Menyelami Warisan Singasari di Museum Nasional Indonesia

 

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, berdiri megah sebuah bangunan bersejarah berwarna putih gading: Museum Nasional Indonesia, yang akrab disebut Museum Gajah. Meski telah berusia lebih dari dua abad, museum ini tetap menjadi penjaga setia memori bangsa, menyimpan ribuan artefak yang merekam jejak peradaban Nusantara.

Pada 15 April 2025, sekelompok mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Sejarah kelas 2B Universitas Negeri Semarang (UNNES) melakukan kunjungan akademik ke museum ini sebagai bagian dari mata kuliah “Kajian Peninggalan Sejarah”. Didampingi oleh dua dosen berpengalaman, Dr. Drs. Ba’in, M.Hum. dan Tsabit Azinar Ahmad, S.Pd., M.Pd., kunjungan ini menjadi lebih dari sekadar studi lapangan; ia menjelma menjadi perjalanan intelektual dan spiritual untuk menelusuri warisan Kerajaan Singasari, salah satu kerajaan besar yang pernah berjaya di tanah Jawa.

Museum bukan sekadar tempat menyimpan benda-benda kuno; ia adalah ruang di mana masa lalu dihidupkan kembali. Di era digital yang serba cepat ini, museum menawarkan pengalaman autentik yang tak tergantikan: melihat langsung prasasti, arca, dan artefak lainnya yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa.

Museum Nasional Indonesia dipilih sebagai lokasi kunjungan karena koleksinya yang kaya dan beragam, mencakup lebih dari 140.000 artefak dari seluruh Nusantara. Khususnya, koleksi arkeologi dari periode Hindu-Buddha yang sangat lengkap, memungkinkan mahasiswa untuk menyaksikan langsung peradaban tinggi masa klasik Indonesia, termasuk peninggalan dari Kerajaan Singasari.

Kehadiran mahasiswa di Museum Nasional tidak hanya sekadar memenuhi tugas akademik. Ia adalah bentuk interaksi generasi masa kini dengan warisan masa lalu. Setiap langkah yang mereka ambil di antara rak-rak dan arca-arca kuno merupakan wujud penghormatan kepada para leluhur yang membangun kebudayaan dengan tangan, jiwa, dan keyakinan. Museum, dalam dimensi yang lebih luas, adalah ruang transisi antara waktu yang telah lalu dan masa depan yang tengah dibentuk. Di sanalah mahasiswa—yang kelak akan menjadi guru, peneliti, atau intelektual—belajar meresapi bagaimana sejarah bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk dirasakan.

BUTUH BANTUAN HUKUM ?

Banyak dari mahasiswa yang selama ini hanya mengenal arca dan kerajaan kuno melalui buku teks atau layar proyektor. Namun di Museum Nasional, semua itu menjelma nyata. Mereka berjalan di lantai yang sama dengan ratusan ribu pengunjung terdahulu, menatap wajah arca yang sama yang telah diamati oleh generasi akademisi, arkeolog, bahkan wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Di tengah diamnya museum, ada kesadaran yang tumbuh: bahwa sejarah Indonesia bukan cerita kecil yang terpinggirkan, tetapi narasi besar yang telah membentuk siapa kita hari ini.

Kerajaan Singasari mungkin kurang dikenal dibandingkan Majapahit atau Sriwijaya, namun perannya dalam sejarah Nusantara sangat signifikan. Didirikan oleh Ken Arok, seorang tokoh yang naik tahta melalui intrik dan kekuatan, Singasari mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara.

Kertanegara dikenal sebagai pemimpin yang visioner dan spiritual. Ia mendukung ajaran Buddha Tantrayana dan meluncurkan Ekspedisi Pamalayu ke Sumatra sebagai upaya memperluas pengaruh politik dan budaya. Meskipun akhirnya Singasari runtuh akibat serangan Jayakatwang, peristiwa ini justru memicu lahirnya Kerajaan Majapahit, yang didirikan oleh para pengungsi politik dari Singasari dengan semangat reunifikasi dan kebangkitan.

Bagi mahasiswa UNNES, mempelajari Singasari berarti memahami jembatan penting dalam sejarah Nusantara—penghubung antara ajaran Hindu dan Buddha, antara kepercayaan lokal dan pengaruh luar, serta antara kekuasaan politik dan pencapaian spiritual.

Di ruang arkeologi Museum Nasional, arca-arca dari masa Singasari dipajang dengan tenang namun penuh makna. Salah satu yang paling mencolok adalah Arca Prajnaparamita, yang diyakini merupakan perwujudan permaisuri Kertanegara, Sri Rajapatni, dalam bentuk dewi kebijaksanaan. Ukiran halus pada arca ini memancarkan ketenangan batin dan kesempurnaan spiritual, mencerminkan kedalaman ajaran Buddha Mahayana yang berkembang di Jawa Timur saat itu.

Mahasiswa tidak hanya mengamati arca secara visual, tetapi juga menganalisisnya secara mendalam. Mereka membandingkan dengan deskripsi dalam literatur akademik, mencocokkan gaya seni pahat, memperhatikan postur tangan (mudra), mengenali ikonografi dan atribut dewa-dewi dalam arca Hindu-Buddha, serta mendokumentasikannya untuk analisis lanjutan. Mereka belajar bahwa sebuah arca tidak hanya tentang bentuk visual, tetapi juga representasi nilai, ideologi, dan kosmologi.

Selain Prajnaparamita, terdapat pula Arca Agastya, dewa bijak dalam ajaran Hindu yang dihormati di seluruh Asia Selatan dan Tenggara. Kehadirannya menandakan bahwa Singasari bukan kerajaan Buddhis murni, tetapi kerajaan yang menggabungkan dan mengakomodasi ajaran Hindu dan Buddha secara bersamaan—sebuah bentuk toleransi yang luar biasa untuk zamannya.

Melalui arca-arca dari Singasari, mahasiswa pun semakin menyadari bahwa peninggalan sejarah bukan hanya soal seni rupa atau bukti eksistensi kekuasaan masa lalu. Di balik setiap pahatan, tersimpan nilai-nilai moral dan spiritual. Arca Prajnaparamita, misalnya, tidak hanya menampilkan bentuk dewi, tetapi juga mencerminkan semangat zaman: keharmonisan antara kekuasaan dan kebijaksanaan. Ketika mahasiswa mengamati posisi mudra atau simbol lotus pada arca tersebut, mereka tak sekadar mempelajari gaya seni, melainkan juga menggali filosofi hidup yang dijunjung tinggi di masa itu.

Pemahaman ini membawa mereka pada refleksi mendalam: bagaimana sistem pendidikan hari ini bisa belajar dari sistem nilai pada masa klasik. Bahwa kebijaksanaan bukan hanya milik orang tua atau penguasa, melainkan sesuatu yang harus ditanamkan sejak dini. Bahwa kemajuan peradaban tidak hanya diukur dari teknologi dan ekonomi, tetapi juga dari kemampuan suatu masyarakat untuk menjaga harmoni, menghargai perbedaan, dan memuliakan pengetahuan spiritual.

Meski Singasari telah lama runtuh dan bangunannya tak lagi berdiri utuh seperti dahulu, jejaknya masih bisa dirasakan. Ia ada dalam bentuk arca, naskah, dan memori kolektif bangsa. Mahasiswa dari UNNES menyadari bahwa tugas mereka adalah menjaga agar jejak ini tidak hilang ditelan modernitas. Bahwa pendidikan sejarah bukan sekadar hafalan tahun dan nama tokoh, tetapi pembelajaran menyeluruh tentang nilai, makna, dan identitas.

Kunjungan ini pun memicu semangat baru dalam diri para peserta. Sebagian mulai menulis jurnal pribadi tentang pengalaman mereka. Ada yang mulai menggali lebih dalam literatur tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, dan ada pula yang merancang proyek multimedia untuk membumikan sejarah bagi generasi muda. Semua bermuara pada satu harapan: agar warisan seperti yang mereka lihat di Museum Gajah tidak menjadi koleksi diam, tetapi hidup kembali dalam berbagai bentuk ekspresi zaman kini.

Kunjungan ini memantik diskusi hangat di antara para mahasiswa. Mereka menyadari bahwa peninggalan sejarah bukan sekadar objek mati yang dipajang. Ia hidup. Ia berbicara. Ia adalah saksi dari cara manusia berpikir, berdoa, berkuasa, dan mencipta. Salah satu mahasiswa bahkan menyebut arca Prajnaparamita sebagai “perwujudan arsitektur jiwa” karena mampu menyampaikan kedalaman spiritualitas hanya melalui batu.

Dosen pembimbing mendorong mahasiswa untuk menulis refleksi, membuat laporan, dan menyusun artikel ilmiah populer sebagai bagian dari tugas. Kelompok Publikasi Media Massa mengambil tanggung jawab untuk mendokumentasikan kunjungan ini secara naratif, menyebarkannya ke publik agar apa yang mereka alami tak hanya berhenti di ruang kelas, tapi menjangkau pembaca yang lebih luas.

Kegiatan ini juga menyadarkan mahasiswa bahwa menjadi calon guru sejarah bukan berarti hanya mengajarkan fakta dan tanggal. Mereka adalah agen pelestarian memori. Mereka adalah jembatan antara generasi. Mereka punya peran sosial untuk menyebarluaskan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya bangsa—terutama di tengah maraknya perusakan situs sejarah, penjualan artefak ilegal, dan lunturnya minat generasi muda pada akar budayanya sendiri.

Melalui publikasi seperti ini, mereka berharap masyarakat akan kembali berkunjung ke museum. Menyadari bahwa benda-benda tua itu bukan hanya milik masa lalu, tapi juga modal masa depan. Bahwa arca bukan hanya karya seni, tetapi pengingat bahwa kita pernah menjadi bangsa yang beradab, spiritual, dan estetis.

Dari Museum Nasional, para mahasiswa kembali ke Semarang tidak hanya dengan catatan tangan dan foto-foto, tetapi juga dengan kesadaran baru: bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk diperjuangkan. Bahwa museum bukan tempat yang membosankan, tapi ruang hidup yang menyimpan nyawa kebudayaan. Bahwa Singasari bukan sekadar bab dalam buku, tapi kisah yang menunggu untuk diceritakan kembali—dengan suara baru, cara baru, dan semangat baru.

Melalui tulisan ini, mereka ingin mengajak pembaca untuk tidak lagi memandang arca sebagai benda kuno yang asing, tapi sebagai bagian dari warisan bersama yang menyimpan nilai luhur. Dan lebih dari itu, agar setiap orang, entah mahasiswa, guru, atau masyarakat umum, bisa ikut merawat apa yang pernah dicapai nenek moyangnya: sebuah peradaban yang mampu menyatukan kekuasaan, spiritualitas, dan keindahan dalam satu tarikan napas.

Tim Penulis: Dava Hanin Ramadhan & Bintang Fathia Rahma Susila (Kelompok Publikasi Media Massa) Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2B – UNNES Mata Kuliah: Kajian Peninggalan Sejarah Tanggal Kunjungan: 15 April 2025 Dosen Pengampu: Dr. Drs. Ba’in, M.Hum. & Tsabit Azinar Ahmad, S.Pd., M.Pd.


Posting Komentar untuk "Menyelami Warisan Singasari di Museum Nasional Indonesia"