Asal Mula Kedatangan Pengungsi Rohingya Ke Indonesia Dan Respon Masyarakat
Rohingya merupakan etnis dari penduduk asli yang mendiami wilayah Arakan, di bagian barat Myanmar. Etnis ini mayoritas beragama Islam dan merupakan minoritas di tengah warga Myanmar yang menganut agama Budha. Selama beberapa tahun, terjadi gesekan yang membuat Myanmar enggan mengakui etnis Rohingya sebagai warga negaranya. Pada tahun 1982, pemerintah Myanmar mengeluarkan regulasi tentang pengaturan kewarganegaraan. Status kewarganegaraan Rohingya dicabut dan dinyatakan sebagai warga negara asing (Stateless). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga pada tahun 2012 terjadi ketegangan antara etnis Rakhine (berkewarganegaraan Myanmar) dengan etnis Rohingya disebabkan isu pemerkosaan gadis Rakhine oleh pemuda Rohingya. Setelahnya terjadi serangan terhadap etnis Rohingya yang dikoordinir oleh pemerintah Myanmar.
Pada tahun 2015, kartu putih yang diberikan pemerintah Myanmar di masa pemerintahan tahun 1990-an untuk etnis yang tidak diakui sebagai bagian dari warga negara Myanmar, dicabut keberlakuannya dari etnis Rohingya. Disaat masih memegang kartu putih, etnis Rohingya masih boleh bepergian atau menikah dengan warga lokal dengan seizin Myanmar. Setelah kartu putih tersebut dicabut, timbul kekhawatiran yang besar dari etnis Rohingya akan keamanan diri mereka sehingga mereka mencari suaka ke negara lain. Segala upaya dilakukan untuk keluar dari Myanmar termasuk membayar penyelundupan ilegal dan sindikat perdagangan manusia dari Thailand. Usaha tersebut berujung terendusnya sindikat penyelundupan ilegal oleh pemerintah Thailand dengan mengeluarkan kebijakan razia besar-besaran di sepanjang teritorial Thailand. Kebijakan tersebut sukses membuat sindikat perdagangan manusia Thailand ketakutan dan meninggalkan begitu saja kapal-kapal berisi etnis Rohingya tanpa bahan makanan di perairan laut Malaka.
Di pertengahan bulan Mei tahun 2015, posisi kapal rombongan etnis Rohingya memasuki perairan Indonesia tepatnya di Aceh utara. Tentara Nasional Indonesia (TNI) berupaya untuk mengusir dan menghalau kembali kapal-kapal Rohingya kembali ke laut. Sikap berbeda ditunjukkan oleh para nelayan, warga setempat, dan tokoh masyarakat yang menerima Rohingya atas dasar rasa kemanusiaan. Himbauan untuk bersikap hati-hati dari TNI tidak memadamkan rasa kemanusiaan tersebut. Masyarakat Aceh mendirikan posko-posko bantuan dan dapur umum, bekerjasama dengan lembaga-lembaga kemanusiaan setempat. Posko pengungsian tersebar di empat tempat , yaitu: kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Tamiang, kabupaten Aceh Utara dan kota Langsa (Adiba Hasan: 2015). Sikap untuk menolak kehadiran pengungsi Rohingya terus dilakukan pemerintah Indonesia, Malaysia, dan juga Thailand dengan memperketat keamanan perbatasan laut. Sikap pemerintah tersebut mendapat kecaman baik dari dalam maupun luar negeri.
Di tanggal 18 Mei 2015, pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Thailand mengadakan pertemuan di Putrajaya (Malaysia) untuk membahas permasalahan Rohingya. Pertemuan itu berhasil mengubah sikap pemerintahan Indonesia untuk menerima kehadiran pengungsi Rohingya sebagai tempat penampungan sementara. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Indonesia membangun kerjasama dengan UNHCR dan International Organization for Migration (IOM). Kloter pengungsi terus bertambah.
Pada November 2023, masyarakat menunjukkan respon yang berbeda dari sikap awal mereka terhadap pengungsi Rohingya. Masyarakat Aceh Besar menolak kedatangan pengungsi dengan alasan keamanan dan kenyaman masyarakat setempat yang mulai terusik dengan kehadiran pengungsi, beberapa pengungsi kabur dari kamp pengungsian.
Status Etnis Rohingya Di Indonesia
Belum ada solusi yang tegas dan jelas tentang status keberadaan pengungsi Rohingya di Indonesia. Walaupun dalam dekade awal dikeluarkan Perpres Nomor 125 Tahun 2016, Indonesia masih belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967) hingga saat ini. Ditinjau secara yuridis, Indonesia tidak termasuk ke dalam negara pemberi suaka ataupun tujuan pengungsi sehingga tidak memiliki tanggungjawab atas pengungsi Rohingya. Kebijakan Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi 1951 ataupun Protokol 1967 karena pertimbangan kepentingan nasional.
Status Rohingya mulai menjadi perhatian terlebih saat Kapolresta Banda Aceh berhasil menangkap sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang pelakunya merupakan etnis Rohingya. Perlu kejelasan status yang pasti, apakah Rohingya di Indonesia merupakan pengungsi, imigran, atau pencari suaka. Defenisi pengungsi (refugee) diberikan oleh UNHCR yang pada intinya adalah orang yang dengan rasa terpaksa harus memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena dilatarbelakangi rasa takut dan persekusi. Rasa takut ini timbul karena pengungsi tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya diterima dari negara asal. Suaka (asylum) adalah bentuk perlindungan dari suatu negara atas permohonan individu atau sekelompok orang dan didasari oleh rasa kemanusiaan, agama, politik, serta lainnya (Sulaiman Hamid, 2002: 47). Defenisi imigran sendiri adalah manusia yang berpindah dari negara asalnya ke negara lain dikarenakan faktor ekonomi, stabilitas politik, budaya, dan sebagainya. Perbedaan masing-masing status akan memberikan akibat atau konsekuensi hukum serta kebijakan pemerintah dari negara transit.
Kebijaksanaan Politik Pemerintah Terhadap Keberadaan Rohingya
Dalam hukum Internasional, suatu negara memiliki kedaulatan nasional sendiri yang tidak dapat diganggu atau diintervensi oleh negara lain ataupun subjek hukum internasional lainnya. Dalam wilayah kedaulatannya negara berhak atas kekuasaan dan hak-hak istimewa lainnya, seperti (J.G. Starke, 2012: 133):
- Kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan dalam negerinya;
- Kekuasan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang-orang asing;
- Hak-hak istimewa duta-duta diplomatiknya di negara-negara lain;
- Yurisdiksi tunggal terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya
Pada posisi Indonesia yang tidak meratifikasi Konvensi 1951 ataupun Protokol 1967, menjadikan Indonesia memiliki kedaulatan nasional tersendiri dalam mengambil kebijakan ataupun keputusan ataupun kebijakan terhadap etnis Rohingya di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan prinsip non-intervensi (non-intervention) dan kesepakatan negara (consent) dalam hukum internasional. Urusan yang terkait kepentingan suatu negara baik dari segi sosial, politik, ekonomi, dan lainnya merupakan kedaulatan negara tersebut. Perlindungan etnis Rohingya di Indonesia didasari pada perwujudan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 dan prinsip non-refoulement yang terus ditanamkan pada negara yang belum meratifikasi peraturan internasional terkait pengungsi. Sederhananya prinsip non-refoulement adalah larangan bagi setiap individu/negara untuk mengembalikan individu ke wilayah yang mengancamkan keselamatan nyawanya.
Permasalahan diatas menimbulkan benturan antara kebijakan internasional dengan kebijakan nasional. Prinsip non-refoulement yang diakui Hukum Kebiasaan Internasional (International Customary Law) menjadi hambatan saat pemerintah Indonesia akan membuat kebijakan maupun kebijaksanaan untuk menyesuaikan aspirasi dan suara masyarakat yang mulai menolak keberadaan etnis Rohingya. Perubahan sikap masyarakat mempengaruhi stabilitas sosial dalam negara. Hal ini menjadi bagian dari budaya hukum yang merupakan poin penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan politik ataupun mengeluarkan produk hukum. Jika dinilai dari sudut pandang politik hukum, kebijakan yang mendengarkan aspirasi masyarakat akan meminimalisir gejolak penolakan dari produk hukum yang dikeluarkan kemudian, sehingga perlu dua arah yang kompleks dalam menangani keberadaan Rohingya di Indonesia saat ini.
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=867
Posting Komentar untuk "Analisis Politik Hukum atas Kebijakan Indonesia terkait Etnis Rohingya"