-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Generation Equality: Amankah Negeri Ini Bagi Anak Perempuan?

    redaksi
    Kamis, 12 Maret 2020, Maret 12, 2020 WIB Last Updated 2020-03-13T02:04:21Z

    Ads:



    indometro.id-""Bu...ada video tuh, mau lihat? Ngeri lho, Bu..." begitulah pagi saya dihiasi sebuah artikel kiriman dari anak saya usai ia mengerjakan USBN-nya. 
    Kejadian tersebut tentang kasus perudungan di Bolaang Mongondow, dilakukan oleh lima orang remaja, yang menurut berita di media massa kini sedang ditangani oleh pihak kepolisian dan dalam pendampingan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Bolaang Mongondow.
    Tak perlu saya bahas terlalu mendalam dan detail menyoal kasus tersebut. Hanya saja, sesaat saya terdiam dalam kengerian yang menggelayuti batin saya.
    Artikel yang sempat mengguncang batin dan benak saya tersebut pada sore harinya ternyata telah menghiasi jagat twitter dan menjadi trending topik
    Sebagai single parent, saya sempatkan mendiskusikan hal ini dengan anak saya, karena saya menganggap ini hal yang sangat sensitif sekaligus menjadi hal yang urgently discus, agar tak terjadi kesalahpahaman pada anak-anak.
    Generation Equality : Sebuah Seruan, atau Keprihatinan Dunia?
    Terlepas dari detail kasus Bolmong, ada satu fakta yang tak dapat kita pungkiri adalah bahwa Indonesia, ternyata jauh tertinggal dari 76 negara lain yang telah mencapai tahap generation equality.
    Tujuan dari UN Women untuk mewujudkan pemenuhan kesetaraan hak bagi anak perempuan di seluruh dunia adalah menyerukan kembali terciptanya kondisi kondusif bagi anak-anak perempuan di seluruh dunia untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan serta perlakuan hak yang sama dalam pelbagai segi kehidupannya. Dan sangat disayangkan ternyata Indonesia bukan merupakan salah satu dari 76 negara yang telah sukses dengan program generation equality.
    Salah satu hal yang seharusnya masih menjadi sorotan kita selain terpenuhinya hak edukasi bagi seluruh anak perempuan di Indonesia, adalah kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
    Kasus-kasus pelecehan seksual dalam ranah privat maupun ranah komunitas biasanya terjadi pada anak perempuan sebagai korban. Meskipun anggapan ini tidak selalu mutlak, karena kasus Bolaang Mongondow (Bolmong) kemarin mengungkapkan bahwa anak-anak perempuan pun ikut terlibat sebagai pelaku dalam kasus pelecehan tersebut. Ya, hal yang sangat ironis dan mengerikan.
    Seseorang pernah berkata pada saya,"Jangan salah, yang jadi korban bukan hanya yang dilecehkan, namun juga yang melakukan."
    Benar. Dan sangat disayangkan bilamana video tersebut telah tersebar luas. Karena bukan hanya yang dilecehkan atau pelakunya, hal yang mendasar yang perlu kita cermati adalah bagi mereka yang melihat video tersebut pun telah menjadi korban, apakah kita menyadarinya?
    Jika kasus bunuh diri saja bisa menular, maka bukanlah hal yang luar biasa jika perilaku menyimpang dari para remaja ini pun mampu berubah menjadi endemik.
    sumber : Twitter.com |@KomnasPerempuan

    Mengulik dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020, ditemukan bahwa kekerasan pada anak perempuan selalu berada pada peringkat tiga besar tertinggi dalam urusan kekerasan di ranah personal, hingga mencapai angka 21 persen atau sebanyak 2.341 kasus terlapor.
    Sedangkan pada ranah komunitas kekerasan seksual pada anak perempuan berada pada angka 2.890 kasus, dimana korban pelecehan tersebut adalah kaum pelajar.
    Bila pada tahun 2018 yang lalu, teman menempati posisi pertama sebagai pelaku tindak kekerasan pada anak perempuan di ranah komunitas, maka pada tahun 2019 kemarin, "teman" tergeser menjadi peringkat ke dua setelah orang yang tak dikenal sebagai pelaku kekerasan tertinggi.
    Meloncatnya angka kekerasan terhadap perempuan sebesar 8 kali lipat dari tahun 2008-2020 membuat kita patut mendudukkan perkara ini sebagai hal yang  tak dapat dipandang sebelah mata. 
    Jenis kasus kekerasan seksual yang terjadi di negara kolam susu pada tahun 2019 kemarin diindikasikan  lebih banyak terjadi pada kasus cybercrime, seperti tertera pada grafik berikut.
    sumber : Catahu Komnas Perempuan 2020
    sumber : Catahu Komnas Perempuan 2020
    Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa jenis tindak kekerasan terhadap perempuan via cybercrime menduduki peringkat pertama sebesar 40 persen atau sebanyak 114 kasus. 
    Peringkat ke dua kekerasan di tempat tinggal sebesar 22,1 persen atau 63 kasus terlapor. Sedangkan pada peringkat ke tiga, kekerasan pada perempuan yang terjadi di tempat tinggal menempati angka 21,8 persen atau 62 kasus.
    Untuk sisanya kekerasan pada perempuan yang terjadi di tempat pendidikan dan di layanan publik. Masing-masing tercatat 12 kasus terlapor (4,2%) dan 22 kasus (7,7%). 
    Kenyataan ini diperburuk dengan fakta bahwa di ranah personal/rumah tangga, pun ternyata bukan tempat yang aman bagi anak perempuan. Banyak kasus perkosaan dan pelecehan seksual terjadi dalam lingkup personal.
    Inses adalah kasus berikutnya yang patut mendapat perhatian bagi kita masyarakat negri +62 ini.
    Inses dalam artian KBBI disebutkan sebagai sebuah sebuah hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, atau agama.
    Sedang salah satu bentukan dari inses itu sendiri adalah pemaksaan hubungan seksual sadomasokis. 
    Kasus inses yang mana korbannya adalah perempuan, lebih banyak merujuk pada anak perempuan yang sudah seharusnya mendapat perlindungan dalam keluarganya sendiri.
    Namun ironisnya, pelaku inses untuk perkara kekerasan dalam ranah privat adalah orang-orang terdekat korban ( ayah kandung, paman, ayah tiri, dan atau ayah angkat). Sedangkan pelaku kekerasan dalam ranah komunitas banyak dilakukan oleh teman, guru, atau orang tak dikenal.
    Hukum Indonesia dan Perannya Dalam Kekerasan Terhadap Anak Perempuan
    Lalu bagaimana sistem hukum di negara yang katanya semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum ini?
    Apakah regulasi yang ditetapkan pemerintah sudah mampu memayungi perempuan, terlebih anak perempuan dari tindak kekersan yang menimpa mereka di negara yang terkenal dengan ramah tamahnya ini?
    Gagalnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) tahun lalu mengindikasikan bahwa perjuangan untuk mendapatkan keadilan, kebenaran, dan payung hukum yang kuat, bagi terciptanya kondisi yang kondusif bagi perempuan, khususnya anak-anak perempuan akan semakin panjang.
    Sedangkan dalam KUHP yang menjadi salah satu patron bagi legalitas hukum di Indonesia tak memuat satu pun yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan, atau bahkan kekerasan terhadap anak perempuan. KUHP milik Indonesia, hanya memuat istilah perbuatan cabul.
    Dalam hal ini tindakan/perbuatan cabul terhadap anak -anak diatur dalam KUHP pasal 293, pasal 294, pasal 295 ayat 1. Dan hanya ada satu sistem perundang-undangan, UU No. 23 Tahun 2002 pasal 81 ayat 2 tentang Perlindungan Anak.
    Yang sangat disayangkan adalah fakta tentang kekerasan seksual terhadap anak perempuan (kasus inses) mengalami sebuah dilema besar, manakala kasus-kasus inses terlapor, biasanya diselesaikan dengan jalan damai. Hal ini dilakukan demi terciptanya hubungan baik dalam sebuah keluarga. 
    Apakah cara ini ampuh untuk menekan angka kekerasan terhadap anak perempuan? Alih-alih menjadi solusi. Cara ini kemungkinan besar akan membuat celah bagi penambahan jumlah kasus kekerasan yang terjadi dalam ranah privat. Siapa yang menjadi korban?
    Bayangkan saja, apa yang akan dilakukan oleh seorang ibu bila mengetahui bahwa suaminya  sering melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap anaknya sendiri. Mengerikan? Itulah fakta yang terjadi di negri nan kaya akan budaya pekerti yang luhur ini.
    Tantangan dalam masyarakat lebih menekan kuat dimana akhir-akhir ini banyak kasus pelecehan seksual terhadap anak perempuan baik pada ranah privat maupun komunitas tak mampu mendapatkan  solusi hukum yang apik, sehingga menimbulkan satu fenomena gunung es dalam sistem persamaan kedudukan bagi setiap warga negara untuk mendapatkan haknya.
    Sedemikian rapuhnya hukum negara menjamin kebutuhan anak-anak perempuan untuk mendapatkan equal rights in justice.
    Bila menilik seberapa besar kerawanan bagi anak-anak kita, maka bukankah ini adalah saatnya untuk memberikan hak yang tepat bagi anak-anak kita, yang adalah generasi pemegang tongkat estafet negri tercinta?
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini