-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Nelayan di Pulau Lombok Terkena Imbas Kebijakan Menteri Susi

    redaksi
    Kamis, 23 Agustus 2018, Agustus 23, 2018 WIB Last Updated 2018-08-23T07:56:05Z

    Ads:

    image_title
    Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono
    INDOMETRO.ID- Larangan menangkap dan menjual lobster, kepiting, dan rajungan ke luar wilayah Indonesia telah menyengsarakan para nelayan. 

    Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Sejak keluarnya Permen KP tersebut, kehidupan ekonomi para nelayan merosot tajam.

    “Nelayan di Pulau Lombok terkena imbas dari kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti tersebut. Mereka yang semula bisa menyekolahkan anaknya sampai ke luar Lombok, namun semenjak Permen KP tersebut berlaku, menjadi mimpi buruk bagi mereka. Bahkan, nelayan terancam pidana apabila kedapatan menangkap benih lobster dan menjualnya,” kata Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Soekartono dalam rilisnya, Kamis 23 Agustus 2018.
    Pasal 2 Permen KP menyebut secara eksplisit, larangan penangkapan/pengeluaran lobster tidak dalam kondisi bertelur dan ukuran panjang karapas (cangkang) di atas 8 cm atau berat di atas 200 gram per/ekor. Bambang pun sempat mengunjungi dan berdialog dengan nelayan di Dusun Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, NTB. Para nelayan setempat jelas mengeluhkan kebijakan Menteri Susi itu.
    Menurutnya, kebijakan Menteri Susi itu, tidak saja menyengsarakan nelayan, tapi juga mereduksi devisa yang mestinya diterima negara. “Potensi devisa ini harusnya bisa diterima negara, daerah, dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Potensi keuntungan di seluruh Lombok yang bisa mencapai Rp685 miliar setahun bisa hilang. Seharusnya lobster sampai ukuran 200 gram bisa ditangkap,” ujar Bambang di Pelabuhan Perikanan Teluk Awang.
    Sang Menteri, sambung politisi Partai Gerindra ini, harusnya melakukan penelitian lebih dulu sebelum mengeluarkan Permen. Dijelaskannya, benih lobster bila tak ditangkap justru jadi santapan ikan-ikan predator besar. Terbukti, tidak pernah ditemukan lobster berukuran besar lagi di wilayah tersebut, meskipun nelayan tidak lagi menangkap benih lobster.
    “Ternyata penangkapan benih lobster sebesar ukuran korek api, oleh para nelayan dibudidayakan hingga seukuran 200 gram. Kalau tidak dibudidayakan akan mati dimakan ikan. Kita minta Permen KP 56 dicabut agar dikembalikan ke Permen sebelumnya di mana 200 gram ke bawah boleh ditangkap,” ungkap Anggota Badan Anggaran DPR RI ini.
    Benih lobster yang tidak ditangkap nelayan, tingkat peluang hidupnya 0,1 persen, akibat dimangsa ikan. Jadi, penangkapan itu justru untuk meningkatkan peluang hidup lobster sekaligus menjadi potensi ekonomi bernilai tinggi bagi para nelayan. Bambang memperkirakan, potensi kerugian Indonesia akibat kebijakan tersebut bisa sebesar Rp6 triliun. Ekspor lobster Indonesia juga bisa mendekati angka nol.
    Di Lombok ada sekitar 10.200 nelayan yang menggantungkan hidupnya dari lobster. Sementara di seluruh Indonesia ada 5 kali lipatnya, berarti ada 50 ribuan nelayan lobster. Indonesia termasuk negara kaya dengan bibit lobster. Ini tentu bisa jadi komoditi andalan. Bambang pun mengungkap, asal-usul benih lobster awalnya dari Pulau Christmas di Australia. Benih lobster itu terbawa hingga ke Pulau Lombok. Kini, hampir tak ada lagi induk lobster di Awang, Lombok Tengah.(vv)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini