Foto |
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi FHUI), Choky Ramadhan menilai, hukuman penjara bagi koruptor tidak mampu memberi efek jera. Selain penjara, para koruptor harus mendapat hukuman tambahan berupa denda dan uang pengganti.
"Kalau fokus hanya penjara, tetapi tidak ada sanksi moneter, seperti denda dinaikkan dan memaksimalkan uang pengganti, koruptor akan tetap berduit," katanya, di Jakarta.
Misalnya pada operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Para koruptor masih memiliki uang sehingga bisa menyuap kepala lapas. Sementara upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tidak akan berhasil jika hanya menggunakan indikator pengembalian kerugian negara.
"Hukuman yang diancamkan kepada koruptor, harus melebihi keuntungan yang diperolehnya, agar mereka jera. Ironisnya, ancaman maksimal pidana denda yang diatur undang-undang hanya Rp 1 miliar. Padahal banyak koruptor yang meraup keuntungan tidak wajar melebihi Rp 1 miliar," sebut Choky.
Padahal UUPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membuka peluang untuk memberi hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar jumlah korupsi yang diperolehnya. "Apabila terpidana korupsi tidak membayar, hartanya dapat dirampas negara," terangnya.
Selain itu, koruptor sebagai pelaku kejahatan ekonomi tentu memiliki perhitungan untuk menambah kekayaannya secara melawan hukum. Perbuatannya telah diperhitungkan akan mendapat hasil yang lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan. "Motivasi penambahan keuntungan serta kekayaan mendominasi tindak pidana korupsi," kata Choky.
Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra mengusulkan agar jaksa dan hakim mengenakan uang pengganti secara maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi. "Kemudian sita seluruh kekayaan hasil korupsinya," ujarnya.
Pemiskinan koruptor sebagai formula yang harus dilakukan mengingat praktik korupsi di Indonesia masih sering terjadi. Apalagi tingginya korupsi di tanah air akibat krisis moral, miskin etika dan tidak punya malu.
Azmi berpendapat, hukuman mati justru lebih efektif bagi koruptor karena secara teoritik harus ditanggulangi secara kausatif dan integral/komprehensif. Jika dilihat dari kebijakan hukum nasional, harusnya diefektifkan penegakan hukum yang direncanakan sesuai UUno. 31 tahun 1999 antara lain dengan pidana mati.
Meski demikian, dia mengingatkan secara ilmiah belum ada jawaban pidana apa yang efektif untuk pelaku korupsi itu, khususnya penjara. Sangat sulit membuktikan efektivitas pidana karena faktor penyebab kejahatan korupsi sangat banyak.(rmol)
loading...
"Kalau fokus hanya penjara, tetapi tidak ada sanksi moneter, seperti denda dinaikkan dan memaksimalkan uang pengganti, koruptor akan tetap berduit," katanya, di Jakarta.
Misalnya pada operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Para koruptor masih memiliki uang sehingga bisa menyuap kepala lapas. Sementara upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tidak akan berhasil jika hanya menggunakan indikator pengembalian kerugian negara.
"Hukuman yang diancamkan kepada koruptor, harus melebihi keuntungan yang diperolehnya, agar mereka jera. Ironisnya, ancaman maksimal pidana denda yang diatur undang-undang hanya Rp 1 miliar. Padahal banyak koruptor yang meraup keuntungan tidak wajar melebihi Rp 1 miliar," sebut Choky.
Padahal UUPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) membuka peluang untuk memberi hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar jumlah korupsi yang diperolehnya. "Apabila terpidana korupsi tidak membayar, hartanya dapat dirampas negara," terangnya.
Selain itu, koruptor sebagai pelaku kejahatan ekonomi tentu memiliki perhitungan untuk menambah kekayaannya secara melawan hukum. Perbuatannya telah diperhitungkan akan mendapat hasil yang lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan. "Motivasi penambahan keuntungan serta kekayaan mendominasi tindak pidana korupsi," kata Choky.
Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra mengusulkan agar jaksa dan hakim mengenakan uang pengganti secara maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi. "Kemudian sita seluruh kekayaan hasil korupsinya," ujarnya.
Pemiskinan koruptor sebagai formula yang harus dilakukan mengingat praktik korupsi di Indonesia masih sering terjadi. Apalagi tingginya korupsi di tanah air akibat krisis moral, miskin etika dan tidak punya malu.
Azmi berpendapat, hukuman mati justru lebih efektif bagi koruptor karena secara teoritik harus ditanggulangi secara kausatif dan integral/komprehensif. Jika dilihat dari kebijakan hukum nasional, harusnya diefektifkan penegakan hukum yang direncanakan sesuai UUno. 31 tahun 1999 antara lain dengan pidana mati.
Meski demikian, dia mengingatkan secara ilmiah belum ada jawaban pidana apa yang efektif untuk pelaku korupsi itu, khususnya penjara. Sangat sulit membuktikan efektivitas pidana karena faktor penyebab kejahatan korupsi sangat banyak.(rmol)