-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    >

    Temukan Kami DI Fb

    Perempuan 'Penakluk Api' Kebakaran Hutan Kalimantan

    redaksi
    Selasa, 24 September 2019, September 24, 2019 WIB Last Updated 2019-09-24T08:42:59Z

    Ads:

    https://thumb.viva.co.id/media/frontend/thumbs3/2019/09/24/5d89cd3aa17be-kebakaran-hutan-kami-adalah-penjaga-hutan-kalimantan-kisah-para-perempuan-penakluk-api_375_211.jpg
    ist
    INDOMETRO.ID - Sumarni dan Sola adalah dua di antara sekian banyak relawan perempuan yang turun ke tengah bara api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan.
    Dorongan untuk terjun langsung membantu proses pemadaman itu bersifat naluriah bagi Sumarni Laman.

    "Selama ratusan tahun kami menjaga hutan kami, hutan Kalimantan," ujar perempuan berusia 23 tahun itu saat rehat di atas lahan gambut yang hangus di perbatasan Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Rabu, 18 September 2019.
    "We are the guardians of the forests (Kami adalah para penjaga hutan)," tambahnya.

    Sumarni yang asli suku Dayak memang lahir dan tumbuh di Kalimantan Tengah. Ia tak pernah membayangkan harus menyemprotkan ribuan liter air ke hektare demi hektare lahan yang membara di `rumah`nya sendiri, demi bisa bernapas lega.

    "Banyak banget terjadi kebakaran, jadi untuk membantu memadamkan api, kami juga turun langsung," imbuhnya.
    Seperti Sumarni, Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.

    Tak lekang dari ingatannya aroma asap dan kabut `abu` pekat yang menyelimuti kampung halamannya di Ketapang, Kalimantan Barat, sejak bertahun-tahun lalu.
    "Setiap tahun tuh pasti ada (kabut asap)," ujar Sola.
    Tanda tanya itu tumbuh semakin besar setelah ia menyaksikan sendiri dua rekan kerjanya menjadi korban asap kebakaran hutan dan lahan.

    "Teman dan atasan (saya) pernah sakit, sampai ada yang meninggal," imbuhnya.

    `Jangan sampai ini kena keluargaku`
    Sola melintasi lahan gambut gosong dan berlumpur bersama beberapa orang relawan Greenpeace lainnya. Kamis, 19 September 2019 pagi itu, timnya mendatangi titik api di kawasan Jembatan Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.

    Dengan mengenakan pakaian pemadam kebakaran lengkap, ia melingkarkan gulungan selang air di pundak sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi setiap kali melangkah - menerka mana gambut yang kopong, mana yang cukup padat untuk diinjak.

    Ia masuk semakin dalam ke tengah semak belukar di atas gambut yang kering dan menghitam, ke kawasan dengan asap yang masih membumbung tinggi.

    "Kita diajarin gimana sih tipe-tipe tipikal gambut, terus gimana cara kita menanggulanginya," tutur Sola. "Kita kan enggak bisa sembarang siram."

    Di sana-sini, para petugas dari satuan maupun kelompok lain tengah memadamkan api. Kobarannya memang kerap tak tampak, karena api biasanya membara di bawah permukaan gambut yang kedalamannya sulit ditebak.

    Sebelumnya, Sola dan relawan lain dari lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Belanda itu sudah diberi pelatihan khusus untuk bisa bergabung dengan Tim Cegah Api Karhutla.

    "Kita dilatih sama teman-teman dari Rusia, pelatih dari Rusia. Kita diajarin bagaimana teknik (pemadaman)nya," ungkapnya.

    Setelah tiba persis beberapa meter dari asap yang mengepul tebal, Sola dan teman-temannya - dibantu sejumlah tentara - mulai memasang dan menyalakan mesin pompa air untuk menyedot air tanah dari sumur galian terdekat.

    "Tarik selangnya, tarik," teriak salah satu tentara yang suaranya berkejaran dengan bising mesin pompa.

    Sola mengambil posisi terdepan. Ia memegang nozzle alias mulut pipa dan mengarahkannya ke area yang ditarget.

    "Kita pakai nozzle yang satu arah, alasannya karena efektif di lahan gambut," tuturnya sambil sesekali membenamkan ujung nozzle ke dalam gambut, membiarkan air menerobos sela-sela akar yang saling melilit.

    "Kita melakukan pembuburan, di mana pembuburan itu dilakukan untuk mengambil bara yang di bawah. Jadi kita mematikan bara yang di bawah."

    Ini adalah tahun ketiga Sola menjadi relawan Tim Cegah Api. Sebelumnya, pada tahun 2017, ia terjun di kampung halamannya, Ketapang, Kalimantan Barat. Tahun 2018, ia terbang ke Pontianak untuk membantu pemadaman.

    Bagi Sola, karhutla tahun 2015 merupakan titik baliknya. Pada saat itu, ia menyaksikan teman dan atasannya menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang begitu parah akibat menghirup kabut asap.

    "Temanku ini, pada saat kita mau masuk kerja, dia batuk. Tiba-tiba muntah darah," kata Sola mengingat-ingat peristiwa itu.

    "Kita bawa ke rumah sakit, kata dokter itu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akut. Sejak itu, ia diliburkan sama perusahaannya."

    Kejadian lebih nahas lantas menimpa atasannya.

    "Dia batuk-batuk sudah mulai parah, akhirnya kata dokter `ya udah, coba balik (pulang) lewat kapal`. Jadi beliau balik lewat kapal, pergi ke Pontianak. Baru dari Pontianak beliau ke Balikpapan," kisahnya.

    Sebenarnya, sang bos ingin mengungsi dari Ketapang, namun berbagai jadwal penerbangan justru dibatalkan. Alhasil, ia terperangkap semakin lama di lingkungan berkabut asap tebal.

    Seiring waktu, ISPA yang diderita semakin parah, hingga akhirnya ia mengembuskan napas terakhir.
    "Akhirnya masih berlanjut ISPA-nya itu. Itulah yang merenggut nyawanya," tutur Sola.

    Menjadi saksi dua peristiwa itu membuat Sola semakin geram dengan nasib nahas yang harus dihadapi ia dan jutaan warga lain yang terdampak.

    "Kok bisa ini kejadian? Kenapa? Siapa dalang dari semua ini?" tanyanya kesal.

    Ia bertekad menghentikan kebakaran hutan dan lahan dengan tangannya sendiri. Menjadi relawan Tim Cegah Api adalah hal yang bisa ia lakukan saat ini.

    "Bos sama temanku udah (cukup menjadi korban), jangan sampai itu terjadi sama keluargaku," ujarnya.

    "Mungkin bukan saat ini kita lihat (dampaknya). Mungkin bukan saat ini kita hirup langsung kita mati, tapi nanti 15 tahun, 20 tahun (lagi)."

    Berita ini telah di terbitkan dan bersumber dari viva


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini