Persaudaraan Antar Guru Ngaji (Persada Agung) dirintis oleh KH. MA Saiful Ridjal bin Abdul Chalim Shiddiq atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Saif, pada tanggal 15 Sya’ban 1422 H (01 November 2001) di Kabupaten Bondowoso-Jawa Timur. Persada Agung diharapkan menjadi sebuah wadah silaturahmi antar sesama Guru Ngaji. Melalui silaturahmi yang terorganisir, diharapkan Guru Ngaji dapat melakukan ta’awun (tolong menolong) antar sesamanya dalam rangka mengoptimalkan usaha-usahanya meng-qur’aniyah-kan masyarakat.
Ide berdirinya Persada Agung dilatarbelakangi oleh beragamnya fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat, yaitu fenomena rapuh dan tumpulnya berbagai organisasi massa besar Islam dalam melakukan aktivitas pembinaan umat pada level grassroot. Semakin hari semakin banyak tokoh-tokoh ormas Islam yang elitis berjarak dengan ummat. Tidak sedikit tokoh ormas Islam telah terjebak pada aktivitas struktural-politis. Ormas Islam lebih tampak dalam ritual organisasi an sich (dari konferensi ke konferensi, rapat ke rapat, dan sejenisnya).
Ormas Islam tidak lagi menampakkan peran dalam berbagai potensi guna pembinaan ummat. Organisasi Islam sering terlihat sebagai batu loncatan karir politik. Banyak tokoh elit ormas Islam terlibat secara terbuka sebagai partisan kelompok tertentu. Sementara kerja-kerja pembinaan ummat hanya dilakukan secara seremonial. Disadari atau tidak, telah terjadi pergeseran paradigma, yang awalnya “politik untuk kepentingan dakwah” menjadi “dakwah untuk kepentingan politik”.
Polarisasi tokoh-tokoh Islam dalam blok-blok juga semakin menurunkan kredibilitas lembaga keulama’an. Ulama semestinya menjadi panutan guru masyarakat dan menjadi pengayom bagi semua eksponen masyarakat. Kondisi demikian dikhawatirkan dapat mengantarkan ummat kepada ketidakjelasan orientasi dan sikap keagamaan.
Menurut Gus Saif, sebagaimana di kutip di https://www.xposfile.com/ “banyaknya ketidakadilan, budaya korupsi yang akut dan munculnya beragam aktivitas keagamaan yang menyimpang, layak dijadikan bahan kesimpulan awal bahwa tidak sedikit ummat sedang kehilangan orientasi sikap keagamaan“.
Hipotesa itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa tegaknya sebuah negara ditentukan oleh empat pilar, yaitu:
pemimpin yang adil,
ilmunya para ulama,
dermawannya orang kaya dan,
do’anya para dhu’afa.
Maka ketika demoralisasi (penurunan moral) terjadi dalam berbagai sektor kehidupan bangsa, peran keempat pilar tersebut perlu dievaluasi, termasuk para ulamanya.
Sebagai kader salaf, fenomena keummatan mendorong Gus Saif untuk mencari alternatif upaya yang efektif dalam melakukan pembinaan ummat hingga lapisan terbawah. Berdasar hasil evaluasi yang dilakukan, dia berpandangan bahwa sosok Guru Ngaji (orang-orang dengan aktivitasnya mengajar baca tulis Al-Qur’an) merupakan sosok yang masih memiliki genuinitas (keaslian) motivasi dalam melakukan pembinaan ummat.
Guru Ngaji dalam hal ini tersebar merata di setiap pelosok daerah dan bersentuhan langsung dengan lapisan ummat. Mereka secara day-to-day melakukan upaya-upaya pembinaan ummat dalam skala lingkungan kecil yang berada di sekelilingnya. Guru Ngaji relatif belum tersentuh oleh hiruk pikuk gemerlap politik maupun kompetisi struktural. Tanpa menegasikan peran komponen yang lain, Gus Saif berkesimpulan bahwa Guru Ngaji sebenarnya memiliki letak peran sebagai ujung tombak pembinaan ummat.
Guru Ngaji merupakan benteng terakhir dalam mempertahankan moralitas bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Guru Ngaji, merupakan stabilisator dan pelestari terbentuknya peradaban bangsa.
Guru Ngaji bukan saja peletak dasar pemahaman keagamaan pada generasi penerus bangsa tetapi juga sosok yang penting dalam meredam setiap gejolak sosial.
Guru Ngaji juga berperan dalam mempertahankan jati diri bangsa dari infiltrasi (serangan) budaya asing.
Artinya Guru Ngaji bukan saja ujung tombak dakwah bagi ummat Islam, tetapi juga komponen penting dalam perspektif perkembangan peradaban bangsa.
Sayangnya peran signifikan Guru Ngaji dalam perjalanan sejarah bangsa kurang mendapat perlakuan yang semestinya. Perlakuan dalam level kebijakan publik (perhatian negara) maupun dalam internal strata sosial keagamaan, Islam tentunya.
Guru Ngaji sering ditempatkan sebagai lapisan kedua dalam strata sosial keagamaan. Seakan-akan Guru Ngaji tidak lebih berjasa dibanding komponen penggerak dakwah yang lain. Dalam perspektif kebijakan publik dan kemasyarakatan, Guru Ngaji lebih di tempatkan dalam strata sosial pinggiran. Bahkan dijadikan sebagai obyek santunan karena kemampuan secara ekonomi berada pada level bawah.
Perlakuan terhadap Guru Ngaji tidak sebanding dengan kontribusinya dalam membentuk sikap dasar ummat dalam beragama. Sumber daya manusia di lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah pun tidak sedikit merupakan output didikan Guru Ngaji. Bahkan mayoritas tokoh agama, tokoh masyarakat dan pejabat, pada pada mulanya juga hasil didikan Guru Ngaji.
Melihat situasi demikian, Gus Saif tergerak untuk melakukan pendekatan kepada berbagai pihak termasuk para pembuat kebijakan. Gerakannya diawali dengan menyampaikan saran kepada pemerintah Kabupaten Bondowoso tepat satu tahun setelah terpilih menjadi ketua PCNU Bondowoso, supaya menempatkan Guru Ngaji dalam posisi setara ditengah tengah masyarakat. Pembuat kebijakan juga didorong untuk melakukan pemberdayaan terhadap Guru Ngaji. Misalnya, memberikan program-program stimulus bagi perekonomian Guru Ngaji. Pemberdayaan melalui kebijakan publik diharapkan dapat meringankan beban Guru Ngaji dalam melaksanakan aktivitasnya.
Sarannya ternyata diterima secara tidak sejalan dengan gagasan awal. Perhatian pemerintah Bondowoso terhadap Guru Ngaji malah diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif. Kalau dinilai secara nominal, sangat rendah. Kategorisasi serta mekanisme penyaluran dana insentif dianggap dapat merusak mentalitas Guru Ngaji. Tidak sedikit kemudian Guru Ngaji “dadakan” muncul untuk didata supaya mendapat suntikan dana insentif. Penyaluran dilakukan di kantor kecamatan setempat sampai menimbulkan antrian panjang. Sehingga Guru Ngaji terkesan sebagai masyarakat miskin sedang menunggu jatah jaminan sosial.
Gus Saif lebih menekankan adanya capacity building (pembangunan kapasitas) dalam bentuk penguatan kelembagaan. Diharapkan melalui sebuah wadah, Guru Ngaji mampu menyelesaikan problematikanya sendiri, lebih terorganisir dan mampu membangun budaya ta’awun (tolong menolong dan kerjasama). Wadah tersebut juga dapat digunakan sebagai sarana silaturahmi, tukar pengalaman-pengetahuan, saling mengeksplorasi potensi serta merumuskan jalan keluar problematika yang dihadapi dalam usaha-usaha meng-qur’aniyah-kan masyarakat. Termasuk penguatan ekonomi sebagai penopang aktivitasnya dan pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.
Pola insentif sekilas nampak sebagai solusi ekonomi, namun kebijakan pola insentif akan dapat merusak motivasi. Selanjutnya tidak lebih akan menempatkan Guru Ngaji sebagai objek santunan. Melalui pola insentif, Guru Ngaji telah diperkenalkan budaya konsumtif. Padahal sebelumnya sangat lekat dengan budaya inovatif dan produktif. Kebijakan insentif oleh Gus Siaf dipandang sebagai racun yang dapat mematikan spirit Guru Ngaji. Pola insentif dipandang dapat menumpulkan kreativitas. Guru Ngaji diposisikan sebagai subordinat, bukan ditempatkan setara dengan komponen bangsa. Khususnya sebagai pendidik yang memiliki kontribusi besar dalam sistem pendidikan secara nasional.
Fenomena kebijakan insentif nampaknya semakin dijadikan model bagi daerah-daerah lain dalam memperlakukan Guru Ngaji. Belum lagi munculnya fenomena bentuk teror dan eksperimentasi politik yang diarahkan kepada Guru Ngaji . Misalnya upaya eksploitasi massa dalam dukung mendukung kandidat kepala daerah, semakin hari semakin marak. Bentuk-bentuk tindak kriminal dan pencitraan negatif terhadap Guru Ngaji, sebagaimana fenomena kasus santet di Banyuwangi juga belum sepenuhnya hilang.
Beragam fenomena yang membelit harus segera jalan keluar. Formulasi untuk menyelesaikan berbagai problematika, baik berupa problem ekonomi, problem perlindungan hukum maupun perlindungan dari bentuk bentuk eksploitasi politik harus segera ditemukan. Melalui formulasi tersebut (apapun bentuknya) diharapkan benteng lapis terakhir dakwah, moralitas dan jati diri bangsa bernama Guru Ngaji akan dapat dilestarikan bahkan ditumbuh kembangkan. dicarikan
Sebagai upaya awal mempertahankan keaslian motivasi dengan tradisi Thoriqoh Salafus Shalih-nya, Gus Saif menghimpun berbagai kalangan (umumnya kalangan muda) untuk bersama-sama menggagas terbentuknya wadah silaturakhim bagi Guru Ngaji. Melalui proses dialektika yang cukup panjang lahirlah wadah silaturakhim bagi Guru Ngaji yang kemudian diberi nama Persada Agung (Persaudaraan Antar Guru Ngaji).
(Ahyar Rosyid)
Posting Komentar untuk "Guru Ngaji, Ujung Tombak Pembinaan Ummat"