonesia Kaya Energi Surya, Pemanfaatan Listrik Tenaga Surya oleh Masyarakat Tidak Boleh Ditunda pada 2 September 2021. Dalam rilis antara lain disebutkan tentang tuntutan _green product, green economy,_ pengenaan _carbon border tax_ dan transformasi menuju EBT yang semakin murah. 

    Disebutkan pula tarif ekspor 100% tidak akan merugikan keuangan PLN, bahkan akan menghemat biaya bahan bakar gas PLN sebesar Rp 4,12 triliun per tahun, subsidi APBN turun Rp 0,23 triliun, dan dampak pasokan PLTS Atap terhadap _over supply_ PLN disebut hanya 0,1%. 

    Kemudian Marwan mengkritisi rilis KESDM tersebut dalam 2 aspek utama, yaitu aspek terkait kebijakan energi dan aspek terkait ekonomi/keuangan.

    Aspek Kebijakan Energi

    IRESS tidak memungkiri transformasi menuju _green economy_ dan EBT perlu digalakkan. Namun hal tersebut tidak harus dilakukan tanpa memperhitungkan kondisi energi dan kelistrikan nasional yang saat ini sudah sangat berlebihan. Kelebihan pasokan _(reserve margin)_ listrik sistem Jawa-Bali sudah 60% dan sistem Sumatera 50%. 

    Karena itu, Marwan menjelaskan, pemaksaan kehendak merubah tarif ekspor 100% di tengah _reserve margin_ sangat tinggi dan pandemi Covid-19 ini perlu dipertanyakan motifnya. Hal ini telah diungkap dalam surat tertutup dan terbuka IRESS kepada Presiden dan ditembuskan kepada KPK.

    IRESS paham bahwa biaya pembangunan listrik EBT semakin murah dan kapasitas pembangkitnya di banyak negara semakin meningkat. Rilis KESDM menyebutkan kapasitas PLTS di Vietnam telah mencapai 16.504 MW, Malaysia sebesar 1.493 MW dan India sebesar 38.983 MW. 

    "Sementara di Indonesia, menurut rilis tersebut kapasitas 3600 MW "ditargetkan" baru akan dicapai pada 2025. Sehingga guna meningkatkan kapasitas PLTS perlu revisi kebijakan," jelasnya. 

    Padahal peningkatan kapasitas PLTS di Vietnam, Malaysia dan India dicapai sebagai hasil kebijakan dan perencanaan yang telah disusun dan konsisten dijalankan dalam 5-6 tahun terkahir. Dalam kurun waktu yang sama Indonesia pun telah menetapkan PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), di mana bauran EBT adalah 23%. 

    Namun praktiknya, dalam proyek 35.000 MW (mulai 2015) Indonesia justru membangun pembangkit listrik yang didominasi (95%) PLTU memakai bahan bakar batubara. Artinya, sejak semula pemerintah memang tidak konsisten menjalankan KEN, namun sekarang coba memaksakan kehendak melalui kebijakan PLTS Atap dan Perpres EBT.

    Karena itu kampanye _green economy,_ transformasi ke EBT dan target PLTS sebesar 3600 MW, sambil membandingkan dengan Vietnam, Malaysia dan India, menjadi tidak relevan dan bernuansa omong kosong. 

    Kalau sadar akan _green economy_ dan KEN pun sudah terbit (2014), mengapa masih membangun pembangkit listrik dominan PLTU? Ternyata proyek 35.000 MW bukan saja memanfaatkan energi fosil tidak ramah lingkungan, tetapi juga menerapkan skema take or pay (TOP) yang memberatkan APBN, keuangan PLN dan tarif listrik bagi konsumen.

    Secara gamblang IRESS ingin menyatakan saat ini tarif listrik sudah tinggi akibat skema TOP, pasokan listrik berlebih berlebih akibat salah perencanaan dan diperparah pandemi, bauran energi tidak ramah lingkungan akibat pembangunan PLTU yang sarat kepentingan oligarki dan abai KEN 2014.

    Ironi dan nestapa ini ternyata oleh KESDM ingin diperparah dengan kebijakan revisi PLTS Atap dengan tarif ekspor 100% yang tidak adil, merugikan konsumen non PLTS Atap, memberatkan subsidi APBN, merugikan BUMN dan patut diduga sarat kepentingan bisnis. Rakyat tentu sangat pantas menolak revisi tersebut.

    Aspek Ekonomi/Keuangan

    Marwan menerangkan mengenai perbandingan terkait tarif, untung-rugi, serta dampak keuangan terhadap PLN, APBN dan konsumen jika tarif 100% ekspor PLTS Atap diterapkan, baik menurut KESDM maupun menurut pakar-pakar energi yang diperoleh IRESS. Perbandingan ini perlu dilakukan untuk menguji akurasi dan kredibilitas informasi yang dirilis oleh KESDM.

    Menurut KESDM dalam rilis 2 September 2021, dampak (dan manfaat) pengembangan PLTS Atap dengan tarif ekspor naik jadi 100% dan pasokan 3,6 GW pada 2024/2025 adalah 1. Potensi penjualan PLN hanya turun 0,1%, 2. Keuangan PLN tidak dirugikan, tetapi yang terjadi hanya kehilangan potensi penerimaan, 3. Biaya bahan bakar (gas) turun Rp 4,12 triliun per tahun, 4. BPP listrik hanya naik sebesar Rp 1,14/kWh

    Kemudian 5. Tidak ada (memperhitungkan) biaya sarana PLN untuk mengatasi intermitten, 6. BPP listrik tanpa sarana mengatasi intermitten hanya naik Rp 1,14/kWh, 7. Subsidi listrik hanya naik Rp 0,079 triliun dan kompensasi naik Rp 0,24 triliun, 8. Tidak ada kenaikan beban pelanggan jika subsidi dan kompensasi dibayar pemerintah.

    Di sisi lain, menurut kajian pakar-pakar energi yang diperoleh IRESS, dampak perubahan tarif tersebut untuk setiap penambahan pasokan PLTS Atap sebesar 1 GW adalah, 1. Pendapatan PLN turun sekitar Rp 2,15 triliun (turun jadi Rp 7,74,- jika pasokan 3,6 GW), 2. Terjadi kerugian keuangan, karena melekatnya beban biaya _fixed cost_ dan turunnya efisensi, 3. Biaya bahan bakar turun Rp 0,64 triliun per tahun (Rp 1,92 triliun/3 tahun), 4. BPP tanpa sarana mengatasi intermitten naik Rp 3,93 per kWh.

    Selanjutnya, 5. Tambahan biaya PLN mengatasi intermitten sekitar Rp 248 miliar, atau Rp 1,18 per kWh, 6. Total kenaikan BPP listrik menjadi (Rp 3,93 per kWh + Rp 1,18) = Rp 5,10 per kWh, 7. Subsisi listrik naik Rp 269,4 miliar/tahun dan kompensasi Rp 808,3 miliar/tahun (total menjadi Rp 1,08 triliun), 8. Beban pelanggan naik Rp1,08 triliun/tahun jika _tariff adjustment_ diberlakukan.

    Perbandingan perhitungan pada 8 aspek yang dilakukan oleh KESDM dan pakar-pakar energi di atas menunjukkan beberapa perbedaan yang mencolok, sehingga perlu diklarifikasi. Bagi pakar-pakar, klarifikasi penting karena menyangkut nama baik perguruan tinggi.

    "Bagi Kementrian ESDM, klarifikasi mendesak karena menyangkut kredibilitas, penegakan prinsip _good governances,_ keadilan dan kepentingan strategis negara," tutur Marwan. 

    Menurut Marwan, karena mendesaknya klarifikasi, IRESS perlu mengungkap temuan fakta-fakta hasil perhitungan yaitu, a. KESDM tampaknya menggiring opini publik bahwa PLN tidak dirugikan. Padahal kerugian tersebut cukup signifikan, yakni Rp 2,15 triliun setiap 1 GW pasokan PLTS Atap dan menjadi Rp 7,74 triliun jika pasokan naik menjadi 3,6 GW. Kerugian timbul terutama adanya beban _fixed cost,_ terjadinya inefisiensi sarana dan adanya tambahan perangkat untuk mengatasi intermitten. Semua biaya ini tampaknya tidak diperhitungkan atau “luput” (sengaja?) dalam perhitungan KESDM.

    b. KESDM menyebut penghematan bahan bakar cukup besar Rp 7,74 triliun. Sedang hitungan pakar hanya Rp 1,92 triliun. Perbedaan ini terjadi karena bahan yang digunakan adalah gas (KESDM) dibanding batubara (pakar). Untuk menghindari ungkapan hiperbolis guna promosi ide, maka hal ini perlu direview oleh KESDM sesuai fakta lapangan dan kebutuhan efisiensi. Selain itu, karena kontrak jual-beli bersifat jangka panjang, PLN tidak dapat mengurangi konsumsi gas secara mendadak. Di sisi lain, memang mayoritas PLTU di Jawa-Bali, termasuk proyek 35.000 MW menggunakan bahan bakar batubara, bukan gas.

    c. Menurut KESDM BPP naik Rp 1,14/kWH; menurut pakar naik Rp 5,10/kWh. Perbedaan terjadi sebab KESDM “luput” menghitung biaya-biaya yang disebut pada butir a di atas. Adanya kenaikan BPP otomatis akan ditanggung konsumen dalam bentuk kenaikan tarif listrik jika tidak disubsidi APBN, atau ditanggung negara/APBN jika tarif listrik tidak naik.

    d. KESDM menyatakan biaya subsidi dan kompensasi naik Rp 0,319 triliun; menurut pakar naik Rp 1,08 triliun/tahun. Hal ini menjadi tambahan beban biaya bagi pelanggan non PLTS Atap yang merupakan dasar mengapa IRESS yakin bahwa kebijakan ekspor 100% disebut tidak adil.

    "Uraian di atas menunjukkan perhitungan yang dilakukan pakar energi lebih relevan dan sesuai kondisi lapangan, sehingga lebih kredibel. Sedangkan hitungan KESDM cenderung ingin menonjolkan penghematan PLN dan pelanggan, serta mengecilkan nilai kenaikan BPP dan subsidi," terangnya. 

    Namun, kata Marwan, ungkapan dan promosi ini tidak didasarkan pada hitungan relevan dan fakta lapangan. Salah satu contoh, bukankah pasokan listrik PLTS Atap intermitten dan _capacity factor_ (CF) hanya 17%, sehingga membutuhkan kestabilan pasokan, tetapi KESDM sengaja tidak menghitung kebutuhan biaya _backup_ dan _storage?

    Oleh sebab itu, IRESS menganggap hitungan dan promosi KESDM untuk tarif ekspor PLTS Atap 100% dalam rilis 2 September 2021 menjadi tidak kredibel, tendensius dan patut dipertanyakan motifnya.

    Perbandingan hitungan dan analisis IRESS di atas bisa saja tidak akurat. Namun sebagai lembaga yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, KESDM dan PLN, dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai perguruan tinggi, mestinya telah melakukan kajian dan analisis bersama. 

    Sehingga, sebelum merekomendasikan suatu kebijakan, terlebih diperoleh hasil terbaik, adil dan bermanfaat bagi ketahanan dan kemandirian energi nasional. Mengapa KESDM tidak menganggap ini penting, dan terkesan ingin terus memaksakan kehendak?

    Sebagai kesimpulan, karena tidak akurat dan cenderung tendesius, IRESS meminta agar KESDM segera mengklarifikasi berbagai perhitungan terkait BPP, kerugian PLN/pelanggan, penghematan, subsidi, kompensasi, dan lain-lain yang termuat dalam rilis No.303.Pers/04/SJI/2021, pada 2 September 2021. 

    "Selain itu, sebagaimana telah dinyatakan pada rilis, surat tertutup dan surat terbuka kepada Presiden (16/8/2021, 31/8/2021 dan 1/9/2021), IRESS kembali menuntut agar ketentuan tarif ekspor PLTS Atap 100% dalam rencana revisi Permen ESDM No.49/2018 dibatalkan," pungkasnya. 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini