Artikel - indometro.id - Di tengah gemuruh protes mahasiswa dan aktivis yang mengguncang jalanan di Jakarta hingga ke Malang dan Yogyakarta, Presiden Prabowo Subianto menandatangani RUU TNI pada 27 atau 28 Maret 2025 (sebelum lebaran menurut pemberitaan yang beredar), hanya sepekan setelah DPR mengesahkannya pada 20 Maret. Kecepatan tingkar lord ini bukan hanya sekadar efisiensi birokrasi, it’s a calculated by power grab. Dengan naskah akademik yang “sengaja” disembunyikan, demonstrasi yang dipertanyakan oleh Prabowo sebagai “bayaran”, dan narasi dwifungsi TNI yang disebut “nonsense”, Prabowo tampaknya sedang memainkan catur politik dengan pion-pion di kesatuan militer.
Tapi, untuk apa? Apakah ini hanya sekadar konsolidasi kekuasaan? Sebuah upaya untuk memutus cengkeraman Jokowi? Atau, justru dijadikan sebuah pondasi untuk melakukan kudeta secara senyap?
Disclaimer:
Di dalam esai kali ini, mencoba untuk membedah skandal revisi UU TNI dengan tingkat kecurigaan yang maksimal, namun berpijak pada data dan teori di dalam ilmu politik untuk mengungkap “apa yang tersembunyi di balik tirai kekuasaan”, sehingga kalian tidak perlu repot-repot lagi mengirimkan OTK untuk menyambangi rumah saya, hehe. Karena, esai saya kali ini akan tetap menawarkan jalan konstruktif ke depan, untuk kebaikan kita semua. Bukankah ini sangat menyenangkan?
Urgensi Tinggi atau Agenda Terselubung?
Revisi UU TNI menurut saya, merupakan operasi politik yang dirancang dengan presisi di tubuh militer. Bayangkan, dalam waktu 40 hari sejak Surat Presiden pada 13 Februari 2025, DPR, di bawah komando Puan Maharani mengesahkan RUU ini pada 20 Maret, dan Prabowo sendiri telah menandatanganinya pada 27 atau 28 Maret 2025, jauh sebelum batas 30 hari yang diizinkan oleh UU Nomor 13 Tahun 2022.
Prabowo mengklaim urgensi dalam pengesahan RUU TNI ini untuk memperpanjang usia pensiun Jenderal demi stabilitas di dalam TNI sendiri, karena pergantian Panglima TNI dan KSAD setiap tahun dinilai “mengganggu organisasi” ( berdasarkan wawancara yang dilakukan di Hambalang bersama 7 Pemred). Namun, benarkah? Data menunjukkan bahwa di dalam TNI justru kelebihan Jenderal, lantas kenapa perpanjangan usia pensiun malah menjadi prioritas?
Jika menelisik teori Militerisasi Sipil dan State Capture Dari Huntington (1957) memperingatkan bahwa, ketika militer memperluas perannya ke ranah sipil, supremasi sipil akan terkikis sehingga membuka jalan bagi otoritarianisme. Revisi UU TNI yang memperluas jabatan sipil untuk prajurit aktif dari 10 menjadi 16 di Kementerian/Lembaga (baca di Pasal 47), dan menambah tugas TNI seperti keamanan siber ( baca di Pasal 7), bukanlah sekadar efisiensi biasa, melainkan state capture di mana elite politik menggunakan institusi negara untuk memperkuat kekuasaan.
Laporan Tempo pada Maret 2025 mengungkap, bahwa ada sekitar 2.500 prajurit aktif yang sudah menduduki jabatan sipil secara ilegal sebelum adanya RUU TNI yang baru. Prabowo, yang sebagai mantan Jenderal yang dekat dengan TNI, tampaknya sedang melegalkan pelanggaran di era Jokowi, di mana ketika Prabowo menjabat sebagai Menhan, dia juga sekaligus memperluas cengkeramannya di tubuh militer.
Argumen Prabowo tentang urgensi tinggi tadi bukanlah tentang stabilitas TNI, melainkan langkah Prabowo untuk menancapkan kukunya di tubuh birokrasi sipil. Nah, dengan menempatkan loyalis TNI di posisi yang strategis, Prabowo terlihat sedang membangun benteng kekuasaan yang sulit untuk ditembus oleh lawan politiknya. Kecepatan dalam urusan legislasi, rapat tertutup di Hotel Fairmont, serta naskah akademik yang seperti disengaja untuk tidak diunggah oleh DPR, menunjukkan adanya operasi senyap untuk menghindari pengawasan publik.
Maka dari itu, langkah “catur politik” Prabowo kalau saya bilang, bukanlah demokrasi melainkan taktik militer dalam jubah sipil.
Utopia Demokrasi di Indonesia 5.0
Gelombang demonstrasi melanda beberapa daerah di Indonesia sejak Februari 2025, yang dipimpin oleh BEM SI dan Koalisi Masyarakat Sipil, di mana ada ribuan mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, hingga Malang yang membakar ban sebagai aksi protes, menggoreskan grafiti “Tolak UU TNI”, serta menuntut pembatalan revisi yang dianggap mengembalikan dwifungsi TNI.
Komnas HAM menegaskan bahwa proses legislasi RUU TNI minim partisipasi publik, yang sudah sangat jelas mengabaikan debat yang panjang di DPR, serta melanggar prinsip demokrasi dan checks and balances. Namun, apa respon yang diberikan oleh Prabowo? Dalam wawancaranya Hambalang bersama 7 Pemred, Prabowo mengatakan bahwa protes sebagai hak konstitusional, namun dengan nada sinis yang mempertanyakan apakah demo itu “murni atau dibayar”, serta mewanti-wanti tentang “pengaruh asing” tanpa bukti yang kuat.
Nah, jika berbicara tentang teori lagi, ada sebuah teori yang disebut dengan Delegitimasi Oposisi dan Populisme Otoriter. Mudde & Kaltwasser (2017) dalam Teori Populisme Otoriter, menjelaskan tentang bagaimana pemimpin otoriter mendelegitimasi oposisi dengan menstigma mereka sebagai “pengkhianat” atau “bayaran”.
Pernyataan Prabowo tentang demo penolakan RUU TNI identik dengan teori di atas, dengan menyebutkan bahwa protes sebagai “karangan” dan “nonsense”, dimana Prabowo juga menggambarkan rakyat sebagai pion asing, bukan suara demokrasi. Maka, dengan argumen serta spekulasi dari Prabowo, saya pun mulai bertanya, “Apakah Prabowo sengaja mengabaikan rakyat untuk mempercepat agenda militernya?”.
Penandatanganan kilat yang terjadi sebelum Lebaran, ketika publik tengah sibuk dengan urusan Ramadhan dan persiapan hari raya, bagaikan sebuah “potensi” untuk menutup telinga dari jeritan demokrasi. Bahkan, dengan meremehkan protes dan mengesampingkan dialog, Prabowo bukan hanya mengkhianati rakyat, tetapi juga membuka jalan bagi otoritarianisme berbalut seragam militer.
Apakah ini pertanda bahwa Prabowo tidak percaya pada demokrasi?
Perebutan Takhta di Balik TNI
Jokowi, dalang politik di balik kemenangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 kemarin, nyatanya masih menancapkan pengaruhnya melalui Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres serta loyalis seperti Erick Thohir dan Menteri-Menteri lainnya di kabinet. Namun tampaknya Prabowo tidak tinggal diam, pada Desember 2024, dirinya memutasi kurang lebih 300 jenderal TNI, menggeser tokoh-tokoh yang dekat dengan Jokowi seperti Letjen Widi Prasetijono dan Mohammad Hasan ke posisi menurut saya tidak strategis, lalu menempatkan loyalisnya seperti Letjen Fadjar pada jabatan kunci. Revisi UU TNI, yang memperkuat kendali Presiden atas TNI dan memperluas peran sipil prajurit, mengingatkan kita semua tentang Polri yang berada di bawah komando Presiden Jokowi (saat itu), yang tampaknya menjadi senjata bagi Prabowo untuk membangun benteng militer yang setia kepadanya.
Mari kita telisik lagi apakah ada teori yang dapat menjelaskan kejadian di atas? Oh, nampaknya ada! Yaitu Teori Elite Competition dari Higley & Burton (2006) yang menjelaskan tentang bagaimana elite politik bersaing untuk menguasai institusi strategis, seperti militer, untuk memperkuat posisi mereka. Mutasi Jenderal yang dilakukan oleh Prabowo dan RUU TNI menurut saya, merupakan langkah Prabowo untuk merebut kendali TNI dari struktur di era Jokowi, yang dipimpin oleh Panglima seperti Yudo Margono dan Agus Subiyanto. Pengamat Selamat Ginting menilai, langkah yang diambil oleh Prabowo ini sebagai “penggeseran relasi kuasa Jokowi”, tentunya dengan Prabowo yang membangun otonomi kekuasaan melalui TNI.
Nah menurut hemat saya, Prabowo sedang memainkan permainan yang sangat berbahaya untuk mematahkan cengkeraman Jokowi. Dengan adanya UU TNI yang baru, Prabowo bisa menempatkan loyalisnya di posisi-posisi sipil yang strategis, menggantikan birokrat-birokrat yang pro kepada Jokowi. Mutasi 300 jenderal menurut saya merupakan deklarasi perang diam-diam terhadap warisan Jokowi, menjadikan TNI sebagai mesin politik Prabowo seperti Polri yang dijadikan mesin politik oleh Jokowi.
Namun yang menjadi pertanyaan, “Appakah Jokowi akan diam saja?”. Dengan posisi Gibran di sisinya, Jokowi mungkin sedang menyiapkan serangan balik, dan UU TNI yang baru bisa menjadi medan pertempuran yang sangat meriah.
Panglima TNI, antara Negara, Jokowi atau Prabowo?
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, yang dilantik oleh Jokowi pada 2023, merupakan produk struktur militer pada era Jokowi. Namun di bawah pemerintahan Prabowo, Agus Subiyanto tampaknya berbalik arah. Agus Subiyanto mengawal mutasi 300 Jenderal dan mendukung RUU TNI, termasuk pelaksanaan tugas baru TNI seperti Ketahanan Pangan dan Keamanan Siber. Sepertinya, tidak ada tanda-tanda bahwa ia menentang Prabowo, meskipun awalnya dianggap bagian dari “kubu Jokowi.” TB Hasanuddin, purnawirawan TNI, menegaskan bahwa panglima setia pada negara, bukan individu. Namun, benarkah eksistensinya berada di tengah intrik politik?
Huntington (1957) menyatakan pendapatkan dalam Teori Profesionalisme Militer yang menyatakan bahwa, militer harus netral dan setia pada konstitusi. Namun, dalam konteks Elite Competition seperti yang sudah saya singgung di atas, Panglima sering menghadapi kenyataan tentang loyalitas ganda, kepada Presiden yang sedang berkuasa atau struktur yang “melahirkannya”. Agus Subiyanto, sebagai profesional TNI, tampaknya memilih loyalitas kepada Prabowo, yang kini menjadi panglima tertinggi, daripada mempertahankan warisan Jokowi. Namun, bagaimana jika saya menciptakan anomali pada bagian ini?
Bagiaman jika Agus Subiyanto sengaja menuruti perintah Prabowo atas petuah dari Jokowi? Maka, Agus Subiyanto bukan boneka Jokowi lagi, melainkan telah menjadi pion Prabowo atas “perintah” Jokowi dalam spekulasi operasi intelijen seperti pada esai saya yang berjudul “Presiden Tua Bangka dan Operasi Intelijen”.
Dengan mendukung mutasi jenderal dan revisi UU TNI, Agus Subiyanti membantu Prabowo dalam membangun TNI yang setia pada visi militerisasi sipil. Tapi apakah Agus benar-benar setia? atau hanya menunggu momen untuk mengembalikan keseimbangan ke Jokowi? Dalam politik militer, tidak ada yang pasti, dan Agus Subiyanto bisa menjadi kunci dari skenario yang lebih gelap nan mempesona bagi pengagum kekacauan.
Bayang-Bayang Kudeta: Mitos atau Ancaman Nyata?
Kata “kudeta” menghantui diskusi kita pada esai ini, yang tentunya dipicu oleh trauma Prabowo yang “kabu” ke Yordania. Pada Mei 1998, Prabowo dituduh memimpin pergerakan pasukan Kostrad untuk mengepung Jakarta, yang berujung pada pencopotannya sebagai Panglima Kostrad (Detik-detik yang Menentukan, 2006). Revisi UU TNI, yang memperluas peran TNI ke ranah sipil, memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi atau bahkan lebih buruk, sebuah pondasi untuk melaksanakan kudeta senyap. Sayangnya, tidak ada bukti konkret per April 2025 yang menunjukkan rencana kudeta, tapi kecurigaan tentunya tetap membara, yang bisa membuat saya kembali didatangi oleh OTK.
Jika mengacu pada Teori Praetorianism dan Trauma Politik Perlmutter (1969), Mutter memperingatkan bahwa militer yang terlalu kuat dalam politik sipil dapat menjadi “penjaga kekuasaan” yang mengambil alih negara melalui kudeta. RUU TNI, dengan legitimasi penempatan prajurit aktif di posisi sipil, menciptakan risiko praetorianisme, di mana TNI bisa menjadi alat Prabowo untuk mengamankan kekuasaan jika terjadi krisis. Trauma politik Prabowo di 1998, ditambah dengan minimnya transparansi legislasi, memperkuat ketakutan ini akan rencana terselubung ini.
Kudeta mungkin bukan rencana hari ini, atau mungkin tidak pernah ada rencana kudeta sama sekali. Namun, Revisi UU TNI kalau saya boleh ngomong, merupakan pondasi untuk skenario darurat militer. Pada kenyataannya, TNI yang kini punya kaki di ranah sipil, Prabowo bisa memobilisasi militer untuk menekan oposisi atau mengatasi krisis politik, mirip dengan apa yang dituduhkan padanya di 1998.
Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Militer
Skandal Revisi UU TNI yang penuh dengan intrik, merupakan alarm bagi demokrasi di Indonesia. Prabowo, dengan kecepatan kilat dan narasi yang manipulatif, nampaknya sedang membangun mesin militer untuk memperkuat kekuasaan, melemahkan jeratan Jokowi, dan tentunya mengabaikan rakyat karena aksi protes kita dibilang “bayaran”. Tapi tenang saja, saat ini bukanlah akhir cerita dari negara demokrasi yang disebut Indonesia.
Koalisis masyarakat sipil harus menuntut adanya transparansi total, di mana DPR harus dipaksa membuka naskah akademik dan draf UU TNI serta RUU-RUU yang sedang dibahas. Tanpa paksaan ini, kecurigaan kita akan terus membesar sehingga semakin memperkeruh kondisi di masyarakat. Lalu, judicial review pada Pasal 47 dan 7 harus diuji di Mahkamah Konstitusi, tentunya untuk mencegah militerisasi sipil dan tetap menjaga supremasi sipil.
Kemudian, kita semua harus memantau penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dan tugas baru TNI, seperti keamanan siber, untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan untuk pembungkaman. Selain itu, dialog nasional juga kudu rutin dilakukan, bila perlu pemerintah harus membuka ruang dialog dengan mahasiswa, aktivis, dan akademisi untuk membahas dampak UU TNI serta RUU yang lain, bukannya malah meremehkan mereka sebagai “bayaran”.
Kesimpulan
Revisi UU TNI menurut saya bukanlah sekadar perubahan teknis, melainkan deklarasi perang Prabowo terhadap demokrasi dan pengaruh Jokowi. Dengan kecepatan kilat seperti ulti Edora, Prabowo melegalkan militerisasi sipil, menggeser loyalis Jokowi, dan meremehkan rakyat sekaligus membangun TNI sebagai benteng kekuasaan. Agus Subiyanto, Panglima warisan Jokowi, nampaknya telah berpaling ke Prabowo, menambah kecurigaan bahwa TNI kini hanyalah alat politik, setelah Polri juga dijadikan alat politik oleh Jokowi ketika sedang menjabat. Kudeta mungkin belum terjadi atau bahkan tidak akan terjadi, tapi tetap saja, pondasinya sedang diletakkan, dengan traumadi tahun 1998 sebagai pengingat bahwa Prabowo tidak asing dengan ambisi militer.
Prabowo mungkin tersenyum di Hambalang, menyebut rakyat sebagai “karangan” dan Jokowi hanyalah “masa lalu”. Namun di balik senyum itu, apakah Prabowo sedang menyiapkan tahta abadi berbasis TNI? Hanya waktu (dan perlawanan rakyat) yang akan menjawab.
(Hara Nirankara)
Posting Komentar untuk "Prabowo vs Jokowi: Tahta Yang Dibagi Dua"