![]() |
Ilustrasi |
Indometro.id – Di negeri ini, ketika agama mulai berkelindan dengan tambang, kita patut curiga. Apalagi jika yang berkepentingan tak hanya mengenakan sorban keagamaan, tetapi juga duduk di kursi komisaris perusahaan tambang. Inilah paradoks besar negeri bernama Indonesia: tanah air yang konon diberkahi Tuhan, tapi dijarah atas nama berkah pula.
Sekarang ketahuan akal bulusnya. Keputusan pemerintah memberi izin usaha pertambangan kepada organisasi keagamaan, ternyata bukan hanya urusan ekonomi umat, tetapi menjelma menjadi fatwa-fatwa pembenar atas kerusakan lingkungan yang dilapisi legitimasi spiritual. Tuhan ditarik-tarik ke meja direksi, dibubuhi materai korporasi.
Kita ambil contoh terbaru: polemik tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Sebuah wilayah yang selama ini dikenal sebagai surga dunia, kini menjadi ladang polemik karena kehadiran PT Gag Nikel—perusahaan yang sebagian komisarisnya adalah tokoh penting dari ormas Islam terbesar di Indonesia.
KH Ahmad Fahrur Rozi, Ketua PBNU Bidang Keagamaan sekaligus Komisaris PT Gag Nikel, akhirnya angkat bicara. Ia menepis tuduhan bahwa tambang itu merusak kawasan wisata Raja Ampat. Bahkan menyebut bahwa narasi kerusakan lingkungan adalah hasil editan foto yang menyesatkan publik. Ia menegaskan bahwa Pulau Gag bukanlah destinasi wisata, melainkan wilayah konsesi tambang resmi.
Sampai di sini, logika mulai dipaksa tunduk pada narasi yang disusun rapi. Bahwa Piaynemo, ikon wisata Raja Ampat yang sesungguhnya, bukan wilayah yang mengandung nikel, karena formasi karst-nya tidak mungkin ditambang. Bahwa publik telah termakan hoaks, dan bahwa tambang berjalan sesuai kaidah, patuh pada AMDAL, dan diawasi KLHK.
Namun pernyataan-pernyataan ini menyingkap lebih dari yang ingin disembunyikan. Mengapa seorang tokoh agama begitu getol membela perusahaan tambang? Mengapa narasi kerusakan alam justru dikontraskan dengan isu separatisme Papua? Mengapa yang dibela bukan hutan, bukan laut, bukan masyarakat adat, melainkan reputasi perusahaan dan keberlanjutan izin eksplorasi?
Inilah akal bulus yang mulai terbaca: memberi izin tambang kepada lembaga keagamaan adalah strategi halus melumpuhkan resistensi moral. Ketika tambang dibungkus jubah keagamaan, kritik lingkungan bisa dituding sebagai hoaks atau bahkan makar. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena debat rasional kini diredam oleh dalil-dalil setengah tafsir.
Padahal suara masyarakat Raja Ampat sendiri sudah cukup jelas: mereka tidak ingin pulau mereka ditambang. Bupati setempat pun menegaskan, rakyat menolak tambang di Pulau Gag. Tapi suara ini tenggelam di antara ceramah-ceramah pembenaran. Ironisnya, organisasi yang semestinya menjadi pelindung umat, kini berperan sebagai tameng bagi kepentingan bisnis ekstraktif.
Apa yang bisa kita pelajari dari kejadian ini? Bahwa ketika agama mulai berbisnis, nilai-nilai ilahiah bisa tergelincir menjadi alat kekuasaan. Bahwa kerusakan lingkungan bisa dicuci bersih oleh pernyataan komisaris yang juga kiai. Dan bahwa suara rakyat, sekalipun lantang, bisa dilipat dalam dokumen-dokumen resmi bernama IUP dan AMDAL.
Bukan berarti kita anti terhadap pembangunan atau pemanfaatan sumber daya alam. Tapi ketika pembangunan dilakukan dengan menyingkirkan warga, mengabaikan daya dukung ekologi, dan menutup mata terhadap aspirasi lokal—itu bukan pembangunan, melainkan perampokan yang dilegalkan.
Kini, wajah asli dari kebijakan yang memberi konsesi tambang kepada ormas keagamaan mulai terbuka. Dan seperti biasa, ketika moral agama dijual murah di pasar kekuasaan, yang paling menderita bukanlah pemilik tambang, melainkan masyarakat yang hidup dari tanah dan lautnya.
Di tengah hingar bingar “pembangunan”, mari kita ingat satu hal: surga itu tak bisa ditambang. Tapi bisa hancur jika yang kita gali bukan nikel, melainkan akal sehat dan nurani.
(fusilatnews)
Posting Komentar untuk "Ketahuan Akal Bulusnya – Mengapa ORMAS Ke Agamaan di Beri Ijin Nambang"