Reduce bounce ratesindo Kekuasaan Yang Belajar - Indometro Media

Kekuasaan Yang Belajar


Oleh: Dr. Abdul Rahman, Lc.,SE.,MA

Dosen Universitas Islam Sumatera Utara & Pengamat Dunia Pendidikan Berdampak


Kritik terhadap peminggiran ilmu dalam kehidupan berbangsa sesungguhnya bukan hal baru. Ia telah lama disuarakan oleh akademisi, mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil, dari masa ke masa, dengan bahasa dan konteks yang berbeda. Namun persoalan utama bangsa ini bukan terletak pada kurangnya kritik atau gagasan. Indonesia tidak miskin pikiran, tidak pula kekurangan orang terdidik. Yang sering absen justru keberanian politik untuk benar-benar berubah.

Dalam dua edisi sebelumnya, kita telah melihat bagaimana paradoks sarjana di negeri kaya terus berulang, dan bagaimana ilmu pengetahuan kerap tersingkir dari pusat kekuasaan. Diagnosis itu penting, tetapi tidak cukup. Kritik yang berhenti pada keluhan hanya akan menambah daftar kekecewaan publik. Karena itu, edisi ketiga ini sengaja mengambil arah berbeda. Bukan lagi sekadar menunjuk masalah, melainkan mengajak pembaca berpikir tentang jalan keluar.

Di titik inilah pertanyaan kuncinya muncul. Bagaimana seharusnya kekuasaan bersikap terhadap ilmu pengetahuan? Apakah politik akan terus berjalan dengan logika jangka pendek, atau mulai belajar untuk memimpin dengan dasar pengetahuan yang kokoh? Edisi ini tidak menawarkan solusi instan, tetapi sebuah arah yang masuk akal. Bahwa masa depan bangsa hanya bisa dibangun oleh kekuasaan yang mau belajar, mendengar, dan menempatkan ilmu sebagai fondasi, bukan sebagai hiasan pidato.

Mengapa Kekuasaan Perlu Belajar?

Kekuasaan yang tidak mau belajar pada akhirnya akan berjalan dengan insting semata. Ia mungkin kuat secara politik, tetapi rapuh secara arah. Dalam konteks negara, kekuasaan yang bekerja tanpa dasar pengetahuan cenderung reaktif, sibuk memadamkan masalah jangka pendek, tetapi abai pada persoalan struktural yang menentukan masa depan. Di sinilah ilmu pengetahuan seharusnya hadir, bukan sebagai ornamen, melainkan sebagai penuntun.

Politik memiliki batas. Siklus pemilu yang lima tahunan mendorong orientasi kebijakan yang serba cepat dan serba tampak. Keputusan diambil untuk menjawab tekanan hari ini, bukan tantangan esok hari. Padahal persoalan bangsa, mulai dari pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, hingga ketahanan ekonomi, menuntut perencanaan jangka panjang yang hanya mungkin lahir dari pembacaan ilmiah yang matang.

Belajar, dalam konteks kekuasaan, bukan berarti kehilangan wibawa. Justru sebaliknya, ia adalah tanda kepemimpinan yang dewasa. Kekuasaan yang mau belajar bersedia mendengar data yang tidak selalu menyenangkan, menerima kritik berbasis riset, dan mengoreksi kebijakan ketika terbukti keliru. Tanpa sikap ini, politik mudah terjebak pada pengulangan kesalahan yang sama, hanya dengan kemasan yang berbeda.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa banyak kebijakan besar lahir dari keberanian politik, tetapi tidak diikuti dengan kesiapan pengetahuan. Akibatnya, kebijakan tersebut sering berumur pendek atau kehilangan arah ketika kepemimpinan berganti. Ilmu datang belakangan, sekadar diminta untuk membenarkan keputusan yang sudah diambil. Dalam situasi seperti ini, kekuasaan tidak benar-benar belajar, ia hanya mencari legitimasi.

Karena itu, kebutuhan mendasar hari ini bukan sekadar pemimpin yang kuat, tetapi pemimpin yang bersedia belajar. Kekuasaan yang belajar akan lebih sabar, lebih konsisten, dan lebih berani mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, tetapi penting. Dari sinilah jalan keluar mulai terbuka. Bukan dengan menyingkirkan politik, melainkan dengan mendewasakan politik melalui ilmu pengetahuan.

Ilmu sebagai Dasar Kebijakan, Bukan Pelengkap

Masalah mendasar kebijakan publik kita bukan semata pada siapa yang berkuasa, melainkan pada bagaimana keputusan dibuat. Terlalu sering, kebijakan lahir dari ruang tertutup yang sarat negosiasi, sementara ilmu pengetahuan datang belakangan sebagai pelengkap administratif. Dalam praktik seperti ini, arah sudah ditetapkan, baru kemudian dicarikan alasan.

Padahal kebijakan strategis negara semestinya dibangun seperti membangun rumah. Fondasinya harus kokoh sebelum dinding dan atap ditegakkan. Fondasi itu adalah kajian ilmiah yang jujur, terbuka, dan bisa diuji. Bukan sekadar dokumen formal, melainkan proses berpikir yang melibatkan pengetahuan sejak awal, ketika berbagai pilihan masih mungkin dipertimbangkan.

Di banyak negara, ilmu tidak berdiri di luar kekuasaan, tetapi bekerja di dalamnya. Ilmuwan dilibatkan bukan untuk memberi cap persetujuan, melainkan untuk memetakan risiko, membaca dampak jangka panjang, dan mengingatkan batas-batas rasional kebijakan. Dengan cara ini, keputusan politik tetap diambil oleh pemimpin terpilih, tetapi keputusan itu berdiri di atas pemahaman, bukan spekulasi.

Pendekatan ini juga mengubah cara kekuasaan dipertanggungjawabkan. Ketika kebijakan didasarkan pada pengetahuan, publik dapat menilai apakah sebuah keputusan masuk akal atau menyimpang. Kesalahan tidak lagi ditutup dengan retorika, tetapi diperbaiki melalui evaluasi berbasis data. Kekuasaan tidak kehilangan wibawa, justru memperoleh legitimasi yang lebih kuat.

Menjadikan ilmu sebagai dasar kebijakan berarti menggeser kebiasaan lama. Dari keputusan yang reaktif menuju kebijakan yang berjangka. Dari kalkulasi sesaat menuju visi yang berkelanjutan. Inilah titik di mana politik berhenti sekadar mengelola kekuasaan, dan mulai benar-benar memimpin.

Keterlibatan Sarjana dalam Struktur Kekuasaan

Persoalan berikutnya bukan sekadar apakah ilmu didengar, tetapi di mana para pemilik ilmu ditempatkan. Selama ini, kehadiran sarjana dan pakar dalam kekuasaan cenderung bersifat sementara. Mereka dipanggil saat dibutuhkan, diminta pendapat, lalu disingkirkan kembali ke pinggir ketika keputusan politik mulai berjalan. Pola seperti ini membuat ilmu selalu berada di luar lingkar pengaruh.

Yang dibutuhkan bukan lebih banyak seminar atau forum diskusi, melainkan kehadiran akademisi di dalam struktur pengambilan keputusan itu sendiri. Bukan sebagai konsultan musiman, tetapi sebagai bagian tetap dari sistem yang merancang arah, menilai opsi, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan. Posisi ini tidak harus berbentuk jabatan politik elektoral, melainkan peran strategis yang memang berbasis keahlian dan rekam jejak intelektual.

Penting untuk dibedakan secara tegas antara politisasi sarjana dan pemanfaatan ilmu. Politisasi terjadi ketika akademisi dipaksa menyesuaikan pendapatnya demi kepentingan kekuasaan. Sementara pemanfaatan ilmu justru menempatkan sarjana sebagai penyeimbang, bukan pengikut. Ia hadir untuk mengingatkan, mengoreksi, bahkan menolak ketika kebijakan melenceng dari rasionalitas dan kepentingan jangka panjang.

Negara yang serius membangun masa depan tidak takut pada suara yang kritis. Justru kritik berbasis pengetahuan adalah aset, bukan ancaman. Dengan memberi ruang struktural bagi sarjana, kekuasaan memperoleh mitra berpikir yang mampu melihat lebih jauh dari siklus elektoral dan kepentingan sesaat.

Jika keterlibatan ini dibangun secara konsisten, maka ilmu tidak lagi bergantung pada kedekatan personal atau momentum politik. Ia menjadi bagian dari mekanisme negara itu sendiri. Inilah bentuk kekuasaan yang tidak alergi terhadap pengetahuan, dan bangsa yang tidak menyia-nyiakan kecerdasan anak-anaknya.

Partai Politik sebagai Sekolah Gagasan

Jika kekuasaan adalah tujuan, maka partai politik adalah jalannya. Karena itu, pembenahan hubungan antara ilmu dan kekuasaan tidak mungkin dilepaskan dari peran partai. Selama ini, banyak partai lebih sibuk mengelola kemenangan elektoral daripada membangun kedalaman gagasan. Politik diperlakukan sebagai soal strategi meraih suara, bukan sebagai ruang perumusan arah bangsa.

Padahal, partai politik seharusnya menjadi tempat lahirnya ide-ide kebijakan yang matang. Di sanalah kader ditempa, bukan hanya untuk pandai berpidato atau membangun citra, tetapi untuk memahami persoalan publik secara utuh. Tanpa fondasi pengetahuan, kader politik mudah terjebak pada keputusan jangka pendek yang populer namun rapuh.

Menjadikan partai sebagai sekolah gagasan berarti mengembalikan fungsi intelektual politik. Riset, diskusi kebijakan, dan pembacaan data publik harus menjadi bagian dari proses kaderisasi. Bukan sebagai aktivitas sampingan, melainkan sebagai kebutuhan utama. Dengan cara ini, ketika kader memasuki lembaga legislatif atau eksekutif, mereka tidak datang dengan tangan kosong, tetapi membawa pemahaman dan kerangka berpikir.

Langkah ini juga memperkecil jarak antara ilmuwan dan politisi. Partai dapat menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya dalam ruang yang setara. Ilmu tidak diposisikan sebagai suara luar yang mengganggu, melainkan sebagai sumber daya internal yang memperkaya keputusan politik. Politik tetap bersifat kompetitif, tetapi kompetisi itu berlangsung pada tingkat gagasan, bukan sekadar slogan.

Perubahan semacam ini memang tidak menghasilkan efek instan. Namun justru di situlah nilainya. Partai yang serius membangun basis pengetahuan sedang menanam investasi jangka panjang bagi kualitas demokrasi. Dari sanalah kekuasaan belajar berpikir, dan dari sanalah kebijakan publik menemukan akarnya.

Kepastian dan Keberlanjutan Kebijakan Ilmiah

Salah satu musuh terbesar ilmu pengetahuan dalam tata kelola negara adalah ketidakpastian. Setiap pergantian kekuasaan sering kali diikuti dengan pergantian arah, program, bahkan prioritas. Apa yang dibangun hari ini dibongkar besok, bukan karena keliru secara ilmiah, tetapi karena berganti kepentingan politik. Dalam iklim seperti ini, ilmu sulit bertumbuh.

Pengetahuan membutuhkan waktu. Riset tidak bekerja dalam siklus cepat seperti politik elektoral. Hasilnya tidak selalu langsung terlihat, tetapi dampaknya menentukan masa depan. Ketika kebijakan di bidang pendidikan, riset, dan pengelolaan sumber daya alam terus berubah, yang dikorbankan bukan hanya anggaran, tetapi juga kepercayaan dan kontinuitas pengetahuan itu sendiri.

Karena itu, kebijakan strategis berbasis ilmu perlu diletakkan di atas kepentingan jangka pendek. Dibutuhkan komitmen lintas partai untuk menjaga keberlanjutan arah, siapa pun yang berkuasa. Perbedaan politik tetap sah, tetapi fondasi kebijakan ilmiah tidak seharusnya menjadi arena tarik-menarik kekuasaan. Di sinilah kedewasaan politik diuji.

Keberlanjutan bukan berarti menutup ruang evaluasi. Justru sebaliknya, kebijakan ilmiah harus terus dikaji dan disempurnakan. Namun perubahan dilakukan berdasarkan bukti dan hasil evaluasi, bukan semata kehendak elite baru. Dengan cara ini, negara tidak berjalan zigzag, melainkan bergerak maju dengan langkah yang konsisten.

Tanpa kepastian kebijakan, ilmu akan terus berada di pinggir, menunggu momentum yang tidak pernah pasti. Dengan keberlanjutan, ilmu memperoleh ruang untuk bekerja secara utuh. Dan ketika ilmu diberi waktu serta kepercayaan, hasilnya bukan hanya pengetahuan, tetapi kemajuan yang dapat dirasakan bersama.

Membuka Ruang bagi Ilmuwan Publik

Ilmu pengetahuan tidak hidup hanya di ruang rapat dan dokumen kebijakan. Ia juga tumbuh di ruang publik, dalam perdebatan terbuka, kritik, dan dialog dengan masyarakat. Namun di Indonesia, ilmuwan sering kali terkurung di balik jurnal akademik, sementara ruang publik dipenuhi opini yang miskin data dan kaya emosi.

Padahal, kehadiran ilmuwan di ruang publik adalah bagian penting dari demokrasi yang sehat. Ilmuwan publik bukan politisi, tetapi warga negara yang membawa pengetahuan ke tengah perbincangan bersama. Mereka menjelaskan, meluruskan, dan mengingatkan, terutama ketika kebijakan melenceng dari fakta. Tanpa suara ini, masyarakat kehilangan rujukan yang jernih.

Masalahnya, ruang ini sering kali tidak ramah. Kritik berbasis data kerap disalahpahami sebagai serangan politik. Pendapat ilmiah dipelintir, bahkan dibungkam, dengan alasan stabilitas atau loyalitas. Dalam situasi seperti ini, banyak ilmuwan memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena risiko berbicara terlalu mahal.

Negara yang ingin maju justru harus melindungi kebebasan akademik ini. Kekuasaan yang belajar tidak anti kritik. Ia memahami bahwa kritik berbasis pengetahuan adalah mekanisme koreksi, bukan ancaman. Dengan memberi ruang aman bagi ilmuwan untuk berbicara, negara sedang memperkuat kualitas kebijakannya sendiri.

Membuka ruang bagi ilmuwan publik berarti mengakui bahwa kebenaran tidak dimonopoli oleh kekuasaan. Ia diuji, diperdebatkan, dan diperbaiki di hadapan publik. Dari sanalah kepercayaan tumbuh, bukan dari pembungkaman, tetapi dari keberanian untuk mendengar.

Saatnya Kekuasaan Belajar, atau Bangsa Terus Tertinggal

Sejarah memberi pelajaran yang jujur. Negara-negara yang hari ini maju bukanlah negara yang kebetulan beruntung, melainkan negara yang sejak awal menempatkan ilmu sebagai mitra kekuasaan. Jerman pascaperang, misalnya, membangun kembali bangsanya dengan menjadikan riset, teknologi, dan universitas sebagai tulang punggung kebijakan negara. Korea Selatan, yang pada 1960-an masih lebih miskin dari Indonesia, secara sadar menyelaraskan politik industrinya dengan ilmuwan dan insinyur, bukan dengan intuisi elite semata. Finlandia menata pendidikannya dengan konsistensi lintas rezim, menjauhkan kebijakan ilmu dari tarik-menarik politik jangka pendek.

Polanya sama dan jelas. Ketika politik memberi ruang pada pengetahuan, kemajuan mengikuti. Ketika kekuasaan mau belajar, negara bergerak maju dengan arah yang pasti. Tidak ada lompatan instan, tetapi ada konsistensi yang dijaga.

Indonesia tidak kekurangan orang pintar, juga tidak kekurangan pengalaman sejarah. Yang terus menjadi persoalan adalah pilihan. Apakah ilmu dijadikan dasar kebijakan atau hanya dijadikan dekorasi. Apakah kritik berbasis data dilihat sebagai ancaman atau sebagai peringatan dini. Apakah partai politik mau menjadi rumah gagasan atau tetap nyaman sebagai mesin kekuasaan.

Lima solusi dalam tulisan ini pada akhirnya bermuara pada satu keberanian: keberanian politik untuk berubah. Tanpa itu, pergantian kekuasaan hanya akan memutar ulang masalah yang sama. Dengan itu, ilmu tidak lagi berada di pinggir, dan bangsa ini berhenti berjalan tanpa kompas.

Sejarah sudah menunjukkan jalannya. Pertanyaannya kini bukan apakah kita mampu, tetapi apakah kita bersedia....?




Posting Komentar untuk "Kekuasaan Yang Belajar"

PELUANG TIAP DAERAH 1 ?