-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    SEJARAH PERKEMBANGAN PERSAUDARAAN ANTAR GURU NGAJI (PERSADA AGUNG)

    Rabu, 09 Juni 2021, Juni 09, 2021 WIB Last Updated 2021-06-09T05:27:11Z

    Ads:

    Bondowoso, INDOMETRO  08 juni 2021
    Sejarah perkembangan Persada Agung dibagi kedalam tiga periodisasi:
    1. Periode gagasan dilakukan pada awal tahun 2001 hingga November 2001
    2. Periode penegasan keberadaan dilakukan sejak tahun 2002 hingga akhir tahun 2003
    3. Periode institusionalisasi, dilakukan sejak awal tahun 2004 hingga sekarang. Periodisasi tersebut didasarkan pada fase fase penting yang menjadi tonggak perkembangan Persada Agung.
    PERIODE GAGASAN (awal tahun 2001  sampai November 2001).
    Periode ini diwarnai diskusi antara Gus Saif dengan beberapa kader muda (HMI, PMII, kalangan muda NU, alumni muda Pondok Pesantren Sidogiri). Dalam diskusi-diskusi tersebut membicarakan seputar keberadaan sebagai benteng terakhir pertahanan ummat dan formulasi yang tepat dalam melestarikan keberadaan Guru Ngaji, Diskusi ini diarahkan pada pencarian solusi atas tumpulnya ormas keIslaman (NU, Muhammadiyah, HMI, PMI) yang dinilai tidak lagi memiliki daya dobrak psikologis yang mewadahi dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan ummat.

    Apalagi semenjak tahun 1990-an, ormas-ormas Islam yang memiliki basis massa besar seperti NU dan Muhammadiyah telah banyak berkonsentrasi dalam ijtihad politik. Ormas besar Islam yang dikenal banyak melahirkan pemikir-pemikir pembaharu, dalam membentuk sistem sosial masyarakat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan dan kemoderenan, malah banyak dimanjakan kompetisi politik. Mereka lebih banyak mengasah skill politik dan menjadi pengagum tokoh ketimbang mengkritisi pemikirannya dan kemudian dioperasionalkan dalam pengembangan masyarakat madani.

    Berangkat dari diskusi-diskusi yang inten mencoba memotret adanya kecenderungan dijadikannya basis massa ummat sebagai sarana eksploitasi politik. Atas nama ummat, para “tokoh agama politisi” lebih mampu mengkonsolidasi aset-aset pembangunan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Sementara yang senantiasa committed dalam pembinaan dan pemberdayaan ummat justru terpinggirkan, bahkan terkena imbas citra buruk dari perilaku politik para “tokoh agama politisi”. Budaya korupsi, sebagaimana sinyalemen Mundzar Fahman, juga banyak dilakukan oleh orang-orang yang terlanjur dipersepsikan sebagai kyai. 

    Sebagaiman dilansir dari https://www.xposfile.com/
    Bahwa Gus Saif alias KH. Saiful Ridjal memandang citra buruk yang diarahkan kepada lembaga-lembaga ke-ummatan sebenarnya tidak menggambarkan perilaku obyektif keseluruhan ummat. Citra buruk justru dipicu oleh orang orang yang sebenarnya tidak memiliki investasi dalam pembinaan ummat. Akan tetapi telah diuntungkan oleh pencitraan bahwa mereka merupakan tokoh-tokoh ummat.
    Pencitraan negatif yang sudah terlanjur melekat dan diarahkan kepada ummat harus diluruskan. Harus dibuat batasan tegas antara potensi dan pembina ummat yang sebenarnya oknum. Dengan demikian ummat pada lapisan bawah tidak dibodohi.

    Dari diskusi kemudian berkembang menjadi sebuah dialektika yang akhirnya lebih diarahkan pada upaya mengidentifikasi potensi ummat yang masih benar-benar steril. Dan secara konsisten melakukan pembinaan ummat pada lapisan grassroot. Akhirnya ketemulah Guru Ngaji sebagai potensi ummat yang masih steril dan komitmennya dalam pembinaan ummat tidak diragukan lagi. Bahkan semenjak pertama Islam diperkenalkan di bumi Nusantara ini.

    Peran Guru Ngaji tidak sebatas pada pembinaan ummat, tetapi juga pada pembentukan, pelestarian dan pertahanan peradaban yang kini disebut Indonesia.
    Dialektika dan diskusi juga menyoroti keberadaan Guru Ngaji yang tidak pernah sepi dari beragam tantangan. Mulai in timidasi para kolonial Belanda, dijadikannya eksperimentasi politik pada era Orde Baru (sebagaimana kasus santet Banyuwangi), maupun pencitraan buruk oleh beberapa perilaku tindak kriminal yang mengatasnamakan Guru Ngaji.

    Sayangnya potensi ummat bernama Guru Ngaji ini tidak memiliki kekuatan kelembagaan yang mampu melindungi dirinya. Lebih parah lagi, mereka dijadikan sebagai objek santunan dalam keberadaan yang terpinggirkan di tengah perkembangan sosial-ekonomi yang berkembang cepat.

    Gus Saif memandang perlunya wadah bagi internal untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Berawal dari gagasan diskusi kemudian muncul gagasan pembentukan Asosiasi Guru Ngaji (AGUNG) sebagai wadah silaturakhim Guru Ngaji. Namun nama itu oleh Gus Saif AS dipandang tidak menggambarkan kemuliaan peran para Guru Ngaji. Nama AGUNG kemudian diubah menjadi Persada Agung yang merupakan singkatan dari Persaudaraan Antar Guru Ngaji dengan simbol kubah madinah. 
    Simbol itu merupakan gambaran semangat Persada Agung yang hendak mewujudkan peradaban madani Indonesia melalui potensi Guru Ngaji. Maka pada pada tanggal 15 Sya’ban 1422 H (01 November 2001 M), Persada Agung dideklarasikan secara sederhana di kediaman Gus Saif, di dusun Gambangan, Desa Tanah Wulan Kecamatan Maesan Kabupaten Bondowoso Jawa Timur.

    (Ahyar Rosyid)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini