-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Calon Penantang Petahana Pada Pilpres 2019

    redaksi
    Sabtu, 28 Juli 2018, Juli 28, 2018 WIB Last Updated 2018-07-28T04:24:30Z

    Ads:

    Calon Penantang Petahana Pada Pilpres 2019
    Muhammad Najib (kiri)
    INDOMETRO.ID- JIKA sebelumnya beredar luas foto Presiden Jokowi duduk santai didampingi ketua-ketua partai calon pendukungnya di Istana Bogor, kini beredar luas tokoh-tokoh partai calon penantangnya bergandengan tangan di Hotel Peninsula Jakarta yang diorganisir oleh GNPF Ulama.

    Hampir semua partai calon peserta Pemilu 2019 sudah menunjukkan kecendrungan kemana akan bergabung dalam Pilpres mendatang kecuali Partai Demokrat.

    Wakil Partai Demokrat tidak nampak hadir baik di Istana Bogor maupun di Hotel Peninsula. Hal ini dengan sangat mudah dibaca publik bahwa Partai Demokrat masih membuka opsi untuk dilamar bagi keduanya, tergantung yang mana akan memberikan tawaran lebih menarik. Meskipun demikian bukan berarti yang berada di Istana Bogor tidak akan menyebrang ke kubu sebelah atau sebaliknya. 

    Episode berikutnya akan lebih menarik, karena akan terjadi lobi dan gerilya yang lebih intensif untuk saling membetot partai-partai politik untuk menyebrang. Walaupun telah terbukti di Pilkada bahwa banyaknya partai pendukung kecil sekali pengaruhnya terhadap pilihan rakyat yang lebih melihat pasangan figur dalam menentukan pilihannya, akan tetapi sebagai bagian dari perang opini dan perang phsychologi hal ini tetap penting. 

    Ada tiga cara yang akan digunakan untuk senjata 'membetot' partai dari kubu lawan: Pertama, figur pasangan Capres-Cawapres. Pasangan figur ini merupakan magnit paling kuat, baik karena alasan memberikan peluang untuk menang, maupun akan memberikan implikasi terhadap perolehan suara dalam Pileg yang akan dilakukan secara bersamaan. Selain itu, kesalahan dalam menentukan pasangan Capres-Cawapres juga akan dimanfaatkan oleh kubu seberang untuk menggoda partai-partai yang kecewa untuk membelot.

    Kedua, hubungan personal antar tokoh-tokoh partai politik yang tidak atau kurang harmonis, baik karena faktor kesejarahan maupun karena adanya persaingan dan kepentingan pribadi maupun kelompok terhadap masa depan kekuasaan. Hal ini terjadi di dua kubu yang sedang bertarung.

    Ketiga, faktor logistik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa siapa yang memiliki logistik lebih besar maka mereka akan memiliki peluang lebih besar pula untuk menang. Mahalnya pemilu di Indonesia baik karena besarnya jumlah pemilih, maupun luasnya wilayah pemilihan, serta masih banyaknya daerah terpencil, juga karena semakin pragmatisnya para pemilik suara.

    Lalu bagaimana peta medan pertarungan yang akan dihadapi dua kubu, sehingga tidak keliru dalam menetapkan pasangan Capres-Cawapres yang akan diturunkan ke gelanggang? Untuk membahas masalah ini, barang kali relevan jika minjam paradigma yang ditawarkan oleh Mark Juergensmeyer yang melihat munculnya kontestasi antara kelompok Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Religius pasca Perang Dingin ( The New Cold War,  1993). Sementara Vedi R. Hadiz memandang meningkatnya posisi tawar kelompok-kelompok primordial dalam kontestasi politik di era Populisme yang dipicu dan dipacu oleh penggunaan media sosial saat ini (Islamic Populism in Indonesia and the Middle East, 2015).

    Dengan merujuk pada pandangan dua ilmuwan politik di atas, maka secara sederhana dapat dipastikan kedua kubu akan menempatkan suara pemilih Islam sebagai faktor penentu kemenangan. Tesis ini sudah dibuktikan dalam Pilkada di Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pasangan yang mengabaikan suara pemilih Islam ternyata kalah telak. 

    Lalu siapa sebenarnya yang dimaksud pemilih Islam? Dalam kajian antropologi yang diperkenalkan oleh Clifford Geertz yang membagi masyarakat Indonesia khususnya di Jawa kedalam kelompok santri, abangan, dan priyai. Jika tesis Geertz ini yang dijadikan rujukan, maka secara sederhana pemilih Islam itu adalah kelompok santri. Tesis ini relevan jika digunakan untuk memotret Pemilu tahun 1955. Akan tetapi kini situasinya telah berubah. Pertama, disebabkan adanya proses santrinisasi di kalangan priyai maupun abangan. Kedua, munculnya fenomena meningkatnya primordialisme di kalangan generasi muda yang kini disebut generasi milenial yang tidak lagi bisa dikategorikan berdasarkan tesis Geertz.

    Karena itu, bagi yang jeli melihat perkembangan manuver-manuver politik baik yang dilakukan oleh petahana maupun calon penantangnya, maka kriteria pasangan Capres-Cawapres sudah nampak jelas. Meskipun demikian, kita harus menunggu untuk deklarasi nama, mengingat yang menuhi kriteria ternyata tidak tunggal walaupun sudah semakin mengerucut.(rmol)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini