-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Koptan Rukun Sari 66 Telah Menangkan Gugatan di MA Lawan PT Emha Terkait Lahan Sengketa di Pematang Jering Sei Suka

    redaksi
    Kamis, 24 Juni 2021, Juni 24, 2021 WIB Last Updated 2021-06-24T03:29:44Z

    Ads:

    Koptan Rukun Sari 66 Telah Menangkan Gugatan di MA Lawan PT Emha Terkait Lahan Sengketa di Pematang Jering Sei Suka


    Batu Bara, indometro.id - Kelompok Tani (Poktan) Rukun Sari 66 telah memenangkan gugatan hak atas 60 hektare lahan yang dipersengketakan di Dusun I Desa Pematang Jering Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara ( dahulu Kabupaten Asahan). 

    Krisman Lumbanraja, penasehat Kelompok Tani Rukun Sari 66 didampingi beberapa anggota Poktan, Rabu (23/6/2021),  menjelaskan meski mereka menang di PN Kisaran namun di tingkat bandinh di Pengadilan Tinggi Medan kalah dan akhirnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung mereka menang. 

    Diungkapkan Lumbanraja, perjuangan baru membuahkan hasil menggembirakan setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung RI (MARI) yang memenangkan kelompok sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI No 3375 k/pdt/2002. 

    "Dengan demikian maka kami berhak mengelola lahan garapan kami yang sempat dirampas pihak perkebunan PT Emha dan PT Moeis", ujar Lumbanraja. 

    Dikatakan Lumbanraja, pada Tahun 1960 dirinya datang ketempat ini,  warga sudah mengusahai dan mendiami lahan yg diperjuangkan ini. 

    Namun tahun 1966 pihak perkebunan PT Emha melakukan penggusuran dan menjadikan 60 ha lahan rakyat menjadi perkebunan. 

    Masih menurut Lumbanraja, berdasarkan penuturan para orangtua yang mengelola lahan tersebut, sebelumnya perkebunan yang sekarang diusahai oleh PT Emha berasal dari perkebunan asing NV. HAPM. 

    Kemudian Tahun 1942 perkebunan ini diambil oleh penjajah Jepang, dan kemudian tanaman karetnya ditebang untuk dijadikan lahan pertanian. 

    Pada Tahun 1950 atau setelah merdeka perkebunan ini kembali di usahai perusahaan perkebunan asing USRF. 

    Namun sekitar 60 ha bekas konsesi NV. HAPM yang telah digarap dan diduduki rakyat untuk areal pertanian, tidak diganggu gugat lagi. 

    Kemudian setelah perkebunan asing di negara ini di nasionalisasikan, maka sekitar tahun 1960 tanah perkebunan tersebut dialihkan kepada dua perkebunan swasta yakni sebahagian dikuasai oleh PT Emha dan lebih dikelola oleh PT Moeis. 

    Ketika PT Emha dan PT Moeis menguasahai perkebunan,  para petani yang menggarap lahan 60 ha tersebut tidak mendapat gangguan karena dalam kenyataannya ditempat ini sudah berdiri 45 buah rumah petani dengan  tanaman keras, seperti Kelapa, Nangka,  Pisang, Mangga, Bambu dan lain-lainnya yang sebahagian besar telah berproduksi. Bahkan tanaman bambunya sampai sekarang masih ada yang hidup. 

    Dilokasi ini juga telah berdiri sebuah Musholla tempat ibadah berikut setengah hektar tanah wakaf perkuburan Muslim dan ditanah wakaf ini telah dimakam sekitar 100 orang warga setempat yang telah meninggal dunia. 

    Bahwa Kepala Kampung Rukun Sari bernama Maijo (Almarhum) telah mendistribusikan tanah negara bekas perkebunan asing ini kepada rakyat yang umumnya buruh perkebunan. Beberapa orang dari petani telah diberikan Surat Pancang Tanah sebagai alas hak.

    Namun awal tahun 1966, PT Emha melakukan penggusuran terhadap petani yang mendiami dan mengelola lahan tersebut dengan menggunakan kekuatan penguasa. 

    Pihak PT. Emha yang dikawal Tentara yang bersenjata lengkap, telah mengerahkan beberapa buah traktor  menggilas habis, bukan hanya rumah, tanaman-tanaman dan Langgar tempat ibadah, tapi juga perkuburan muslim, sehingga kuburan yang bisa ditandai sekarang hanya tinggal dua makam. 

    Seiring dengan era reformasi ini, ternyata nyali para petani tertindas itu bangkit kembali menyingkap segala kezaliman pengusaha PT. Emha yang telah dipendam selama 34 tahun tersebut. 

    Mereka yang tergabung dalam Koptan Rukun Sari 66 menuntut dan mendesak PT. Emha agar mengembalikan tanah garapannya yang kini telah dijadikan areal perkebunan karet itu. 

    Koptan menilai  pengambilalihannya dari tangan rakyat di tahun 1966 tidak dilakukan berdasarkan ketentuan hukum, melainkan hanya atas nama kekuasaan dan fitnah. 


    (Rahmat Hidayat)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini