-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Harus Ada Instrumen Lebih Buat Miskinkan Koruptor

    redaksi
    Selasa, 24 Juli 2018, Juli 24, 2018 WIB Last Updated 2018-07-24T07:48:18Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    image_title
    LP Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.
    INDOMETRO.ID – Kasus suap pemberian fasilitas dan perizinan di Lapas Sukamiskin yang menjerat empat orang termasuk Kalapas Sukamiskin Wahid Husein dan narapidana korupsi Fahmi Darmawansyah dianggap menunjukan hukuman penjara tak membuat jera koruptor.
    Meski dipenjara, mereka masih dapat menikmati uang hasil korupsinya. Bahkan dengan kemampuan finansial itu, para koruptor tak segan menyuap petugas hingga pejabat lapas agar mendapat kemewahan selama menjalani masa hukuman.

    Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji menilai, dengan segala keterbatasan, negara harus turut bertanggung jawab atas lemahnya sistem pengawasan terhadap lapas ini.

    Menurutnya, selama sistem jual beli fasilitas yang kronis dan klasik ini terjadi dan menciptakan stigma buruk lapas, pendekatan sistem pemidanaan efek jera tidak akan berhasil. Bahkan lebih dari itu, narapidana korupsi justru menciptakan dan memberi kontribusi besar bagi sistem kroni kekuasaan besar di lapas.
    "Dan oknum lapas sebagai pendukung utama stigma yang turut memperparah sistem kroni dan kekuasaan oknum lapas ini," kata Indriyanto, Selasa, 24 Juli 2018.
    Karena itu, Indriyanto menilai upaya untuk menimbulkan efek jera tidak cukup hanya dengan pidana penjara. Para koruptor, harus dimiskinkan melalui penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang secara paralel dengan UU Pemberantasan Tipikor.
    "Memang sebaiknya UU Tipikor ini dijalankan secara paralel dengan UU TPPU sebagai salah satu upaya efektif untuk pemiskinan koruptor," kata mantan Pimpinan KPK ini.
    Sejauh ini, kata Indriyanto, KPK sudah menetapkan UU TPPU secara baik dan berkontribusi dalam memiskinkan koruptor secara efektif. Hanya saja, Indriyanto mengakui, para koruptor kerap menggunakan modus penempatan secara berlapis, bahkan sampai lintas negara untuk menyamarkan hasil korupsi mereka.
    "Sedangkan yang berskala nasional dapat ditangani secara baik," kata Indriyanto.
    Untuk itu, Indriyanto menilai pemerintah sudah saatnya mempercepat instrumen pendukung yang lainnya untuk memiskinkan koruptor. Salah satunya segera selesaikan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset.
    Indriyanto mengatakan, kehadiran UU Perampasan Aset dapat lebih efektif memiskinkan koruptor lantaran aset koruptor bisa dirampas tanpa melalui jalur pidana.
    Selama ada dugaan harta pejabat berasal dari kejahatan dapat dilakukan perampasan secara In Rem atau suatu upaya hukum yang dilakukan oleh aparatur negara, untuk menuntut harta benda dari terdakwa, keluarga atau kroni-kroninya yang diperoleh dari hasil kejahatan yang belum tersentuh dalam perkara pidana.
    Upaya itu sering disebut sebagai upaya memiskinkan terdakwa, keluarga atau kroni-kroninya. Gugatan ini berupa gugatan perdata.
    "UU Perampasan Aset itu mengubah paradigma dari perampasan aset atas dasar putusan kasus pidana jadi perampasan aset yang berdasar perampasan aset NCB (Non Conviction Base) yaitu penegak hukum dapat melakukan perampasan aset tanpa berperkara pidana atau perampsan aset diduga harta kekayaan berasal dari kejahatan. Sementara UU TPPU itu sebagai implementasi perampasan aset berbasis adanya putusan (perkara) pidana," kata Indriyanto.
    Selain memiskinkan koruptor, Indriyanto juga sepakat untuk menerapkan sanksi sosial kepada koruptor sebagai upaya menimbulkan efek jera. Menurutnya, pidana kerja sosial atau hukuman sosial sebagai alternatif dari pidana penjara adalah salah satu cara efektif untuk menimbulkan efek jera.
    "Sehingga masyarakat dapat berperan langsung dalam mengawasi pelaksanan pidana kerja sosial, semacam budaya malu bagi pelaku. Dalam hal ini Pengadilan harus berperan dan mendukung pola ini dengan tetap menjaga kebebasan dan independensi hakim. Hakim dapat bebas memilih hukuman pokoknya termasuk perlu tidaknya pelaksanaan pidana kerja sosial," ujarnya.(viva)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini