-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Penegakan HAM, Bagaimana Nasibnya?

    redaksi
    Rabu, 09 Januari 2019, Januari 09, 2019 WIB Last Updated 2019-01-09T02:36:01Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    Penegakan HAM, Bagaimana Nasibnya?
    Novel Baswedan
    INDOMETRO.IDPenilaian anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Ahmad Syafii Maarif alias Buya Syafii cukup mengejutkan terkait penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Menurut dia, soal penegakan HAM menjadi salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
    Selain kasus lawas seperti tewasnya pegiat HAM Munir Said Thalib, wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), Marsinah, hing­ga kasus kriminalisasi penyiraman air keras ter­hadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan yang terjadi di era Jokowi pun hingga kini belum sanggup diungkap. 

    "Ini ada titik lemah, ada rantai lemah. Soal Munir, Udin, Marsinah, Novel (Baswedan) tidak selesai. Itu menurut saya pemerintah ndak boleh melupakan," kata Buya Syafii. 

    Sekadar mengingatkan, pada Pilpres 2014 lalu Jokowi-Jusuf Kalla menjanjikan berbagai program terkait HAM yang dimuat dalam visi-misinya. Janji-janjinya itu adalah; Pertama, memasukkan materi tentang HAM pada kurikulum pendidikan umum. Kedua, menye­lesaikan masalah HAM masa lalu dan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer. 

    Untuk penanganan kasus HAM masa lalu, salah satu poin dari 42 prioritas utama kebijakan penegakan hukum, pasangan ini berkomitmen akan menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965. 

    Lantas apakah benar penilaian Buya Syafii ini? Kepada Rakyat Merdeka, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan penilaiannya dan ditanggapi oleh Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Johnny G Plate.

    BACA JUGA :


    Johnny G Plate: Kasusnya 20 Tahun Lalu, Jokowi Belum Jadi Walikota
     

    Buya Syafii menilai penegakan kasus HAM di era Jokowi dianggap masih lemah. Apa tanggapan Anda atas penilaian tersebut? Masalah HAM yang mana? Eranya Pak Jokowi ini justru berpihak pada HAM kok. Lembaga-lembaga adat diperkuat, perhutanan sosial dilaksanakan, sehingga keber­pihakan negara terhadap la­han usaha masyarakat itu tinggi. Jutaan hektare lahan usaha itu diberikan kepada masyarakat, dan dibiarkan untuk dikelola oleh masyarakat. Berarti pemerintah itu berpihak pada masyarakat. 

    Hak usaha untuk mengelola la­han itu dijaga betul oleh pemerin­tah. Lalu ada juga soal partisipasi perempuan. Program PKH (Program Keluarga Harapan), program BOS (Bantuan Operasional Sekolah), JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), dan sebagainya itu sangat berpihak kepada masyarakat. Peran perempuan pun terus ditingkatkan selama Pak Jokowi-JK melaksanakan pemerintahannya. 

    Tetapi hingga kini ka­sus pelanggaran HAM berat masa lalu belum juga tuntas. Padahal itu menjadi salah satu janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Itu bagaimana? 

    Pak Jokowi-JK dan Kiai Ma'ruf ini kan tidak tersangkut sama sekali den­gan kasus HAM berat. Mereka sama sekali tidak tersangkut, dan mereka tentu membantu menyelesaikan secara adil. Pak Jokowi akan terus berusaha, supaya masalah HAM berat masa lalu itu bisa diselesaikan secara adil. Tapi hal itu tidak bisa dipaksakan. Karena apa? Karena harus melalui rekonsiliasi sosial yang berkeadilan. Itu tidak bisa dipaksa-paksa. Nah, Pak Jokowi, Kiai Ma'ruf, serta Pak Jusuf Kalla tidak punya masalah pelanggaran HAM berat. Pak JK bahkan menjadi negosiator untuk menyelesaikan kasus HAM di Aceh. 

    Dengan pengalaman yang begitu luas, dia terus berusaha menyele­saikan masalah HAM masa lalu. Kalau mau evaluasi, evaluasilah pro­gramnya. Jangan hanya evaluasi Jokowi-JK, dan yang jadi paslon itu Jokowi-Ma’ruf. 

    Tetapi kenyataannya banyak kasus HAM berat masa lalu yang belum selesai. Bahkan di era Jokowi muncul kasus kriminal­isasi terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang hingga kini juga belum terungkap? 

    Memang, tapi itu belum selesai karena memang tidak gampang. Marsinah dan Munir itu dari zaman­nya presiden siapa itu belum selesai? Sudah berapa presiden tuh tapi be­lum selesai juga? Memang eranya Jokowi sendiri? Kan tidak, sudah ada beberapa presiden yang mengu­rusi kasus ini, tapi belum juga tuntas. Kalau soal kasus Novel Baswedan itu kasus kriminal. Aparat harus se­lesaikan. Kami dari TKN, termasuk Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf berharap aparat hukum bergerak menuntaskan kasusnya. Dengan menggunakan aturan dan norma hukum yang ada, tidak boleh diintervensi. Berikan keleluasaan kepada kepolisian untuk mengerjakannya secara profesional. Tapi apa yang ingin dilakukan dari mereka? Intervensi. Kalau presiden intervensi di kasus Novel Baswedan, demi keadilan hukum, maka kasus lainnya juga harus diintervensi. Kalau itu terjadi dan semuanya diintervensi presiden, maka hukum tidak lagi jadi panglima. Kita kan ingin pemerintah­an yang demokratis dengan berland­askan hukum, bukan pemerintahan otoriter. Kalau hukum diintervensi itu bukan lagi negara hukum. Dulu kita melaksanakan reformasi supaya pemerintahan kita demokratis. Jadi jangan ditarik kembali, memper­juangkan gaya kepemimpinan yang otoriter. 

    Memang sejauh ini apa saja upaya yang sudah dilaksanakan guna menuntaskan kasus HAM masa lalu? 
    Macam-macam usahanya, silakan tanya sendiri sama polisi, tanya sendiri pada tim-tim yang bekerja. Masak se­muanya presiden yang harus men­gurusi. Kasus Novel harus diurus, pembunuhan sana, pembunuhan sini harus diurus, kan enggak bisa. Kan ada pejabat-pejabat yang bertugas melakukan hal itu. Presiden ini kan kepala negara dan kepala pemer­intahan. Masalah yudisial kita harus biarkan berjalan secara independen, dan be­bas tekanan dari eksekutif. Dia harus berjalan independen dengan tidak diintervensi oleh eksekutif. 

    Berarti bukannya enggak mau intervensi ya? 
    Bukan enggak mau, salah kalau bilang enggak mau. Tapi pemerintah memang tidak boleh menginter­vensi judicial system, itu bagaimana negara demokrasi dan hukum bejalan. Kalau mau dan melakukan intervensi atas hukum itu negara otoriter. Diktator itu namanya, tidak boleh. Jadi mau pe­merintahan otoriter atau demokratis? Kalau otoriter gampang, presiden lang­sung perintahkan saja, tangkap orang itu mau benar atau tidak. Tangkap dulu biar puas orang-orang. Kalau di negara demokratis yang begitu tidak boleh, harus ikut proses hukum. 

    Di negara demokratis itu bisanya dengan cara memberikan penga­wasan politik, berikan evaluasi dalam sidang kabinet, bagaimana supaya efektif pelaksanaan hukumnya, dise­diakan anggarannya. Itu yang harus dilakukan, dan itu sudah dilakukan oleh pemerintahannya Pak Jokowi. Terkait kasus HAM masa lalu, seperti Marsinah dan Munir tidak didiamkan, pasti sudah diperiksa prosesnya sam­pai dimana. 

    Ahmad Taufan Damanik:  Sudah 4 Tahun Belum Ada Langkah Signifikan

    Buya Syafii menilai penegakan HAM di era Jokowi masih lemah. Kalau berdasarkan pandangan Komnas HAM bagaimana? 
    Tergantung isunya ya. Kalau untuk pelanggaran HAM berat, memang kami masih mengkritisi, karena sudah empat tahun berjalan, belum keliha­tan langkah yang betul-betul signifi­kan. Terutama dalam meneruskan 10 berkas penyelidikan, yang sudah diberikan oleh Komnas HAM kepada Jaksa Agung. Sampai hari ini kan itu belum ada perkembangannya. 

    Kalau untuk kasus HAM ringan bagaimana? 
    Bukan ringan, yang biasalah ya. Dalam hal ini kami melihat memang ada beberapa perkembangan. Misalnya pemerintah sudah mem­bentuk tim reforma agraria, ada perpres penanganan masalah agraria, lalu ada kebijakan untik perhutanan sosial, dan lain-lain. Itu semua ka­mi apresiasi sebagai langkah yang baik. Tetapi kami juga masih melihat ada berbagai masalah di lapangan, khususnya terkait dengan investasi. Misalnya investasi perkebunan, per­tambangan, dan lain-lain masih ada berbagai kasus yang meli­batkan masyarakat di daerah tempat investasi dilakukan. Dalam hal pembangunan infrastruktur juga sama, kami menemukan beberapa ka­sus, di mana pembangu­nana itu justru menyebabkan masyarakat terpinggirkan. Solusi yang diberikan kerap tidak terpikirkan. 

    Contohnya? 
    Misalnya kasus tempo hari di Kendal, dimana masyarakat setempat menolak karena kompensasinya tidak se­suai. Apraisalnya di­anggap tidak di­lakukan dengan baik, sehingga dia mengadu ke Komnas HAM. Kami sudah minta su­paya tung­gu dulu sampai ada me­diasi, tapi ternyata pelaksanaan proyeknya jalan terus. Lalu di Kulonprogo juga sempat terja­di konflik. Komnas HAM sudah turun ke sana untuk memediasi, karena ada warga yang belum bersedia menerima kompensasi, karena merasa tidak adil. Tapi sebagian yang lain sudah menerima kompensasi dan relokasi. Yang juga cukup memprihatinkan itu adanya kriminalisasi terhadap petani, dan tokoh aktivis agraria. Masalah ini sudah mendapat perhatian dari kalan­gan internasional. Kami sudah dapat banyak surat dari luar negeri, yang menanyakan kenapa ada orang yang memperjuangkan hak mereka karena dirugikan suatu tambang misalnya, tapi justru dipidanakan dengan tudu­han macam-macam. Ada berbagai kasus seperti itu. 

    Jadi secara keseluruhan seperti apa penilaian Komnas HAM? 
    Jadi satu sisi ada kebijakan yang kami lihat sudah progresif, tapi di sisi lain masih ada kasus-kasus seperti ini, di mana kadang-kadang terjadi kekerasan di lapangan. Petani mengalami kekerasan dari aparat atau preman yang dikerahkan, atau pihak-pihak lain. Sehingga mereka tidak hanya kehilangan haknya, tetapi juga mengalami berbagai tekanan tersebut. Semua itu sudah tuntas kami sampaikan semuanya kepada pemerintah. Nah, yang juga eng­gak kalah pentingnya adalah soal penanganan keberagaman. Indonesia ini kan negeri yang beragam. Karena itu sejak berdiri, dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita, agar bisa mengaja kebhinekaan kita. Semuanya harus memiliki hak yang sama. Tetapi dalam kenyataannya, dari hari ke hari terjadi praktik tirani kriminalitas oleh mayoritas, terhadap minoritas. Ada kelompok tertentu yang merasa didis­kriminasi, merasa kebhinekaan tidak dilaksanakan dengan benar. Misalnya masyarakat adat, dan kelompok-kel­ompok agama minoritas. Mereka bu­kan hanya didiskriminasi, tetapi juga dipersekusi. Tidak hanya kelompok Islam yang mendiskriminasi Kristen, tetapi kadang di tempat tertentu Islam juga didiskriminasi oleh Kristen. Atau di antara umat beragama yang sama juga bisa terjadi demikian. 

    Anda tadi bilang sampai terjadi kriminalisasi di lapangan. Bisa di­jelaskan seperti apa kriminalisas­inya? 
    Ya perusahaannya kan masih men­jadi masalah. Jadi ada protes dari masyarakat kenapa mereka berop­erasi, tetapi enggak memperhatikan dampak lingkungan. Sehingga sawah mereka jadi tidak produktif, rusak, dan sebagainya. Nah mereka protes itu. Mestinya kan terhadap keru­sakannya itu yang harus dicarikan jalan keluarnya, bukan malah mempi­danakan mereka. Orang yang sedang memperjuangkan haknya itu malah dikriminalisasi, dengan tuduhan yang macam-macam dan tidak berdasar. 

    Berarti secara keseluruhan menurut Komnas HAM penegakan HAM saat ini masih lemah ya? 
    Ya kita sebetulnya punya banyak kemajuan. Di ASEAN kami diang­gap sebagai negara kampiun HAM. Komnas HAM dalam pertemuan regional, selalu ditempatkan di negara yang sudah lebih maju. Filipina seka­rang malah mengalami kemunduran, Thailand sekarang di bawah rezim militer. Jadi yang menonjol sekarang ya Indonesia. Tapi sebetulnya masih ada tantangan buat kita dalam ber­bangsa dan bernegara.(rml)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini