-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Manipol Habel Latunussa Calon Ketua BEM Unindra

    Progress_unindra
    Senin, 31 Mei 2021, Mei 31, 2021 WIB Last Updated 2021-05-31T04:24:40Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    (Foto Habel Latunussa Calon Ketua BEM Unindra)

    Indometro.id - Sehubung dengan yang kita tahu bersama, Kehidupan mahasiswa di kampus bukan hanya soal Lembaga Eksekutif Mahasiswa atau Unit Kegiatan Mahasiswa saja. Ada kelompok-kelompok kecil lainnya yang berharap ruang proses lebih dari dua ruang itu.

    Perkumpulan kecil ini biasanya menamakan dirinya dengan kelompok studi atau sebagainya. 
    Tidak hanya menginginkan satu rangkaian kegiatan seremonial yang menjadi corong birokrat kampus dengan sumber dananya yang besar, melainkan lebih dari itu. Kelompok ini, selain proses normatif di ruang kelas, mereka terus mengamini dan menciptakan ruang belajar alternatif yang otonom, kritis, kreatif, dan aspiratif. 

    Organisasi sangat penting untuk kebaikan mahasiswa. Namun, jika harus dievaluasi kembali dimana situasinya kini begitu memprihatinkan sekali karena kesadaran berorganisasi itu sangat minim, tampaknya mahasiswa yang berminat untuk bergabung dengan organisasi-organisasi yang ada di kampus maupun di luar kampus terus berkurang. Ini masalah baru!. 

    Padahal, dengan berorganisasi, mahasiswa mampu menemukan wahana dan sarana pengembangan diri ke arah perluasan wawasan. Dan juga, peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional.

    Dengan begitu, tentu mereka dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian, ataupun mampu membangun kesadaran pendidikan yang berbasis realitas sosial dalam mewujudkan cita-cita perubahan yang lebih baik untuk bangsa dan negara. Demikian di mana keadilan dan kesejahteraan mampu masyarakat dapatkan secara merata tidak hanya segelintir orang.

    Sebab, jika kita telaah lebih mendalam tentang integritas marwa mahasiswa saat ini, Penghargaan terhadap orang lain yang tidak didasarkan pada kepentingan individu yang ditafsirkan sebagai etika menurut Aristoteles, jarang lagi ditemukan di ruang pendidikan. Jika tindakan ini terus berada di lingkungan kampus, maka nalar kewarasan akademisi perlu dipertanyakan. Sebab, sakitnya nalar dapat diukur salah satunya oleh tindakan yang tak punya alternatif selain melakukan pembenaran tanpa dasar yang rasional.

    Bila kita membaca sejarah, pasti kita akan tahu betapa rentetan kronologis perjuangan kemerdekaan ini dipenuhi oleh pergerakan yang dipelopori oleh mahasiswa dan pemuda.

    Pada tahun 1908, muncul sebuah gerakan Boedi Utomo. Kemudian disusul gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Bahkan Soekarno dan Mohammad Hatta masih menyandang status sebagai pemuda ketika memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
    Tak lepas di situ, 1966, mahasiswa menumbangkan Orde Lama. Lalu, 1998, mahasiswa menurunkan Orde Baru (lawan kata dari orde lama) yang sangat otoriter. Kemudian lahir era reformasi. Semua itu adalah bukti sejarah bahwa mahasiswa menjadi tonggak perubahan.

    Kemudian, sejarah panjang itu terulang. Digerakan atas dasar kesadaran, diperjelas oleh situasi dan dituntun oleh kondisi, ribuan mahasiswa kembali meneriakan kesejatian dari zaman. 2019 dengan tagar #ReformasihDiKorupsi dan 2020 #TolakOmnibuslaw ribuan mahasiswa memadati jalan-jalan di pusat kota dan pelosok-pelosok daerah. Menuntut dikembalikannya hak-hak masyarakat. 

    Sementara itu, jika kita kembali ke dalam kampus,  Kebanyakan persepsi mahasiswa saat ini mengenai politik pasti berhubungan dengan pemerintahan, orang-orang berjas dan berdasi yang kebanyakan tugasnya duduk berjam-jam sampai masalah yang didiskusikan selesai, bisa sampai satu ronde atau bahkan beberapa ronde, korupsi yang rapi, keadilan yang simalakama, kesejahteraan yang tak kunjung didapat,  dan masih banyak persepsi negatif  lainnya. 

    Jika persepsi semacam itu dikonsumsi oleh kita, maka tak luput pula bahwa pasti kita semakin enggan untuk berkecimpung atau bahkan sekedar memberikan pendapat dan masukan terhadap dunia politik entah itu di luar kampus maupun di dalam kampus. Apalagi di zaman yang serba teknologi ini, yang membuat banyak dari kita, bukan hanya dalam kampus tapi juga luar kampus semakin tidak tertarik dengan yang namanya politik.

    Padahal jika kita sederhanakan, politik adalah lokomotif untuk mencapai tujuan. Seperti sebilah pisau, jika dipergunakan untuk memotong sayur-mayur, buah-buahan atau lain-lain sejenisnya maka pisau tersebut berguna dan dipandang positif, tetapi jika pisau itu dipergunakan untuk menikam orang sudah tentu akan dipandang negatif. Jadi sedari awal politik hanyalah alat, cara atau lokomotif untuk mencapai tujuan. 

    Gerakan dialektis mamamahasiswa I
    Kita perhatikan menggunakan pandangan universal, Potensi serta kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa unindra sebagai kaum intelektual yang berkipra politik dalam banyak hal tentu memiliki peluang atas tantangan yang beragam, maka yang mutlak harus dimiliki adalah keyakinan dan pemikiran yang tidak boleh ditunggangi oleh siapapun. 

    Pertama, saya dengan kesadaran penuh memahami bahwa kita mahasiswa harus menjadi bagian dari aspirasi masyarakat. Tantangan terbesar untuk ke depan sebagai bagian dari entitas sosial ialah bagaimana mahasiswa unindra menyadari dan memaknai perannya dalam kehidupan masyarakat dan bagaimana memberikan sumbangan pemikiran untuk kepentingan rakyat serta dapat menghubungkan antara kesadaran masyarakat dengan kesadaran mahasiswa  pada umumnya dan untuk diakumulasikan menjadi perpaduan kesamaan pendapat yang dapat menyatukan diantara keduanya. 

    Kedua, saya memahami pula mahasiswa harus tampil sebagai alat kontrol politik terhadap kekuasaan. Dalam sejarahnya seperti yang terterah diatas, mahasiswa dituntut untuk memberikan pemikirannya yang kritis serta konstruktif dalam memandang kebijakan-kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, mahasiswa harus memegang teguh independensi untuk selalu menjadi kalangan oposisi tunggal yang mengontrol kekuasaan agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam rangka mewujudkan tujuan negara dan dari cita-cita bangsa.

    Ketiga, kekuatan moral adalah fungsi utama dalam peran mahasiswa untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi beralasan karena mahasiswa adalah bagian dari masyarakat sebagai kaum terpelajar yang memiliki keberuntungan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Mahasiswa terkhususnya mahasiswa unindra dengan segala keunikan dan kelebihannya masih sangat rentan, sebab posisi mahasiswa yang dikenal sebagai kaum idealis harus berdiri tegak di antara idealisme mereka dan realita kenyataan. Sedikit quotes dari Tan Malaka: kemewahan terakhir yang dimiliki oleh Pemuda (mahasiswa) adalah idealisme. 

    II. Dan kemudian, jika kita menariknya dalam wadah organisatoris internal kampus, kebanyakan Organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran berpolitik menjadi tidak menarik saat tujuan politik yang diperjuangkan hanya menyangkut hajat laki-laki saja, dan upaya untuk mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak dan aman untuk perempuan menjadi tidak disuarakan. Artinya ruang-ruang demokratis yang mengangkat hajat keperempuanan masih sangat minim.

    Ketika ketimpangan gender masih menjadi hal yang umum, kasus-kasus yang ganjal di kampus pun menjadi fenomena yang terus berulang tanpa keseriusan untuk menyelesaikan kasusnya maupun mencegah kejadian serupa terulang. Bisa dilihat dari kurangnya keterwakilan perempuan dalam posisi pengambil kebijakan, ini juga berdampak pada banyak aspek lainnya.

    Minimnya keterwakilan perempuan di level pengambil kebijakan itu disebabkan oleh sejumlah faktor. Budaya patriarki telah memprioritaskan laki-laki sebagai yang terdominasi. Selain itu, peran ganda perempuan membuat kesulitan tersendiri untuk menapaki posisi yang strategis. Di lain pihak, perguruan tinggi dikelola dengan kesadaran gender terbatas sehingga tak responsif untuk menyediakan fasilitas yang dapat mendukung kinerja perempuan di kampus dan ini perlu diubah 160%. 

    Saya menyadari bahwa kebijakan afirmatif diperlukan guna meningkatkan keterwakilan perempuan, terutama dalam hal kepemimpinan. Keterwakilan perempuan dalam unsur pimpinan penting guna memastikan setiap kebijakan yang menyangkut mahasiswa ataupun kampus mengakomodasi keadilan gender.

    III. Kini kampus yang didamba akan bisa menjadi harapan baru. Mengapa musti kampus? Tempat inilah yang dihuni oleh banyak anak muda: sekitar 5 juta mahasiswa berada di 5 ribu kampus di Indonesia. Mereka di pencar dalam berbagai fakultas dan belajar dalam suasana yang jauh lebih baik. Fasilitas kampus kini mengagumkan, bangunanya berdiri menawan. Seakan memang kampus yang elok jadi tempat baik untuk belajar anak-anak muda. Belajar mengenai pengetahuan, soal tentang dirinya dan ikhtiar untuk merakit masa depan.

    Kampus mulai menanamkan bukan sekedar disiplin tapi kebebasan akademik. Dorong mahasiswa untuk punya pikiran kreatif, imajinatif dan unik. Jadikan kampus seperti tempat dimana anak-anak muda menemukan bakat serta mimpinya. Bakatnya dapat dipupuk melalui pintu organisasi internal yang disediakan begitu rupa di kampus dan mimpinya bisa dipahat kalau mahasiswa dikasih banyak kesempatan produktif. Itulah tempat yang pernah merakit seorang menjadi proklamator seperti bung Karno sekaligus seorang bisa jadi penentu arah zaman layaknya Steve Jobs. Dua-duanya hidup di sebuah kampus dalam sebuah zaman yang amat berbeda.

    Harapannya jika saya hendaki memegang tonggat kepemimpinan Bem U kedepannya, seluruh perubahan akan diwujudkan.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini