-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Privatisasi Subholding BUMN Melawan Akal Sehat: Harus Ditolak

    Kamis, 07 Oktober 2021, Oktober 07, 2021 WIB Last Updated 2021-10-07T06:03:32Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    Privatisasi Subholding BUMN Melawan Akal Sehat: Harus Ditolak


    Jakarta, indometro.id - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menilai bahwa privatisasi (IPO) Subholding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah didukung oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan no.61/2020 dan di endorse oleh sejumlah guru besar. Hal itu merupakan rencana pemerintahan Joko Widodo yang harus ditolak dan dihentikan karena merugikan kepentingan bangsa dan negara. 

    "Pemerintah telah “bekerja otomatis” sesuai keinginan kapitalis-oligarkis. Rencana Pemerintahan Jokowi ini harus dihentikan karena banyak hal seperti diuraikan berikut," kata Marwan Batubara melalui surat elektronik yang diterima oleh indometro.id, Kamis (7/10/2021). 

    Menurut Marwan, alasan penolakan dan penghentian itu dilatarbelakangi, Pertama, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, melanggar prinsip “penguasaan negara” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, terutama karena jika sebagian sahamnya dijual, maka keuntungan BUMN tidak maksimal, tetapi sebagian jatuh kepada investor dan oligarki.

    "Menurut logika akal sehat, penguasaan negara menjadi absurd jika tidak diiringi perolehan untung maksimal!" ujarnya. 

    Kemudian, alasan berikutnya karena profit BUMN turun, maka kemampuan tugas perintisan dan pembangunan daerah pun ikut berkurang. Pada prinsipnya, karena sebagian saham anak-anak usaha BUMN yang profitbale telah dijual, induk holding BUMN hanya tinggal mengelola anak usaha dan lini bisnis yang kurang menguntungkan atau malah yang merugi. 

    Menurutnya Kondisi ini jelas mengurangi kemampuan BUMN untuk melakukan cross subsidy dan pembangunan daerah.

    Lalu, pemisahan berbagai lini bisnis BUMN menjadi subholding merupakan bentuk kebijakan pengelolaan public utilities berdasarkan pola unbundling.

    Pola ini merupakan modus yang dipakai negara-negara maju/kapitalis guna menjajah dan menghisap ekonomi negara-negara berkembang. 

    Bukannya menangkal penjajahan asing/liberal, pemerintah Indonesia malah aktif mendukung agenda asing tersebut.

    "Sejumlah oknum-oknum pejabat yang tergabung oligarki kekuasaan ikut pula berburu rente dalam proses privatisasi tersebut," cetusnya. 

    Marwan menegaskan bahwa proses unbundling pelayanan public utilities di negara-negara maju/liberal telah berdampak pada naiknya tarif energi. Teori ekonomi dan bisnis telah mengkonfirmasi dampak negatif tersebut. 

    Inggris sebagai pionir pola privatisasi/unbundling saat PM Margareth Tatcher berkuasa, saat ini menjadi negara bertarif listrik tertinggi di Eropa.

    Tercatat konsumen energi di Jerman, Belanda, Belgia dan New Zealand telah memprotes penerapan pola unbundling akibat tarif tinggi. 

    "Jika IPO subholding BUMN pola unbundling dilanjutkan, rakyat Indonesia harus siap mengalami hal yang sama! Namun harap dicatat, di tengah penderitaan konsumen energi, pola unbundling justru memberi keuntungan besar bagi para kapitalis-liberal. Di Indonesia, keuntungan termasuk dinikmati anggota oligarki," tegasnya. 

    Alasan selanjutnya, Marwan memaparkan, adanya pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir (12/6/2020) bahwa IPO subholding BUMN bertujuan mencari dana murah adalah manipulasi informasi tendensius.

    Faktanya Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2021 total obligasi Pertamina sekitar US$ 12,99 miliar dengan tingkat bunga (kupon) 1,4% - 6,5% (weighted average: sekitar 4,60%). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014).

    Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,60%) yang tidak go public justru lebih rendah atau hampir sama dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. 

    Misalnya kupon-kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017). 

    "Ini menujukkan meski tidak go public, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah dibanding kupon BUMN yang sudah IPO," paparnya

    Marwan juga menyatakan, peringkat utang BUMN malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi dijamin pemerintah. Karena saham negara di Pertamina atau PLN masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina dan PLN otomatis melekat. 

    Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO BUMN justru dapat mengkases dana lebih murah. Bahkan BUMN sering memperoleh hibah atau pijaman bunga 0%, hal yang tidak akan diperoleh oleh BUMN yang sudah go public.

    Selain itu, kata Marwan, pernyataan Erick tentang  manfaat IPO subholding guna meningkatkan GCG (30/7/2020) tidak sepenuhnya benar dan cenderung manipulatif. 

    Sebagian besar masalah kinerja BUMN justru berasal dari pemerintah, seperti menempatkan tim sukses menjadi pengurus BUMN, menunggak beban subsidi, memaksakan public service obligation (PSO) tanpa kompensasi atau menjadikan BUMN sebagai sapi perah.

    Cara terbaik memperbaiki GCG BUMN, pemegang privilege konstitusi seperti Pertamina dan PLN, adalah merubah statusnya menjadi non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham.

    Lebih lanjut Marwan mengungkapkan, dengan proses unbundling dan cherry picking, maka keuntungan BUMN akan berkurang dan beralih kepada pemegang saham publik. 

    Penurunan untung ini jelas tidak sesuai dengan target yang dijanjikan dalam prospektus saat BUMN menerbitkan obligasi. 

    Hal ini dapat menyebabkan kredibilitas BUMN menurun dan peringkat utangnya akan memburuk (nilai kupon lebih tinggi). Saat ini menurut Moody’s, S&P dan Fitch peringkat investment grade Pertamina masing-masing pada level baa2, BBB, dan BBB.
     
    Sebagai kesimpulan, menurut Marwan, memilih mata rantai bisnis BUMN menguntungkan, dikelompokkan dalam sejumlah subholding, lalu sebagian sahamnya dijual kepada asing dan oligarki atas nama “mencari dana murah” dan “meningkatkan GCG”, merupakan modus penghisapan dan penjajahan kapitalis liberal/oligarki yang harus dihentikan. 

    Dana murah, atau bahkan hibah, terbukti dapat diperoleh Pertamina dan PLN tanpa IPO. GCG dapat ditingkatkan dengan menghentikan intervensi pemerintah dan menjadikan BUMN sebagai non-listed public company.

    "Karena itu, rencana IPO subholding yang anti Pancasila, inkonstitusional dan merugikan rakyat tersebut harus segera dihentikan," jelasnya. 

    Marwan mengutip kata-kata Menteri BUMN Erick Thohir yaitu, "BUMN bukan Badan Usaha Milik Nenek Moyang lu”.

    "Presiden Jokowi dan Erick Thohir perlu konsisten dan tidak hipokrit dengan pernyataan ini!" pungkas Marwan. 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini