-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Otoritarianisme Gaya Baru Indonesia

    redaksi
    Kamis, 18 Juni 2020, Juni 18, 2020 WIB Last Updated 2020-06-18T02:48:36Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    Akademisi menilai pemerintahan jokowi menerapkan kembal otoritarianisme orde baru

    indometro.id - Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Busyro Moqqodas, meringkus situasi Indonesia sepanjang periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagai berikut: “Otoritarianisme gaya baru atau neoauthoritarianisme.”

    Dalam sebuah diskusi daring, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu memberikan contoh bagaimana demokrasi mundur di era Jokowi. Contoh nya dalam penempatan banyak polisi ke dalam instansi-instansi pemerintah. “TNI berhasil dibersihkan dari dwifungsi, sekarang multifungsi dilakukan oleh Polri.”

    Ada beberapa lembaga negara yang di pimpin oleh perwira polisi, baik yang masih aktif atau sudah pensiun dini, di antaranya KPK, Badan Intelijen Negara, Badan Urusan Logistik, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme hingga Kementerian Dalam Negeri.

    Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, lembaga yang rutin mengeluarkan kajian sosial sejak orde baru, mengatakan setidaknya ada empat indikator sebuah negara atau sistem pemerintah bisa disebut otoriter. Indikator – indikator tersebut dapat di ambil dari buku terbaru Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Dies, yang terbit 2018 lalu.

    Ironisnya, Indonesia sudah memenuhi keempat indikator itu, kata Wijayanto.

    Indikator pertama adalah adanya penolakan atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main yang demokratis. Kata Wijayanto, hal tersebut terlihat ketika Jokowi menginstruksikan kepala daerah hingga tentara untuk mengkampanyekan kebijakan pemerintah dan meminta mereka menangkal banyak kabar palsu terkait dirinya sebelum Pilpres 2019.

    Contoh lain adalah adanya upaya memobilisasi kepala daerah termasuk Polri untuk mendukung petahana.

    “Kombinasi antara mobilisasi pejabat sipil dan aparat militer atau penegak hukum adalah tipikal bagaimana seorang incumbent maju untuk kembali terpilih,” kata Wijayanto dalam sebuah diskusi daring (16/6/2020).

    Contoh lain terjadi pada Desember 2019, saat itu muncul wacana dari parpol pendukung Jokowi mengenai amandemen UUD yang memungkinkan presiden menjabat tiga periode . Ketika itu Jokowi hanya marah tanpa melakukan tindakan apapun yang lebih konkret.

    Indikator kedua adalah pemberangusan oposisi. Dalam konteks ini, Wijayanto mengatakan Jokowi melakukan itu pertama-tama dengan memberikan Gerindra , partai oposisi utama dalam Pilpres 2019, dua kursi menteri. Akibatnya oposisi lain, yaitu Demokrat, PAN, dan PKS jadi tak punya taji di legislatif . Suara mereka timpang dibanding koalisi partai pendukung pemerintah.

    Manuver ini semakin kentara ketika partai koalisi pemerintah merevisi UU MD3 dan menambah kursi pimpinan MPR. Dampaknya, lebih banyak partai berkesempatan mendapat jatah kursi, merapat kekekuasaan, dan tak lagi menjadi oposisi.

    Indikator selanjutnya, berdampak langsung ke sipil: memberi toleransi atau bahkan menganjurkan kekerasan aparat ke warga. Hal ini juga terjadi di era Jokowi, kata Wijayanto, contohnya kasus gerakan Reformasi Dikorupsi pada September 2019. LBH Jakarta menyebut pendekatan polisi saat menangani aksi masa saat itu “adalah pendekatan represif, kekerasan”.

    Contoh lain selain yang disebut Wijayanto adalah aksi berujung kerusuhan pada 21-23 Mei. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan ada 10 orang tewas dalam peristiwa tersebut, empat diantaranya masih anak-anak (dibawah 18 tahun) . Delapan orang tewas karena tertembak peluru tajam.

    Latar belakang inilah yang kemudian membuat kontras dan YLBHI sama-sama menilai kekerasan oleh aparat makin menjadi di era Jokowi. Mereka pun mendesak pemerintah untuk segera mereformasi Polri besar-besaran.

    Indikator terakhir juga berdampak luas ke warga sipil, yaitu kesediaan penguasa untuk membatasi kebebasan sipil, termasuk media.

    Menurut Wijayanto, beberapa kebebasan sipil yang dikekang, dan di langgar di era Jokowi adalah: pelarangan dan razia buku, pembubaran dan teror terhadap diskusi kritis, membubarkan paksa dan penangkap peserta demonstrasi isu papua, hingga peretasan dan penyadapan para aktivis pro demokrasi.

    “Terjadinya kesepakatan, setidaknya selusin ilmuan politik dari dalam dan luar negeri bahwa Indonesia sedang mengalami proses kemunduran demokrasi yang dirumuskan dalam berbagai istilah, dari mulai kemunduran (regression, decline, back sliding) hingga putar balik ke arah otoritarianisme (authoritarian turn) dan otoritarianisme baru (neoautoritarianisme),” katanya.

    Kemunduran itu terjadi secara perlahan sejak 2016 dalam terus berlanjut dalan gradasi yang lebih serius setelah Pipres 2019, ditandai dengan contoh-contoh yang tadi sudah disebut: dari mulai di abaikannya aturan main demokratis hingga hilangnya oposisi di parlemen.

    Jika itu masih kurang, Wijayanto menambahkan sejak dua tahun terakhir rezim jokowi sangat mudah mengintervensi benteng kebebasan akademik:kampus. Salah satu bentuknya adalah arahan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (kementerian ini sekarang dilebur) agar rektor mengimbau para mahasiswa dan dosen tidak turun ke jalan.

    “Tergerusnya kebebasan akademik hari-hari ini,” simpul Wijayanto,”merupakan penanda kemunduran demokrasi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak reformasi politik 1998 dan putar balik ke arah otoritarianisme.” (Silvyana)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini