-->
  • Jelajahi

    Copyright © Indometro Media
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    JustMarkets

    Temukan Kami DI Fb

    Ojek Online 'Tersandung' di Mahkamah Konstitusi

    redaksi
    Selasa, 03 Juli 2018, Juli 03, 2018 WIB Last Updated 2018-07-03T02:47:19Z

    Follow Yok Frend :

    @adv_kaharudinsyah.sh
    image_title
    Para mitra pengemudi ojek online saat unjuk rasa di Jakarta beberapa waktu silam.
    INDOMETRO.ID– Ojek online kembali mendapat batu sandungan. Layanan transportasi berbasis daring itu, yang sudah menjadi andalan dan kebutuhan masyarakat, tidak diakui secara hukum. Ini lantaran sidang Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan pelegalan ojek online sebagai alat transportasi umum.

    Mahkamah tidak mengabulkan gugatan 54 pemohon yang memberikan kuasanya kepada Komite Aksi Transportasi Online (KATO) untuk uji materi Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

    Para pemohon merasa Pasal 47 ayat (3), bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga berlakunya pasal a quo menimbulkan kerugian hak konstitusional para pemohon.

    Pasal tersebut digugat pemohon karena tidak mengatur ojek online sebagai angkutan umum. Padahal, jumlah ojek online semakin masif seiring dengan meningkatnya kebutuhan pengguna.
    “Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Kamis 28 Juni 2018.
    Hakim konstitusi bulat menolak ojek online sebagai angkutan umum. Majelis yang memutus adalah Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitompul, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra.
    Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan, maupun kendaraan bermotor umum. 
    Mahkamah menegaskan tak menutup mata adanya fenomena ojek, namun hal tersebut tak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstutusionalnya norma Pasal 47 ayat 3 tersebut. Sebab, menurut Mahkamah, ketika aplikasi ojek online belum tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan pasal 47 ayat 3 tersebut. 
    Setelah melakukan kajian, Mahkamah memutuskan ojek online bukan alat transportasi yang legal.
    Putusan tersebut menjadi perhatian publik terutama para ojek online dan penyedia layanan seperti Gojek dan Grab. Menanggapi hal tersebut, Gojek dan Grab masih belum berkomentar banyak, mereka masih irit bicara. Mereka menghargai proses hukum tersebut dan sedang mempelajari putusan MK. 
    "Sebagai warga usaha yang baik, kami menghargai dan menghormati keputusan pemerintah dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (MK) terkait status hukum ojek online," jelas Wakil Presiden Corporate Communications Gojek, Michael Say kepada VIVA, Sabtu malam 30 Juni 2018.
    Perusahaan berbagi tumpangan yang didirikan oleh Nadiem Makarim itu meyakini, sejatinya sentuhan teknologi bisa membuat perubahan bagi masyarakat. 
    "Kami percaya, pemanfaatan teknologi merupakan cara yang paling cepat dan tepat untuk membantu masyarakat Indonesia meningkatkan kesejahteraannya," ujar Michael Say. 
    Sedangkan Grab Indonesia, belum merespons putusan MK tersebut. Grab masih mengkaji putusan yang menolak ojek online sebagai angkutan umum. "Terkait putusan MK, kami tidak berkomentar karena baru mengetahuinya lewat media dan kami sedang mempelajarinya," kata perwakilan Grab Indonesia.(viva)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini