-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Efektifkah Tindakan Keras Terhadap Kelompok Ekstrem di Indonesia?

    redaksi
    Kamis, 02 Agustus 2018, Agustus 02, 2018 WIB Last Updated 2018-08-02T04:39:58Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    image_title
    Aturan perundang-undangan kini memberi kewenangan lebih besar kepada kepolisian untuk menindaki terduga teroris.

    INDOMETRO.ID- Bagi orang Australia, tampaknya sulit dipercaya bahawa kelompok teroris berbahaya di tetangga terdekatnya, Jemaah Ansharut Daulah (JAD), bukanlah organisasi terlarang sampai pekan lalu.
    Keputusan pengadilan di Jakarta pekan ini melarang keberadaan JAD. Hal itu tentunya akan membantu mengurangi serangan teror skala besar seperti di Surabaya dan Bali beberapa tahun sebelumnya.
    JAD diketahui merupakan jaringan kelompok teroris ISIS. Dua pengikutnya di Surabaya, pada Mei lalu, melakukan serangan bom bunuh diri dengan melibatkan anggota keluarganya masing-masing.
    Salah satu dari kepala keluarga tersebut belakangan diketahui merupakan pemimpin sel JAD.
    .Tetapi sampai adanya vonis pengadilan tersebut, para pengikutnya yang diperkirakan ribuan orang, tetap bebas melakukan kegiatan bahkan merekrut anggota baru.
    Bahkan, pihak berwajib yang mengetahui anggota JAD merencanakan serangan, terbatas ruang geraknya untuk mengambil tindakan.
    Puji Kuswati, pelaku serangan bom di Surabaya pada 13 Mei 2018, bersama keempat anaknya.
    Supplied
    Vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini diambil setelah DPR RI meloloskan revisi UU Anti Terorisme yang memberi kewenangan lebih besar kepada pihak berwajib dalam menindaki kelompok ekstrem.
    Serangan bom di Surabaya disebut-sebut telah memicu dipercepatnya revisi UU tersebut.
    Kewenangan lebih besar
    Dengan revisi ini, polisi kini berwenang menahan atau menginterogasi mereka yang dicurigai merencanakan serangan teror.
    Polisi kini boleh menahan seseorang selama 200 hari untuk kepentingan penyelidikan, sebelum melimpahkan berkas perkaranya.
    Memang, sangat naif untuk berpikiran bahwa perundang-undangan akan menghentikan serangan teror.
    Namun menurut pengamat terorisme dari Deakin University di Melbourne, Profesor Greg Barton, percaya bahwa hal itu bisa membantu menurunkan jumlah serangan skala besar.
    Putusan pengadilan tersebut, katanya, secara efektif menjadikan JAD sebagai kelompok bawah tanah.
    "Artinya, siapa saja yang secara terbuka terkait dengan JAD, mendukungnya secara finansial, terlibat dalam propaganda dan perekrutan, sekarang ini terancam tindakan hukum," jelasnya.
    Hal ini, katanya, tidak akan menghilangkan pengaruh mereka secara seketika. Namun jelas akan membantu kepolisian membatasi ambisi kelompok JAD.
    Namun sebaliknya, larangan terhadap JAD justru bisa meningkatkan reputasi kelompok ini, dan pada gilirannya berfungsi dalam perekrutan anggota baru.
    "Hal ini menambah reputasi mereka," jelas Isaac Kfir dari Australian Strategic Policy Institute.
    Bagi mereka yang tertarik dengan JAD, katanya, larangan tersebut justru kontra produktif dan bisa menjadi pemicu untuk mempelajarinya lebih jauh.
    Tak bisa bertindak tanpa bukti
    Dalam serangan bom bunuh diri ke markas polisi di Surabaya, pelaku yang membawa anaknya dengan sepeda motor sebelumnya telah dicurigai polisi. Kecurigaan itu muncul setelah dia mengunjungi narapidana teroris di LP.
    Polisi bahkan mendatangi keluarga tersebut. Namun, karena tidak punya bukti, polisi tak bisa berbuat banyak.
    Ketika terjadi serangan, barulah polisi kaget, sama kagetnya dengan para tetangga keluarga tersebut yang tak memiliki kecurigaan apa-apa.
    Polisi berjaga-jaga setelah serangan bom bunuh diri ke markas mereka di Surabaya pada Mei lalu.
    AP: Achmad Ibrahim
    Prof Barton menjelaskan bahwa revisi UU Anti Terorisme serta larangan terhadap JAD, pasti membuat kelompok-kelompok ekstrimis kesulitan untuk berkegiatan secara terbuka.
    "Yang kita lihat di Surabaya adalah sel keluarga yang berada di bawah radar, dan berhasil melancarkan serangan tanpa terdeteksi," katanya.
    "Polisi tidak mengidentifikasi adanya ancaman, mungkin karena keluarga itu tidak berkomunikasi dengan pihak di luar mereka, sehingga tidak ada laporan intelijen sama sekali," kata Prof Barton.
    Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa kampanye anti-terorisme di Indonesia selama dua dekade ini berjalan efektif.
    Buktinya, kelompok-kelompok ekstrim ini dipaksa menjadi sangat tertutup, dan tidak menjalankan komunikasi secara luas.
    "Tapi jika polisi saat ini bisa bebas menindaki melawan jaringan JAD, maka sel-sel keluarga tersebut pasti akan tertangkap sebelum mereka bertindak," katanya.
    Penambahan kewenangan bisa efektif
    Menurut Prof Barton UU Anti Terorisme hasil revisi tersebut sama dengan UU yang diberlakukan Australia pada 2014.
    Dengan UU tersebut, Australia melarang warganya bepergian ke Suriah atau Irak untuk bergabung dengan ISIS.
    Undang-undang serupa juga diberlakukan di negara-negara Eropa untuk membatasi ruang gerak kelompok semacam itu

    ABC TV
    "Terjadi keberhasilan di negara-negara Barat dalam menghentikan serangan skala besar seperti 9/11, serangan Bom London pada 2005, atau serangan Bom Madrid sebelumnya," katanya.
    Sampai kini, katanya, belum terjadi lagi serangan-serangan dengan skala serupa, meskipun terjadi serangan di Manchester dan serangan skala kecil lainnya di Inggris tahun lalu.
    Menurut dia, operasi kontra-terorisme telah membatasi jaringan teror besar, sehingga mereka tak berkesempatan menyusun rencana berskala besar.
    "Hal itu juga berlaku untuk Indonesia," katanya.
    Menurut perkiraan, terdapat 500 warga Indonesia yang telah kembali dari Irak dan Suriah sejak ISIS berhasil dihancurkan tahun lalu. Namun sekitar 600 lainnya diyakini masih berada di Turki, menunggu untuk pulang.
    Kebanyakan di antara mereka, diyakini sebagai anggota atau pendukung JAD atau kelompok afiliasinya.
    Pendiri JAD, Aman Abdurrahman, telah dijatuhi vonis hukuman mati bulan lalu terkait dengan berbagai tindakan terorisme.
    Sejumlah warga Indonesia bergabung dengan Mujahidin dalam perang melawan pemerintah Afghanistan yang didukung Uni Soviet saat itu.
    Wikimedia: E Kuvakin
    JAD dan jaringan kelompoknya mengisi kekosongan kelompok ekstrimis Jamaah Islamiah (JI) dilarang pada tahun 2008. JI merupakan kelompok yang mengilhami serangan Bom Bali tahun 2002 dan 2005.
    Menurut Prof Barton, setelah JAD meredup dan hilang, tak bisa dihindari jika kelompok ekstremis lainnya akan menggantikan.
    Dia mencontohkan Darul Islam (DI), kelompok jihadis pertama di Indonesia yang dihancurkan pada 1950-an dan 1960-an, dan para pemimpinnya dieksekusi.
    Beberapa dekade kemudian, anggota keluarga yang terkait dengan DI pergi ke Afghanistan untuk bergabung dengan kelompok Mujahidin.
    Pada tahun 1993, beberapa di antara mereka memisahkan diri dan membentuk Jamaah Islamiah.
    Bahkan sampai hari ini, katanya, sejumlah orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS juga berasal dari keluarga yang terkait ke jaringan Darul Islam.
    "Ini menunjukkan bahwa melarang suatu kelompok tidak membuatnya hilang, atau menghentikan transfer antargenerasi," jelas Profesor Barton.(vv)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini