ARTIKEL
GANJA DAN MANFAATNYA.
Ganja yang istilah farmakologinya Cannabis Sativa, adalah jenis tumbuhan
yang hidup di semua iklim di muka bumi. Jika di wilayah tropis digolongkan
tumbuhan semak, karena yang dimanfaatkan adalah zat inti dari unsur
ekstraknya, yang terdiri dari 10 zat inti, yang disebut Cannabigerol (CBG),
Cannabichromene (CBC), Cannabidiol (CBD), A-9- Tetrahydro Cannabinol
(A-9-THC), A-8-Tetrahydro Cannabinol (A-8-THC), Cannabicyclol (CBL),
Cannabielcoin (CBE), Cannabinol (CBN), Cannabinodiol (CBND), dan
Cannabitriol (CBO), sedang di wilayah sub tropis ia digolongkan tumbuhan
pohon, karena yang dimanfaatkan unsure seratnya. Sementara kelompok
canabinoid yang memiliki zat, molekul psikoaktif, yang mengakibatkan si
pengkonsumsi bisa terbius adalah A-9-Tetrahydro Cannabinol (A-9-THC).
SEBAGAI MATERIA MEDICA
Di berbagai budaya dan peradaban manusia purba masih terdapat jejak-
jejak peninggalan sejarah yang mengisahkan manfaat ganja sebagai bahan
medica – untuk mendukung kesehatan manusia – sementara seratnya
dijadikan bahan baku pembuatan kertas, kain, dan layar kapal, termasuk
tali. Kitab “Pen T’sao Cing” Tiongkok kuno – salah satu kitab pengobatan
tertua di dunia – yang adalah kumpulan catatan Kaisar Shen Nung 2900
SM, menyebutkan kegunaan ganja sebagai tanaman pengobatan yang
dapat menghilangkan penyakit datang bulan pada wanita, gangguan
kehamilan, malaria, rematik, penyakit lupa, dan gangguan pencernaan.
Selama lima puluh tahun “Reginald Campbell Thomson” menghabiskan
masa hidupnya di Mesopotamia dan Timur Tengah – abad 6 SM – dalam
upaya melakukan penelitian tentang ganja. Dari 660 macam bentuk tablet-
tablet dari tanah liat yang ditemukannya, di Kouyunjik, menginformasikan
manfaaat ganja sebagai bahan pengobatan – mulai dari batang, biji, daun,
hingga bunganya – yang diresepkan untuk keperluan penyakit; insektisida,
impoten, mensturasi, neuralgia, penyakit ginjal, penyumbatan paru-paru,
epilepsy, kecemasan, depresi, kejang-kejang, obat luka dan memar,
termasuk tonik – penyegar.
Pada zaman Persia kuno – abad 6 SM – biji ganja juga dikenal sebagai
makanan sajian yang disebut sahdanak. Sahdanak biasanya disajikan
dalam bentuk kue, yang menurut ilmuwan Jerman, Immanuel Low, 1926,
orang-orang Persia kuno telah memanfaatkan biji ganja sebagai makanan
yang dapat memberikan kesehatan maupun vitalitas.
Selain salah satu dari lima tanaman suci – kitab “Atharva Veda” Hindu – bangsa India telah menggunakan ganja sebagai obat imsomsia, migraine,
gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, kesulitan berbicara, hingga
kesedihan.
Sekitar 500 tahun SM, Bangsa Tibet kuno telah memanfaatkan ganja
sebagai obat untuk penyakit kulit, bisul, luka luar, flu, sakit pada telinga,
reumatik, cacingan, hingga TBC.
Ibn Masawayh, 857 M, dokter Arabia pertama yang menyatakan kegunaan
medis ganja dalam Literature Pengobatan Arabia. Ia menyebutkan minyak
biji ganja – bila diteteskan – dapat menyembuhkan sakit di telinga yang
disebabkan oleh kelembaban (rutuba).
Di abad ke 9, “Al-Dima,” adalah penulis Arab pertama yang menyebutkan
fungsi ganja sebagai obat cacing, karena tanaman ganja memiliki sifat
“vermicidal dan vermifugal” yang punya kemampuan membunuh cacing
(al-didan), cacing kremi atau habba-qar (ascaris) maupun parasit.
Dalam catatan ilmu pengobatan yang bernama “Al-Aqrabadhin Al-Saghir”
merupakan dokumen farmakologi pertama di dunia Arab, menegaskan
manfaat ganja untuk mengobati sakit kepala, migraine, mengurangi sakit
pada rahim, mencegah keguguran, dan menjaga janin tetap berada dalam
abdomen ibunya. Sedang ekstrak dari bijinya dapat menambah produksi
“Air Susu Ibu” sekaligus menyembuhkan sakit amenorrhea, (Dr.Indalesio Luzano, Universidad de Granada, Spanyol). Dan salah satu catatan medis
bangsa Arab kuno – tentang kegunaan ganja yang belum pernah muncul
sebelumnya pada pengetahuan kedokteran bangsa-bangsa lain – ialah
ganja terbukti punya kemampuan ajaib dalam membunuh sel-sel tumor, (Ibn Buklari & Ibn-al-Baytar, abad 11 M).
Papirus Ebers – dokumen tertua Mesir, 1550 SM – yang ditemukan George
Ebers menyebutkan, di zaman Mesir kuno keberadaan tanaman ganja
sebagai sumber serat dan obat-obatan telah dimanfaatkan bangsa Mesir.
Papirus merupakan kumpulan dari dokumen-dokumen ilmu pengetahuan
pengobatan terlengkap Mesir kuno yang masih bertahan hinga kini.
Sementara itu, hasil penelitian para ilmuwan lainnya, seperti Mannische
(1989), Ghalioungui (1987), Charpentier (1981), Von Daines & Grapow
(1959), Faulkner (1962) dan Dowson (1934) juga menyebutkan bahwa, di
zaman Mesir kuno ganja telah popular dipergunakan sebagai obat-obatan.
Termasuk catatan-catatan cara pemakaiannya, yang terdiri dari berbagai
macam, seperti dimakan, dimasukkan melalui dubur maupun kemaluan
wanita – untuk pengobatan vagina – serta dibakar dan dihisap. Catatan-
catatan tersebut tertera pada beberapa piramida yang berasal dari masa
3000 tahun SM, yaitu pada makam Akhenaten (Amenophis IV) yang
berumur 1350 SM, serta makam Ramses II, yang meninggal 1224 SM.
Kemudian perdagangan ganja – sebagai sumber serat – di masa Yunani
kuno, bukan hanya untuk kebutuhan bahan kain atau pakaian saja, akan
tetapi untuk keperluan Armada Laut. Dimana sejarah telah membuktikan
bahwa, serat ganja memiliki peran penting dalam perkembangan Armada
Laut Yunani masa lalu, di Eropa (tertera dalam catatan sejarah, Raja Hiero
II, 270-15 SM). Dan pertama kalinya ganja disebutkan dalam sebuah
“Pharmacopoeia” – buku pengobatan Yunani – ialah pada tahun 1837.
Sementara ahli pengobatan abad 1 SM, bernama “Pedacius Dioscorides”
di Imperium kerajaan Romawi kuno, yang berdiri 753 SM, menyatakan
tanaman ganja sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Catatan-
catatan Dioscorides tersebut diterbitkan pada tahun 70 M, dengan judul
Materia Medica.
Materia Medica menjadi buku terkenal hingga diterjemahkan ke berbagai
bahasa. Selama 15 abad Materia Medica menjadi referensi penting bagi
para ahli pengobatan, dan tidak ada perpustakaan besar di dunia yang
dianggap lengkap tanpa salinan Materia Medica. Dan Dioscorides pun
menyebutkan ganja sebagai tanaman yang serat batangnya benar-benar
sempurna dan kuat untuk dibuat tali. Sedangkan bijinya bermanfaat untuk
mengobati sakit telinga dan hilangnya gairah seksual, (Dioscorades, 1968-
3.165-hlm.390).
Claudius Aelius Galenus yang dikenal sebagai ahli pengobatan Yunani kuno
bekerja pada kekaisaran Romawi (128-201 M), yang disebut juga sebagai
bapak fisiologi dan pengobatan dalam, mengatakan bahwa ganja berfungsii
baik menghilangkan gas pada saluran pencernaan dan rasa sakit di tubuh.
Gaius Plinius Secundus yang juga dikenal sebagai Pliny Si Tua (23-79 M),
dalam karya besarnya “Naturalis Historia” menyebutkan kegunaan ganja
dalam pengobatan. Menurut Pliny, yang juga berasal dari Yunani, jus ganja
dapat mengeluarkan cacing dan binatang-binatang kecil yang masuk ke
telinga, menghilangkan rasa sakit di perut, dan rebusan akarnya dapat
mengobati persendian yang kaku, rematik maupun luka pada kulit.
Ternyata dalam berbagai bentuk, ganja ditemukan juga di berbagai
wilayah bekas jajahan Romawi masa lalu, seperti tali dari serat ganja, di
Dunbartonshire, Inggris, di Skeldergate, Medieval Pits, dan Watercourse di
Sewer Lane, New York, (140-180 M).
Di seluruh penjuru Eropa, mulai dari situs-situs di Jerman, Swiss, hingga
Rumania, para arkeolog menemukan jejak-jejak adanya tanaman ganja.
Jejak tersebut tertera pada benda-benda yang bentuknya seperti Piala,
dimana biji-biji ganja terbakar di dalamnya, serta mangkok Polypod yang
diperkirakan berusia 3000 tahun SM, yang memiliki dekorasi tempelan tali
tambang dari serat ganja. Dan motif-motif Playpod tersebut ditemukan
juga oleh para arkeolog, di Pulau Taiwan.
Bahkan hingga kini biji ganja masih dijadikan santapan umum orang-orang
Polandia maupun Lithuania, dalam bentuk sup yang diberi nama
[29/10 23:44] Nk Awi: Sumieniatka. Sementara di Latvia dan Ukraina, makanan olahan dari biji
ganja selalu disajikan pada saat peringatan Three King’s Day.
Berbagai kegunaan ganja telah dijadikan bahan pengobatan tradisional, di
Eropa Timur, sehingga dokter menyarankan para pasien menghirup asap
ganja untuk mengusir cacing-cacing di gigi yang terinfeksi, memperlancar
proses kelahiran anak, sekaligus mengurangi rasa sakit dan inflamasi,
menurunkan demam, dan menyembuhkan icterus.
Sementara itu, proses percetakan Injil pertama sekali di atas kertas – serat
ganja – dilakukan 23 Februari 1455, di Mainz, Jerman, yang berakhir 3
tahun kemudian, menjadi awal mula berkembangnya percetakan buku
secara massal di dunia barat, yang selanjutnya menjadi basis
berkembangnya ilmu pengetahuan Filsafat, Seni dan Tehnologi.
Sumber-sumber catatan pengobatan yang menggunakan ekstrak ganja, di
benua Eropa, salah satunya naskah “Osterreichisce Nasional bibliothek” di
Vienna Austria, dan naskah tersebut merujuk pada manuskripnya Codex
Vindobonensis 93, yang disebut sebagai sumber catatan pengobatan abad
ke 13, yang berasal dari masa kejayaan Romawi, (Zotter, 1996).
Di Amerika Serikat, selain bahan baku utama industri tali, layar kapal, kain
dan biodiesel, ganja pun dimanfatkan dunia farmasi sebagai bahan baku
utama pengobatan. Laporan WB.O’Shaugnessy dari Royal Academy of
Science, tahun 1939, menjelaskan pendalaman fungsi medis ganja justru
menjadi pemicu berkembangnya ilmu medis di Eropa.
Adapun nilai keajaiban medis ganja, yang lebih dahulu ditemukan bangsa
Eropa, terdengar jauh hingga benua Amerika – yang merupakan pasar
potensial obat-obatan berbasis herbal – meski bertentangan dengan FDA
pada masa itu, yang sekarang disebut WHO. Dan fakta sejarah tersebut
terang-terangan mencatat bahwa US Pharmacopeia – yang merupakan
sumber referensi medis terpopuler di Amerika – pernah mencantumkan
ganja sebagai obat utama lebih dari 100 jenis penyakit maupun gangguan
kesehatan. Cantuman US Pharmacopeia tersebut tertera dalam terbitan-
terbitan yang diedarkan selama 87 tahun (1850-1937). Dan salah satu fungsi ganja yang sangat menonjol dalam ilmu Kedokteran Amerika, pada
masa itu, sebagai penghilang rasa sakit.
Adapun fakta lain yang paling menakjubkan ialah, berbagai olahan produk
farmasi berbahan ekstrak ganja menduduki peringkat pertama, kedua dan
ketiga, dari seluruh jenis obat-obatan yang beredar, dan resep yang paling
banyak dikeluarkan oleh dokter, (antara tahun 1842 hingga 1890). Bahkan
hingga tahun 1900 penjualan obat-obatan olahan dari ekstrak ganja
mencapai lima puluh persen, dari total penjualan obat-obatan, di Amerika
Serikat, (Herer, 2007). Di sisi-sisi lain, perusahaan-perusahaan farmasi
terkenal pada masa itu banyak sekali yang beralih produksi ke obat-obatan
berbahankan ganja – berupa ekstrak – di antaranya Abbott Laboratories,
Eli Lily, Parke Davis, Tildens, Brothers Smith dan Squibb.
Catatan-catatan penting lainnya yang harus digarisbawahi ialah, selama
beberapa dekade obat-obatan berbahankan ekstrak ganja dijual bebas di
Amerika Serikat, namun tak satu laporan pun adanya kasus kematian yang
diakibatkan penyalah-gunaan atau overdosis ganja, dibanding tingkat
kematian akibat overdosis yang disebabkan obat-obatan produk farmasi
legal yang beredar hingga saat ini.
Pada study kesehatan tentara-tentara Amerika yang ditempatkan, di Kanal
Panama, banyak sekali tentara Amerika yang pengkonsumsi ganja, hingga
memicu lembaga kemiliteran melakukan study tentang sifat alami maupun
efek dari pemakaian ganja, pada tahun 1916 hingga 1929, yang diberi
nama “The Panama Canal Military Study”. Dimana hasil penelitian
menyimpulkan; Tidak ada langkah yang perlu diambil oleh otoritas
zona Kanal untuk mencegah atau melarang penjualan dan
pemakaian ganja. Riset tersebut dengan tergas menyimpulkan
bahwa, tidak ada bukti pemakaian mariyuana dapat menjadi
kebiasaan – ketergantungan. Kemudian beberapa komisi diminta melakukan penelitian mengenai ganja,
dan komisi tersebut mengeluarkan kesimpulan bahwa, hukuman kriminal
terhadap pengguna ganja tidak diperlukan. Adapun komisi yang diminta
mengambil kesimpulan tersebut ialah Siler Commission (1930), La Guardia
Report (1944), Shafer Commission (1972), Canadian Government Study
(1972), Alaska State Commission (1989), dan California Research Advisory
Panel (1989). Dan salah satu komisi yang melakukan penelitian pada tahun
1971 – Shafer Commission – menyimpulkan bahwa; tidak ada alasan
untuk mengkategorikan ganja sebagai narkotika (National
Commission on Drug Abuse, 1973).
YANG PATUT DIPERTANYAKAN
Dari sekian banyaknya kemungkinan-kemungkinan pengembangan Ilmu
Pengetahuan medis dan Kedokteran, mulai dari Asia, Afrika, Eropa dan
Amerika, yang secara intens mamanfaatkan “Molekul dan Reseptor
Endocannabinoid,” namun yang sangat mengherankan, mengapa hingga
saat ini WHO masih tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya
bahwa, ganja tidak memiliki fungsi medis sama sekali..?
Sebaliknya, materi narasi yang disitir dari berbagai literature ilmiah
maupun akadmis ini, secara tegas dan gamblang memaparkan manfaat
dan fungsi tanaman ganja sebagai bahan baku utama farmasi, disamping
bahan baku utama pembuatan kertas, kain (pakaian) layar kapal, tali-
temali, dan lain sebagainya. Apakah WHO pernah mempertimbangkan hal
tersebut..?
Sementara berita CNN terkini meliput pernyataan resmi Perdana Menteri
Malasya, Mahatir Muhammad, dimana menghimbau Parlement Malasya
untuk melakukan revisi atas Undang Undang Narkotika, mengenai fungsi
dan manfaat ganja sebagai bahan baku utama farmasi. Jika upaya tersebut
berhasil – terjadi – maka Malasya adalah negara Asia pertama yang begitu
cerdas – mengikuti puluhan negara–negara cerdas lainnya di muka bumi – yang telah melegalkan ganja sebagai bahan baku utama farmasi, untuk
mendukung kesehatan bangsanya. Faktanya, justru negara Thayland-lah
yang lebih cerdas, dimana mendahului Malasya melegalkannya.
Jika dalam Sejarah Peradaban manusia – lebih kurang 3000 tahun SM
–dipaparkan bahwa, tanaman ganja telah dikenal dan dimanfaatkan nenek
moyang peradaban manusia sebagai bahan baku utama media ritual, sesuai kepercayaan masyarakat purba, termasuk manfaatnya untuk
mendukung kesehatan manusia, bukankah hal tersebut patut dijadikan
pertimbangan demi terciptanya pola pikir objektif generasi millennial ke
depan..? Yang artinya, sejak dahulu kala ganja memang telah dikenal, dan
akrab dengan peradaban manusia.
Jika hal tersebut adalah fakta sejarah, yang lebih mencengangkan ialah,
mengapa hingga saat ini Pemerintahan Republik Indonesia tetap ngotot
mempertahankan Undang-undang no. 9 tahun 1976, dimana menetapkan
GANJA sebagai NARKOTIKA golongan 1..? Jika hal tersebut sebuah harga
mati, pertanyaan utamanya ialah; apa sesungguhnya yang menjadi alasan – dasar atau landasan utama – DPR RI mengetuk dan menetapkan ganja
sebagai Narkotika Golongan 1 pada tahun 1976, sementara riset dan
penelitian lebih konfrehensif tentang itu – mengenai efek dan bahaya
tanaman ganja terhadap kesehatan manusia, termasuk manfaatnya – “baru akan dilakukanGANJA DAN MANFAATNYA
Ganja yang istilah farmakologinya Cannabis Sativa, adalah jenis tumbuhan
yang hidup di semua iklim di muka bumi. Jika di wilayah tropis digolongkan
tumbuhan semak, karena yang dimanfaatkan adalah zat inti dari unsur
ekstraknya, yang terdiri dari 10 zat inti, yang disebut Cannabigerol (CBG),
Cannabichromene (CBC), Cannabidiol (CBD), A-9- Tetrahydro Cannabinol
(A-9-THC), A-8-Tetrahydro Cannabinol (A-8-THC), Cannabicyclol (CBL),
Cannabielcoin (CBE), Cannabinol (CBN), Cannabinodiol (CBND), dan
Cannabitriol (CBO), sedang di wilayah sub tropis ia digolongkan tumbuhan
pohon, karena yang dimanfaatkan unsure seratnya. Sementara kelompok
canabinoid yang memiliki zat, molekul psikoaktif, yang mengakibatkan si
pengkonsumsi bisa terbius adalah A-9-Tetrahydro Cannabinol (A-9-THC).
SEBAGAI MATERIA MEDICA
Di berbagai budaya dan peradaban manusia purba masih terdapat jejak-
jejak peninggalan sejarah yang mengisahkan manfaat ganja sebagai bahan
medica – untuk mendukung kesehatan manusia – sementara seratnya
dijadikan bahan baku pembuatan kertas, kain, dan layar kapal, termasuk
tali. Kitab “Pen T’sao Cing” Tiongkok kuno – salah satu kitab pengobatan
tertua di dunia – yang adalah kumpulan catatan Kaisar Shen Nung 2900
SM, menyebutkan kegunaan ganja sebagai tanaman pengobatan yang
dapat menghilangkan penyakit datang bulan pada wanita, gangguan
kehamilan, malaria, rematik, penyakit lupa, dan gangguan pencernaan.
Selama lima puluh tahun “Reginald Campbell Thomson” menghabiskan
masa hidupnya di Mesopotamia dan Timur Tengah – abad 6 SM – dalam
upaya melakukan penelitian tentang ganja. Dari 660 macam bentuk tablet-
tablet dari tanah liat yang ditemukannya, di Kouyunjik, menginformasikan
manfaaat ganja sebagai bahan pengobatan – mulai dari batang, biji, daun,
hingga bunganya – yang diresepkan untuk keperluan penyakit; insektisida,
impoten, mensturasi, neuralgia, penyakit ginjal, penyumbatan paru-paru,
epilepsy, kecemasan, depresi, kejang-kejang, obat luka dan memar,
termasuk tonik – penyegar.
Pada zaman Persia kuno – abad 6 SM – biji ganja juga dikenal sebagai
makanan sajian yang disebut sahdanak. Sahdanak biasanya disajikan
dalam bentuk kue, yang menurut ilmuwan Jerman, Immanuel Low, 1926,
orang-orang Persia kuno telah memanfaatkan biji ganja sebagai makanan
yang dapat memberikan kesehatan maupun vitalitas.
Selain salah satu dari lima tanaman suci – kitab “Atharva Veda” Hindu – bangsa India telah menggunakan ganja sebagai obat imsomsia, migraine,
gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, kesulitan berbicara, hingga
kesedihan.
Sekitar 500 tahun SM, Bangsa Tibet kuno telah memanfaatkan ganja
sebagai obat untuk penyakit kulit, bisul, luka luar, flu, sakit pada telinga,
reumatik, cacingan, hingga TBC.
Ibn Masawayh, 857 M, dokter Arabia pertama yang menyatakan kegunaan
medis ganja dalam Literature Pengobatan Arabia. Ia menyebutkan minyak
biji ganja – bila diteteskan – dapat menyembuhkan sakit di telinga yang
disebabkan oleh kelembaban (rutuba).
Di abad ke 9, “Al-Dima,” adalah penulis Arab pertama yang menyebutkan
fungsi ganja sebagai obat cacing, karena tanaman ganja memiliki sifat
“vermicidal dan vermifugal” yang punya kemampuan membunuh cacing
(al-didan), cacing kremi atau habba-qar (ascaris) maupun parasit.
Dalam catatan ilmu pengobatan yang bernama “Al-Aqrabadhin Al-Saghir”
merupakan dokumen farmakologi pertama di dunia Arab, menegaskan
manfaat ganja untuk mengobati sakit kepala, migraine, mengurangi sakit
pada rahim, mencegah keguguran, dan menjaga janin tetap berada dalam
abdomen ibunya. Sedang ekstrak dari bijinya dapat menambah produksi
“Air Susu Ibu” sekaligus menyembuhkan sakit amenorrhea, (Dr.Indalesio Luzano, Universidad de Granada, Spanyol). Dan salah satu catatan medis
bangsa Arab kuno – tentang kegunaan ganja yang belum pernah muncul
sebelumnya pada pengetahuan kedokteran bangsa-bangsa lain – ialah
ganja terbukti punya kemampuan ajaib dalam membunuh sel-sel tumor, (Ibn Buklari & Ibn-al-Baytar, abad 11 M).
Papirus Ebers – dokumen tertua Mesir, 1550 SM – yang ditemukan George
Ebers menyebutkan, di zaman Mesir kuno keberadaan tanaman ganja
sebagai sumber serat dan obat-obatan telah dimanfaatkan bangsa Mesir.
Papirus merupakan kumpulan dari dokumen-dokumen ilmu pengetahuan
pengobatan terlengkap Mesir kuno yang masih bertahan hinga kini.
Sementara itu, hasil penelitian para ilmuwan lainnya, seperti Mannische
(1989), Ghalioungui (1987), Charpentier (1981), Von Daines & Grapow
(1959), Faulkner (1962) dan Dowson (1934) juga menyebutkan bahwa, di
zaman Mesir kuno ganja telah popular dipergunakan sebagai obat-obatan.
Termasuk catatan-catatan cara pemakaiannya, yang terdiri dari berbagai
macam, seperti dimakan, dimasukkan melalui dubur maupun kemaluan
wanita – untuk pengobatan vagina – serta dibakar dan dihisap. Catatan-
catatan tersebut tertera pada beberapa piramida yang berasal dari masa
3000 tahun SM, yaitu pada makam Akhenaten (Amenophis IV) yang
berumur 1350 SM, serta makam Ramses II, yang meninggal 1224 SM.
Kemudian perdagangan ganja – sebagai sumber serat – di masa Yunani
kuno, bukan hanya untuk kebutuhan bahan kain atau pakaian saja, akan
tetapi untuk keperluan Armada Laut. Dimana sejarah telah membuktikan
bahwa, serat ganja memiliki peran penting dalam perkembangan Armada
Laut Yunani masa lalu, di Eropa (tertera dalam catatan sejarah, Raja Hiero
II, 270-15 SM). Dan pertama kalinya ganja disebutkan dalam sebuah
“Pharmacopoeia” – buku pengobatan Yunani – ialah pada tahun 1837.
Sementara ahli pengobatan abad 1 SM, bernama “Pedacius Dioscorides”
di Imperium kerajaan Romawi kuno, yang berdiri 753 SM, menyatakan
tanaman ganja sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Catatan-
catatan Dioscorides tersebut diterbitkan pada tahun 70 M, dengan judul
Materia Medica.
Materia Medica menjadi buku terkenal hingga diterjemahkan ke berbagai
bahasa. Selama 15 abad Materia Medica menjadi referensi penting bagi
para ahli pengobatan, dan tidak ada perpustakaan besar di dunia yang
dianggap lengkap tanpa salinan Materia Medica. Dan Dioscorides pun
menyebutkan ganja sebagai tanaman yang serat batangnya benar-benar
sempurna dan kuat untuk dibuat tali. Sedangkan bijinya bermanfaat untuk
mengobati sakit telinga dan hilangnya gairah seksual, (Dioscorades, 1968-
3.165-hlm.390).
Claudius Aelius Galenus yang dikenal sebagai ahli pengobatan Yunani kuno
bekerja pada kekaisaran Romawi (128-201 M), yang disebut juga sebagai
bapak fisiologi dan pengobatan dalam, mengatakan bahwa ganja berfungsi
baik menghilangkan gas pada saluran pencernaan dan rasa sakit di tubuh.
Gaius Plinius Secundus yang juga dikenal sebagai Pliny Si Tua (23-79 M),
dalam karya besarnya “Naturalis Historia” menyebutkan kegunaan ganja
dalam pengobatan. Menurut Pliny, yang juga berasal dari Yunani, jus ganja
dapat mengeluarkan cacing dan binatang-binatang kecil yang masuk ke
telinga, menghilangkan rasa sakit di perut, dan rebusan akarnya dapat
mengobati persendian yang kaku, rematik maupun luka pada kulit.
Ternyata dalam berbagai bentuk, ganja ditemukan juga di berbagai
wilayah bekas jajahan Romawi masa lalu, seperti tali dari serat ganja, di
Dunbartonshire, Inggris, di Skeldergate, Medieval Pits, dan Watercourse di
Sewer Lane, New York, (140-180 M).
Di seluruh penjuru Eropa, mulai dari situs-situs di Jerman, Swiss, hingga
Rumania, para arkeolog menemukan jejak-jejak adanya tanaman ganja.
Jejak tersebut tertera pada benda-benda yang bentuknya seperti Piala,
dimana biji-biji ganja terbakar di dalamnya, serta mangkok Polypod yang
diperkirakan berusia 3000 tahun SM, yang memiliki dekorasi tempelan tali
tambang dari serat ganja. Dan motif-motif Playpod tersebut ditemukan
juga oleh para arkeolog, di Pulau Taiwan.
Bahkan hingga kini biji ganja masih dijadikan santapan umum orang-orang
Polandia maupun Lithuania, dalam bentuk sup yang diberi nama
Sumieniatka. Sementara di Latvia dan Ukraina, makanan olahan dari biji
ganja selalu disajikan pada saat peringatan Three King’s Day.
Berbagai kegunaan ganja telah dijadikan bahan pengobatan tradisional, di
Eropa Timur, sehingga dokter menyarankan para pasien menghirup asap
ganja untuk mengusir cacing-cacing di gigi yang terinfeksi, memperlancar
proses kelahiran anak, sekaligus mengurangi rasa sakit dan inflamasi,
menurunkan demam, dan menyembuhkan icterus.
Sementara itu, proses percetakan Injil pertama sekali di atas kertas – serat
ganja – dilakukan 23 Februari 1455, di Mainz, Jerman, yang berakhir 3
tahun kemudian, menjadi awal mula berkembangnya percetakan buku
secara massal di dunia barat, yang selanjutnya menjadi basis
berkembangnya ilmu pengetahuan Filsafat, Seni dan Tehnologi.
Sumber-sumber catatan pengobatan yang menggSunakan ekstrak ganja, di
benua Eropa, salah satunya naskah “Osterreichisce Nasional bibliothek” di
Vienna Austria, dan naskah tersebut merujuk pada manuskripnya Codex
Vindobonensis 93, yang disebut sebagai sumber catatan pengobatan abad
ke 13, yang berasal dari masa kejayaan Romawi, (Zotter, 1996).
Di Amerika Serikat, selain bahan baku utama industri tali, layar kapal, kain
dan biodiesel, ganja pun dimanfatkan dunia farmasi sebagai bahan baku
utama pengobatan. Laporan WB.O’Shaugnessy dari Royal Academy of
Science, tahun 1939, menjelaskan pendalaman fungsi medis ganja justru
menjadi pemicu berkembangnya ilmu medis di Eropa.
Adapun nilai keajaiban medis ganja, yang lebih dahulu ditemukan bangsa
Eropa, terdengar jauh hingga benua Amerika – yang merupakan pasar
potensial obat-obatan berbasis herbal – meski bertentangan dengan FDA
pada masa itu, yang sekarang disebut WHO. Dan fakta sejarah tersebut
terang-terangan mencatat bahwa US Pharmacopeia – yang merupakan
sumber referensi medis terpopuler di Amerika – pernah mencantumkan
ganja sebagai obat utama lebih dari 100 jenis penyakit maupun gangguan
kesehatan. Cantuman US Pharmacopeia tersebut tertera dalam terbitan-
terbitan yang diedarkan selama 87 tahun (1850-1937). Dan salah satu fungsi ganja yang sangat menonjol dalam ilmu Kedokteran Amerika, pada
masa itu, sebagai penghilang rasa sakit.
Adapun fakta lain yang paling menakjubkan ialah, berbagai olahan produk
farmasi berbahan ekstrak ganja menduduki peringkat pertama, kedua dan
ketiga, dari seluruh jenis obat-obatan yang beredar, dan resep yang paling
banyak dikeluarkan oleh dokter, (antara tahun 1842 hingga 1890). Bahkan
hingga tahun 1900 penjualan obat-obatan olahan dari ekstrak ganja
mencapai lima puluh persen, dari total penjualan obat-obatan, di Amerika
Serikat, (Herer, 2007). Di sisi-sisi lain, perusahaan-perusahaan farmasi
terkenal pada masa itu banyak sekali yang beralih produksi ke obat-obatan
berbahankan ganja – berupa ekstrak – di antaranya Abbott Laboratories,
Eli Lily, Parke Davis, Tildens, Brothers Smith dan Squibb.
Catatan-catatan penting lainnya yang harus digarisbawahi ialah, selama
beberapa dekade obat-obatan berbahankan ekstrak ganja dijual bebas di
Amerika Serikat, namun tak satu laporan pun adanya kasus kematian yang
diakibatkan penyalah-gunaan atau overdosis ganja, dibanding tingkat
kematian akibat overdosis yang disebabkan obat-obatan produk farmasi
legal yang beredar hingga saat ini.
Pada study kesehatan tentara-tentara Amerika yang ditempatkan, di Kanal
Panama, banyak sekali tentara Amerika yang pengkonsumsi ganja, hingga
memicu lembaga kemiliteran melakukan study tentang sifat alami maupun
efek dari pemakaian ganja, pada tahun 1916 hingga 1929, yang diberi
nama “The Panama Canal Military Study”. Dimana hasil penelitian
menyimpulkan; Tidak ada langkah yang perlu diambil oleh otoritas
zona Kanal untuk mencegah atau melarang penjualan dan
pemakaian ganja. Riset tersebut dengan tergas menyimpulkan
bahwa, tidak ada bukti pemakaian mariyuana dapat menjadi
kebiasaan – ketergantungan. Kemudian beberapa komisi diminta melakukan penelitian mengenai ganja,
dan komisi tersebut mengeluarkan kesimpulan bahwa, hukuman kriminal
terhadap pengguna ganja tidak diperlukan. Adapun komisi yang diminta
mengambil kesimpulan tersebut ialah Siler Commission (1930), La Guardia
Report (1944), Shafer Commission (1972), Canadian Government Study
(1972), Alaska State Commission (1989), dan California Research Advisory
Panel (1989). Dan salah satu komisi yang melakukan penelitian pada tahun
1971 – Shafer Commission – menyimpulkan bahwa; tidak ada alasan
untuk mengkategorikan ganja sebagai narkotika (National
Commission on Drug Abuse, 1973).
YANG PATUT DIPERTANYAKAN
Dari sekian banyaknya kemungkinan-kemungkinan pengembangan Ilmu
Pengetahuan medis dan Kedokteran, mulai dari Asia, Afrika, Eropa dan
Amerika, yang secara intens mamanfaatkan “Molekul dan Reseptor
Endocannabinoid,” namun yang sangat mengherankan, mengapa hingga
saat ini WHO masih tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya
bahwa, ganja tidak memiliki fungsi medis sama sekali..?
Sebaliknya, materi narasi yang disitir dari berbagai literature ilmiah
maupun akadmis ini, secara tegas dan gamblang memaparkan manfaat
dan fungsi tanaman ganja sebagai bahan baku utama farmasi, disamping
bahan baku utama pembuatan kertas, kain (pakaian) layar kapal, tali-
temali, dan lain sebagainya. Apakah WHO pernah mempertimbangkan hal
tersebut..?
Sementara berita CNN terkini meliput pernyataan resmi Perdana Menteri
Malasya, Mahatir Muhammad, dimana menghimbau Parlement Malasya
untuk melakukan revisi atas Undang Undang Narkotika, mengenai fungsi
dan manfaat ganja sebagai bahan baku utama farmasi. Jika upaya tersebut
berhasil – terjadi – maka Malasya adalah negara Asia pertama yang begitu
cerdas – mengikuti puluhan negara–negara cerdas lainnya di muka bumi – yang telah melegalkan ganja sebagai bahan baku utama farmasi, untuk
mendukung kesehatan bangsanya. Faktanya, justru negara Thayland-lah
yang lebih cerdas, dimana mendahului Malasya melegalkannya.
Jika dalam Sejarah Peradaban manusia – lebih kurang 3000 tahun SM
–dipaparkan bahwa, tanaman ganja telah dikenal dan dimanfaatkan nenek
moyang peradaban manusia sebagai bahan baku utama media ritual, sesuai kepercayaan masyarakat purba, termasuk manfaatnya untuk
mendukung kesehatan manusia, bukankah hal tersebut patut dijadikan
pertimbangan demi terciptanya pola pikir objektif generasi millennial ke
depan..? Yang artinya, sejak dahulu kala ganja memang telah dikenal, dan
akrab dengan peradaban manusia.
Jika hal tersebut adalah fakta sejarah, yang lebih mencengangkan ialah,
mengapa hingga saat ini Pemerintahan Republik Indonesia tetap ngotot
mempertahankan Undang-undang no. 9 tahun 1976, dimana menetapkan
GANJA sebagai NARKOTIKA golongan 1..? Jika hal tersebut sebuah harga
mati, pertanyaan utamanya ialah; apa sesungguhnya yang menjadi alasan – dasar atau landasan utama – DPR RI mengetuk dan menetapkan ganja
sebagai Narkotika Golongan 1 pada tahun 1976, sementara riset dan
penelitian lebih konfrehensif tentang itu – mengenai efek dan bahaya
tanaman ganja terhadap kesehatan manusia, termasuk manfaatnya – “baru akan dilakukan kemudian,” tegas aparat BNN serta DEPARTEMEN
KESEHATAN beberapa waktu yang lalu. Bukankah hal tersebut patut
dipertanyakan..!? Atau…, apakah “KACAMATA KUDA” yang disematkan
WHO terhadap Aparatur Negara Bangsa ini harus dipertahankan
sepanjang masa..!? Bukankah hal tersebut sesuatu yang LUAR BIASA…!??
Maka dari itu, ‘’Salam Budaya Pintarlah” bagi Bangsa ini..!!
narasi:
( WILSON SILAEN)
Pengamat sejarah dan budaya
Editor:Didi