-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Keluh Kesah Pengusaha Bisnis Atas Aksi Pemboikotan Produk Terafiliasi Israel

    redaksi
    Kamis, 16 November 2023, November 16, 2023 WIB Last Updated 2023-11-16T08:46:06Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh

     




    Jakarta,indometro.id -

    Asosiasi pengusaha mengeluhkan kondisi industri ritel usai aksi boikot produk yang diduga terafiliasi Israel digembor-gemborkan. Langkah ini diproyeksikan dapat berpengaruh terhadap operasional bisnis perusahaan.

    Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Uswati Leman Sudi mengatakan, aksi ini akan berpotensi menurunkan transaksi di pasar modern hingga 50%. Pasalnya, mayoritas barang yang ada dalam boikot tersebut merupakan produk pareto.

    Adapun produk pareto sendiri merupakan barang yang berkontribusi hingga 80% dari produk di pasar, namun kontribusi ke transaksi hanya 20%. Umumnya produk pareto adalah produk konsumer seperti sabun, sampo, hingga susu dalam kemasan.

    "Pengurangan penjualan produk pareto biasanya dari isu yang kecil dan berkembang. Mungkin transaksi di pasar hilir bisa berkurang sampai 50% dan target ekonomi pemerintah akan sulit tercapai," kata Uswati dalam konferensi pers di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan, Rabu (15/11/2023).

    Di sisi lain, menurutnya kebanyakan dari perusahaan-perusahaan itu berlokasi di dalam negeri dan beroperasi dengan dukungan tenaga kerja dalam negeri. Perusahaan-perusahaan terkait juga mengaku tak pernah memberikan sumbangan ke Israel.

    "Perusahaan yang ada di list (boikot) tersebut dipastikan produksi di Indonesia. Kami juga sudah menanyakan ke temen-temen anggota. Tak ada satupun yang memberi sumbangan ke negara yang disebutkan berafiliasi dengan mereka (Israel). Dan itu bisa ditegaskan tak ada satupun," ujarnya.

    Uswati mengatakan, dirinya paham dan turut mendukung langkah kemanusiaan yang terus digaungkan. Namun ia berharap agar pemerintah juga turut hadir dalam membantu industri agar tetap bisa survive.

    "1 minggu bisnis bergulir, kategori yang dimaksudkan akan menggerus bisnis. Sementara pemerintah pengen ekonomi jangan turun, inflasi jangan naik. Kalau dibiarkan objektif pemerintah pasti tak tercapai," imbuhnya.

    Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mande mengatakan, industri ritel belum sepenuhnya pulih dari dampak terjangan pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Namun saat ini, industri malah dihadapkan pada masalah geopolitik dunia mulai dari perang Rusia-Ukraina hingga Israel-Palestina.

    Dalam satu minggu ke belakang, Roy menyebut ada penurunan belanja masyarakat sekitar 3-4%. Hal ini terlihat sejak aksi boikot ini massive dilakukan. Namun Roy menekankan, data ini baru perkiraan dan belum 100% akurat. Hal ini juga mengingat gencarnya aksi boikot baru dirasakan dalam kurun waktu 1 minggu terakhir.

    "Belum signifikan (dampaknya). Jadi kalau masih angka kira-kira pendekatan yang secara umum sekitar 3-4%, penurunan konsumsi belanja masyarakat, untuk daerah-daerah tertentu belum seluruh daerah," ujar Roy, dalam momentum yang sama.

    Adapun dampak ini paling terasa di toko ritel yang berada di daerah-daerah. Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah segera mengambil tindakan. Kalau tidak, bisa-bisa hal ini akan berlanjut hingga mengganggu industri hulu. Bahkan lebih jauh lagi, bisa berujung ke langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).

    "Ada produktivitas di situ. Produktivitas di mana itu mempekerjakan temen-temen kita juga. Bisa dibayangkan begitu tergerus produsen, konsumen, investasi, pertumbuhan bisa nggak terjadi, bahkan yang kita nggak mau, PHK," tuturnya.

    "Pemerintah harus hadir. Apa nih langkah-langkahnya untuk misi perdamaian dan kemanusiaan dalam melibatkan masyarakat. Sehingga, nggak terjadi (boikot). Sehingga berdampak ke masyarakat atau konsumen itu sendiri," sambungnya.

    Apabila operasional perusahaan terganggu, menurutnya kondisi ini juga berpotensi mendatangkan pengaruh ke saham perusahaan. Roy menilai, nantinya minat investor terhadap perusahaan-perusahaan terkait bisa ikut turun karena melihat turunnya operasional dari perusahaan terkait.

    "Misalkan perusahaan jadi setop produksi. Sahamnya akan tergerus kan. Wah ini berhenti nih, karena nggak ada penjualan. Akhirnya dampaknya ke investor. Saham produk itu akan kurang diminati. Produktivitasnya kan berubah itu mulai kelihatan. Bukan pasti berubah, karena beberapa perusahaan pasti bertahan. Ini ke macem-macem, investasi, saham, tenaga kerja, dan lain-lain," katanya.

    Di samping itu, menurutnya hak-hak konsumen dalam memilih produk juga akan ikut terganggu akibat aksi boikot ini. Dalam hal ini, ada potensi sejumlah konsumen kesulitan mendapatkan produk-produk yang masuk ke dalam daftar boikot, padahal bisa saja produk itu memang tidak dapat digantikan dengan produk lainnya.

    "Konsumsi masyarakat berkontribusi juga bagi ekonomi, kan 51,8% dari konsumen. Berbagai negara maju sekarang, Jepang, Amerika, nggak lebih dari 2% pertumbuhannya, bahkan Eropa 0,1-0,2%. Kita bisa 5% (berkat konsumsi)," ujar Roy.

    "Pemerintah harus hadir. Apa nih langkah-langkahnya untuk misi perdamaian dan kemanusiaan dalam melibatkan masyarakat. Sehingga, nggak terjadi (boikot). Sehingga berdampak ke masyarakat atau konsumen itu sendiri," pungkasnya.

    Sumber : Detik.com
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini