Papua Pegunungan,Indometro.id -
Provinsi Papua Pegunungan, meskipun memiliki dasar konstitusional yang kuat untuk menegakkan supremasi hukum, kini menghadapi penurunan kepercayaan publik akibat kontroversi dalam proses seleksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui jalur pengangkatan.
Kontroversi ini berpusat pada dugaan pelanggaran regulasi oleh Panitia Seleksi (PANSEL), sehingga perlu dikaji secara yuridis agar publik memahami implikasinya terhadap supremasi hukum dan legitimasi demokrasi di wilayah Provinsi Papua Pegunungan yang sedang terjadi saat ini.
Genealogi Regulasi Kursi Pengangkatan di Papua
Pengaturan tentang kursi pengangkatan di Papua merupakan hasil dari proses panjang dalam dinamika otonomi khusus.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua membuka ruang representasi politik lokal, termasuk wacana pembentukan partai politik lokal. Namun, gagasan tersebut akhirnya dikoreksi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVII/2019, yang tidak mengizinkan partai politik lokal, tetapi menawarkan mekanisme pengangkatan anggota DPRD sebagai bentuk representasi orang asli Papua (OAP).
Putusan itu kemudian menjadi dasar hukum bagi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 (perubahan kedua atas UU Otsus Papua), yang secara eksplisit mengatur mekanisme kursi pengangkatan.
Secara teknis, hal ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otsus di Provinsi Papua, serta Permendagri Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tata Cara Seleksi.
Rangkaian regulasi ini mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan prinsip demokrasi representatif dengan konteks sosial dan adat masyarakat Papua.
Pelanggaran terhadap PP Nomor 106 Tahun 2021
1. Landasan Normatif
Pasal 52 ayat (2) huruf (p) PP Nomor 106 Tahun 2021 secara tegas menyatakan bahwa calon anggota DPRD melalui jalur pengangkatan tidak boleh memiliki afiliasi politik, baik sebagai anggota atau pengurus partai, maupun pernah mencalonkan diri dalam pemilu dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Tujuan aturan ini jelas: menjamin independensi lembaga legislatif agar benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat asli Papua, bukan kepentingan politik praktis partai tertentu.
Dengan demikian, pelanggaran terhadap pasal ini berarti mengkhianati semangat pembentuk regulasi, merusak integritas lembaga, dan mencederai prinsip (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2. Dugaan Pelanggaran Substantif
Berdasarkan bukti empiris Keputusan KPU Provinsi Papua Pegunungan Nomor 18 Tahun 2023 dan Keputusan KPU Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2024 tentang Daftar Calon Tetap (DCT) dan perolehan suara caleg, diketahui bahwa benar adanya PANSEL telah meloloskan sejumlah calon yang masih memiliki afiliasi politik, bahkan sebagian baru saja mencalonkan diri pada Pemilu 2024.
Tindakan ini secara terang melanggar ketentuan Pasal 52 ayat (2) huruf (p) PP 106/2021 tentang masa tenggang lima tahun.
Pelanggaran tersebut tidak dapat dianggap sebagai kesalahan administratif semata, melainkan pelanggaran substantif terhadap prinsip supremasi hukum.
Selain menurunkan legitimasi PANSEL, tindakan ini juga memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan mengancam keadilan dalam implementasi otonomi khusus.
Lebih jauh, karena Permendagri Nomor 2 Tahun 2024 dan peraturan internal PANSEL memiliki derajat lebih rendah daripada PP Nomor 106 Tahun 2021, maka pelaksanaan seleksi yang bertentangan dengan PP tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
Ini jelas bertentangan dengan asas (lex superior derogat legi inferiori) peraturan yang lebih tinggi harus mengesampingkan yang lebih rendah.
3. Ketidakpastian Hukum dan Legitimasi Demokrasi
Menurut prinsip hukum administrasi negara, keputusan PANSEL yang bertentangan dengan PP 106/2021 seharusnya dinyatakan batal demi hukum dan menjadi objek gugatan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT. TUN).
Namun, Pejabat Gubernur Papua Pegunungan tidak menerbitkan Surat Keputusan (SK) dalam batas waktu 14 hari sebagaimana diamanatkan Pasal 79 ayat (8) PP 106/2021. Jadinya kehilangan objek gugatan dan secara tidak langsung mengunci koreksi hukum formal dan dapat dirugikan kepada peserta seleksi yang memenuhi syarat.
Akibatnya, terjadi ketidakpastian hukum_(rechtsonzekerheid_ ) yang berimplikasi langsung pada keabsahan hasil seleksi.
Kondisi ini berpotensi menciptakan krisis legitimasi politik, karena DPRD yang dibentuk dari proses cacat hukum akan sulit menjalankan fungsi representasi dan pengawasan secara kredibel.
Dampak akhirnya, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap lembaga DPRD Provinsi Papua Pegunungan dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Seruan Moral dan Tanggung Jawab Konstitusional
Jika persoalan ini tidak segera disikapi dengan tegas, maka akan memberikan "legacy " yang kurang baik dan menciptakan preseden hukum yang buruk dan berpotensi menjadi (yurisprudensi) negatif yang bisa ditiru oleh daerah lain dalam seleksi anggota DPRD/DPRK pada tahun 2029 ditingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi di seluruh Tanah Papua.
Hal ini bukan sekadar soal prosedur, tetapi menyangkut masa depan integritas demokrasi dan keadilan politik bagi orang asli Papua.
Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri perlu bersikap tegas dan tidak melegalkan hasil kerja PANSEL yang nyata-nyata bertentangan dengan PP Nomor 106 Tahun 2021 Pasal 52 ayat (2) huruf (p).
Pengesahan hasil seleksi yang cacat hukum hanya akan memperburuk kepercayaan publik, melemahkan (good governance,) dan memperdalam krisis legitimasi pemerintahan di Papua Pegunungan.
Penegakan supremasi hukum bukan hanya kewajiban administratif, tetapi tanggung jawab moral dan konstitusional pemerintah pusat untuk memastikan bahwa implementasi otonomi khusus benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip keadilan, integritas, dan perlindungan terhadap hak politik orang asli Papua.
Oleh: Yanes Alitnoe



Posting Komentar untuk "Pelanggaran Regulasi dalam Seleksi DPRD Papua Pegunungan"