MEDAN,INDOMETRO.ID - Pegiat anti korupsi, Rahmadsyah segera membeberkan sejumlah temuan kasus korupsi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan. Hal ini disampaikan Rahmadsyah kepada salah satu rekan media, Sabtu siang (28/7).
“Saya
mendapat surat panggilan resmi dari Kepolisian Daerah Sumatera Utara,
pada Rabu mendatang. Pada kesempatan tersebut, saya akan beberkan
hal-hal dan bukti terkait ujaran Rusli Ginting mengenai dugaan korupsi
terkait proyek di DPRD Medan, yang melibatkan Sekretaris DPRD Medan,”
kata Rahmadsyah.
Lebih lanjut kata Rahmad, kasus lainnya yang diduga sarat dengan korupsi di DPRD Medan seperti dugaan Mark Up pengadaan Wallpaper dan kasus Joki Perjalanan Dinas DPRD Medan turut serta disampaikan ke Polda Sumut.
Lebih lanjut kata Rahmad, kasus lainnya yang diduga sarat dengan korupsi di DPRD Medan seperti dugaan Mark Up pengadaan Wallpaper dan kasus Joki Perjalanan Dinas DPRD Medan turut serta disampaikan ke Polda Sumut.
“Selain itu,
kasus lainnya seperti Joki Perjalanan Dinas dan dugaan Mark Up
Wallpaper akan saya sampaikan kepada Subdit 3 Tipikor Krimsus Poldasu,”
tutup Rahmad.
Sebelumnya pada pemberitaan terkait anggota DPRD banyak yang tidak berangkat dan digantikan oleh orang-orang terdekatnya seperti PNS, pegawai honorer, staf fraksi, staf komisi maupun staf pribadi. Mereka yang berangkat sebagai pengganti dewan ini akrab disebut dengan istilah “Joki” di DPRD Medan.
Sebelumnya pada pemberitaan terkait anggota DPRD banyak yang tidak berangkat dan digantikan oleh orang-orang terdekatnya seperti PNS, pegawai honorer, staf fraksi, staf komisi maupun staf pribadi. Mereka yang berangkat sebagai pengganti dewan ini akrab disebut dengan istilah “Joki” di DPRD Medan.
Praktik para
joki ini bukan rahasia umum lagi di kalangan DPRD Medan, keberangkatan
mereka dijaga serapi mungkin sehingga tidak pernah ketahuan ketika
melakukan check-in di Bandara.
Mantan
pegawai honorer DPRD Medan, Rahmadsyah kepada wartawan, Senin (9/7)
membenarkan maraknya joki perjalanan dinas. Dia sangat tahu cara-cara
pekerjaan joki, jika ada anggota dewan malas melakukan perjalanan dinas
maka jokilah yang berangkat.
“Caranya
dengan memalsukan KTP, foto di KTP diganti dengan foto si joki, tapi
yang tertera adalah nama si anggota dewan. Misalnya, nama anggota
dewannya si Q, tapi foto di KTP wajah si Z. Jika petugas Bandara meminta
identitas lainnya misalnya SIM, pasti kedok mereka ketahuan. Tapi,
tidak semua dewan seperti itu, masih ada ikut berangkat,” terang
Rahmadsyah.
Keberangkatan
joki seperti ini kata Rahmadsyah sudah lama berlangsung, jadi tidak
heran kalau status anggota dewan sedang berangkat ke propinsi lain, tapi
sebenarnya dia di Medan karena sudah ada joki menggantikannya. Biasanya
si joki dibayar anggota dewan antara Rp1-2 juta, sedangkan biaya
perjalanan dinas Rp 15-20 juta per orang. Sisanya masuk kantong anggota
dewan tersebut.
“Si joki
memegang Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), kemana tujuan
keberangkatan. Maka ke instansi tersebutlah si joki menstempelkan SPPD
tersebut sebagai legalitas si dewan sudah melaksanakan perjalanan
dinas. Tentu si Joki senang jadi joki, karena berangkat dan nginap
gratis ke luar kota, dapat uang saku lagi,” terangnya.
Ketua
DPRD Medan Henry Jhon Hutagalung yang menandatangani SPPD anggota dewan
mengaku sering mendengar keberangkatan dewan digantikan joki. Politisi
PDI Perjuangan ini ketika menandatangani SPPD dewan sering mengingatkan
agar perjalanan dinas dilaksanakan sebaik-baiknya. “Sudah capek saya
mengingatkan supaya perjalanan dinas jangan dijokikan, tapi kerap saya
dengar yang berangkat joki juga. Sebaiknya, partai masing-masinglah yang
melakukan pembinaan,” terangnya.
Menanggapi
maraknya joki ini, pengamat anggaran Kota Medan Elfenda Ananda
mengatakan, anggota dewan tersebut sudah menyakiti hati rakyat, karena
yang mereka gunakan adalah uang rakyat. Untuk itu, aparat penegak hukum
harus menelusuri dugaan penyalahgunaan perjalanan dinas di DPRD Medan,
pelakunya seperti si anggota dewan dan jokinya bisa dipidana berikut
mengembalikan uang negara.
“Praktik
ini sudah terencana dan ada persetujuan dari dewan itu sendiri, padahal
pengawasan di bandara sudah sangat ketat, tapi kenapa para joki bisa
lolos. Makanya, aparat penegak hukum harus mengusutnya, ini sudah
mencederai hati rakyat yang memilih mereka duduk di legislatif,”
tuturnya.
Elfenda
menyarankan, antara perjalanan dinas dan pekerjaan di dewan harus
seimbang. Kalau sudah melaksanakan perjalanan dinas, seminggu berikutnya
harus penuh masuk kantor. Jika perjalanan dinas dirasakan sudah
membosankan, sebaiknya dipangkas saja plafonnya, kemudian mengganti
dengan model lain. “Misalnya, konsultasi ke Kemendagri atau Kementerian
lainnya, sebaiknya dilakukan dengan teleconference saja, anggaran bisa
dihemat,” tegasnya.(24jn)