-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Buntut Oknum Dosen Cabuli Mahasiswi, Celana Dalam Dibentang di FISIP USU

    redaksi
    Selasa, 28 Mei 2019, Mei 28, 2019 WIB Last Updated 2019-05-28T04:25:24Z

    Ads:

    Puluhan mahasiswa USU saat menggelar demo di Kampus USU. Mereka menuntut agar sanksi diberikan kepada oknum dosen di FISIP USU.
    MEDAN,INDOMETRO.ID Puluhan mahasiswa tergabung dalam Mahasiswa Bersatu Universitas Sumatera Utara (MABESU) menggelar aksi di Kampus USU, Medan, Senin (27/5).
    Mereka menuntut sanksi tegas terhadap oknum dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya.
    Massa yang terdiri dari berbagai Fakultas di USU melakukan aksi damai dengan longmarch dari Pintu 2 USU. 

    Dengan melakukan orasi terbuka dan memajang poster kecaman atas prilaku oknum dosen tersebut, massa bergerak ke Kampus FISIP USU. Mereka kembali berorasi di tengah lapangan.
    Protes yang paling keras dilakukan massa dengan memajang celana dalam di depan Kantor Prodi Sosiologi. Sejumlah celana dalam juga dibentangkan massa di tengah lapangan. Pemandangan ini menjadi tontonan mahasiswa lainnya.
    “Kami mendesak agar kampus memberikan sanksi tegas kepada dosen HS yang telah melakukan tindak asusila. Karena jika tidak ini menjadi catatan buruk USU sebagai universitas negeri,” ucap Gubernur Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FISIP USU, Harry Cahya Pratama Purwanto dalam orasinya.
    MABESU menuntut agar dosen ‘otak mesum’ itu dipecat dari kampus. Mereka ingin ada efek jera kepada tindak asusila di kampus. Menurut Harry, selama ini pelecehan seksual di kampus terjadi karena ada relasi kuasa terhadap mahasiswa dari dosen. Sehingga dosen memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang untuk berbuat asusila kepada mahasiswa.
    “Harusnya dunia pendidikan menjadi tempat menjunjung tinggi moralitas. Tapi kenapa masih ada perilaku dosen asusila. Ini tidak bisa ditolerir. Kampus juga harus membuat regulasi sebagai bentuk pencegahan terhadap perilaku dosen yang tidak beretika,” jelas Harry.
    Merebaknya kasus pelecehan seksual di Kampus FISIP USU, mencoreng nama baik kampus yang sudah melahirkan banyak aktivis kelas wahid itu. Bahkan kasus ini memberikan teror baru di kalangan mahasiswa.
    Adinda Azzahra, mahasiswi FISIP USU mengatakan, dalam kasus pelecehan oleh dosen, para korban memilih bungkam. Karena ada ketakutan yang merundung para korbannya. Baik itu dari sisi akademis atau pun takut karena dianggap mahasiswa yang tidak baik.
    “Saya mahasiswa angkatan 2015. Dan saya sudah dengar rumor ini sejak saya masuk ke dalam kampus. Saya berharap kampus bisa memberikan sanksi tegas dan membuat regulasi sebagai langkah preventif,” kata Dinda.

    Sementara itu, Dekan FISIP USU, Muryanto Amin yang ditemui di kantornya mengaku sudah serius menangani kasus ini. Muryanto juga mendorong, jika ada korban lainnya bisa membuat laporan tertulis tentang kebejatan dosen yang dialaminya. “Kalau ada lebih dari satu korban, tolong buat laporan tertulis. Saya akan jamin kerahasiaan identitasnya,” tutur Muryanto.
    Muryanto pun memberi kesan jika sangat sulit untuk mengumpulkan bukti-bukti kasus pelechan seksual yang dilakukan HS. Makanya dia meminta agar dibuat laporan tertulis.
    Kasus ini pun juga sudah ditangani sejak 2018 lalu. Bahkan dia mengaku, kampus sudah memberikan sanksi tegas kepada dosen agar memperbaiki perilakunya dan tidak mengulangi perbuatan itu. Sejak Mei 2018, kasus itu tidak menemukan bukti baru sebelum akhirnya kembali merebak Mei 2019.
    Muryanto juga menunjukkan peraturan yang bisa menjerat pelaku untuk mendapatkan sanksi. Dalam dua minggu terakhir, kampus kembali memulai mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut.
    “Sanksi sudah ada. Karena ini masuk dalam kode etik. Untuk menegakan kode etik itu, harus ada bukti. Kalau ada bukti baru kita akan proses secara proporsional,” jelasnya.


    Dalam peraturannya, sanksi yang diberikan bisa mulai dari teguran tertulis, sanksi skorsing, atau sanksi akademik, lalu pemecatan. “Harus ada bukti yang kuat proses pemecatan itu. Mengikuti prosedur untuk pemecatan PNS,” pungkasnya.(sp)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini