-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    RUU PKS Perlu Kedepankan Kebutuhan Korban

    Sabtu, 11 September 2021, September 11, 2021 WIB Last Updated 2021-09-13T03:39:02Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    Sanggar Suara Perempuan dalam sebuah kegiatan

    Timor Tengah Selatan,indometro,id-


    Pasca dibahasnya Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang semula RUU PKS

    (Penghapusan Kekerasan Seksual) oleh Tim Badan Legislasi (Baleg) DPRRI dalam Rapat Pleno Penyusunan RUU PKS pada Senin, 30 Agustus 2021 lalu,Sanggar Suara Perempuan (SSP) sebagai salah satu anggota Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan mengapresiasi langkah maju Tim Baleg DPR RI karena berkomitmen melanjutkan pembahasan, ditengah tingginya angka kekerasan seksual saat pandemic Covid--‐19 di Indonesia.


    Namun sangat disayangkan ada beberapa pasal--‐pasal krusial yang melindungi korban dihilangkan.


    Berdasarkan pengalaman pendampingan FPL yang dilakukan oleh 115 lembaga layanan pendamping korban di 32 Provinsi, menemukan bahwa masih membutuhkan 6 (enam) elemen kunci dipertahankan untuk menjawab persoalan dilapangan.


    Mulai dari hukum acara yang lebih berpihak pada korban, 9 bentuk Kekerasan seksual (KS) yang masih terjadi di masyarakat yakni  pencegahan kekerasan seksual sebagai langkah taktis penanganan kasus KS, pemulihan korban yang komprehensif, koordinasi dan pemantauan, juga adanya  ketentuan pidana yang mengakomodir 9 bentuk KS. 


    " Kami berpandangan bahwa  RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dirubah menjadi

    TPKS  seharusnya tetap menjadi pijakan hukum bagi hak korban KS dan keluarganya", Demikian menurut SSP Soe melalui realeasenya yang diterima media ini Jumat (10/9/2021).


    Menurut SSP Soe, selama ini belum diatur secara komprehensif dalam Undang‐Undang. Beberapa

    Elemen substansi yang sangat krusial untuk menjamin terpenuhinya hak-hak korban dan keluarganya justru hilang.

    Keterbatasan KUHAP dan beberapa kebijakan lainya, seharusnya

    menjadi titik tolak RUU TPKS untuk mengakomodir dan meperkuat hak korban. Sehingga pemanfaatn RUU ini utuh untuk menjawab kebutuhan korban. 

    Peran lembaga layanan milik masyarakat yang selama ini memberikan perlindungan korban serta memperkuat peran dan Tanggung jawab negara perlu diakomodir sebagai langkah serius negara dalam penghapusan Kekerasan seksual. 

    "Kami berpandangan bahwa pemangkasan 6 elemen kunci dalam draft awal menjadi langkah mundur bagaimana DPR memahami kompleksitas persoalan kekerasan seksual dilapangan selama ini", demikian bunyi realease lanjutnya.

     Adanya distorsi pengurangan jenis KS dari semula Sembilan (9) jenis KS menjadi 4 (empat) jenis, menjukan bahwa ada kekurangan referensi dan kelemahan tim Baleg DPR dalam mengelaborasikanya dengan kasus-kasus KS yang terjadi di masyarakat Indonesia.

    Pendekatan hukum yang digunakan untuk pemangakasan bentuk KS menjadi tidak relevan. Padahal 9 jenis KS ini bukan diambil dari ruang hampa namun didasari atas pengalaman pendampingan korban KS yang didampingi oleh FPL selama ini. 

    5 bentuk KS yang dihilangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tidak bisa dijawab dengan bentuk lain KS

    Seperti pelecehan seksual (Pasal2), Pemaksaan memakai alat kontrasepsi (Pasal 3), Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4), eksploitasi Seksual (Pasal 5) serta tindak pidana

    Kekerasan seksual yang didiserta dengan perbuatan pidana lain lainya (6). Seperti dalam

    Hal pembuktian, pemulihan, hukum acara pengalaman korban Pemaksaan Perkawinan, di

    Sulawesi, NTT dan NTB tidak bisa memotret persoalan kekerasan seksual yang ada di daerah. Pengalaman korban Perbudakan Seksual yang tidak terkait pelangaran HAM dalam

    Kasus di Makasar dan Gatot Brajamusti. Pengalaman korban Pemaksaan Aborsi yang dikriminalisasi, pengalaman korban pemaksaan pelacuran, dan Perkosaan dengan menggunakan benda tumpul dan relasi kuasa. Serta tidak adanya aturan terkait kekerasan seksual berbasis online atau siber. 

    Keterbatasan pasal yang mengatur hak korban untuk mendapatkan layanan pemulihan secara terpadu dan hak mendapatkan pendampingan dalam setiap proses peradilan juga menjadi salah satu catatan yang harus menjadi perhatian.

     Bahwa tidak dijelaskanya Layanan Terpadu dan lembaga pendamping korban Terpadu baik berbasis masyarakat maupun pemerintah menjadi pertanyaan besar bagaimana negara memahami proses pendampingan korban kekerasan seksual.

    Untuk Itu FPL mendesak dan mendorong Baleg DPR RI melakukan beberapa hal yaitu: 

    Membuka ruang diskusi secara terbuka yang melibatkan masyarakat terutama yang memiliki pengalaman dalam melakukan pendampingan dan korban yang sudah menjadi penyintas untuk perubahan naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

    Memasukan enam (6) elemen kunci yang menjadi inti substansi RUU Penghapusan Sembilan (9) jenis KS, Pemidanaan, Hukum Acara Pidana, Pencegahan, Pemulihan dan koordinasi dan pengawasan. 

    Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidanaperkosaan.

     Memasukan kebutuhan khusus korban KS dengan disabilitas dalam aspek pencegahan,Penanganan dan pemulihan.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini