Foto |
Sekretaris Jenderal AEI Isaka Yoga mengaku, makin banyak perusahaan yang menawarkan saham di bursa. "Namun belum banyak calon emiten dengan potensi kapitalisasi pasar besar yang mencatatkan diri di bursa," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Untuk diketahui, proses pencatatan saham lewat Initial Public Offering (IPO) terus coba ditingkatkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Hingga saat ini, BEI mencatat sudah ada sekitar 31 perusahaan yang mencatatkan diri di bursa saham sepanjang tahun 2018 ini.
Ia mengungkapkan, salah satu faktor masih minimnya calon emiten dengan kapitalisasi besar karena keterbatasan investor lokal di bursa saham. "Dari segi kemudahan IPO kan sudah ada, hanya investor lokal kita kurang besar," ungkapnya.
Dengan minimnya investor lokal di bursa saham membuat serapan IPO menjadi kecil pula. Contohnya, andai PT Freeport Indonesia berencana IPO 5 persen saham saja, daya serap pasar saat ini belum akan mampu menampungnya.
Isaka menilai, penambahan investor lokal menjadi sangat penting demi menambah daya serap. "Beberapa langkah edukasi seperti kegiatan Yuk Nabung Saham musti terus digenjot sampai ke daerah," tuturnya.
AEI juga mengusulkan biaya pencatatan saham tahunan (annual listing fee) bagi para emiten di BEI kembali ke format lama, berdasarkan modal disetor. Hal ini untuk menarik emiten-emiten berkapitalisasi besar atau big caps masuk ke BEI.
Saat ini, biaya pencatatan tahunan ditetapkan sebesar Rp 500.000. Itu untuk setiap kelipatan Rp 1 miliar dari jumlah nilai kapitalisasi saham terkini perusahaan tercatat yang bersangkutan paling kurang Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
"Perhitungan seperti ini menjadikan perusahaan yang besar seakan-akan malah mendapatkan hukuman karena listing fee-nya lebih besar," ungkap Isaka.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi belum lama ini mengatakan, bahwa pihaknya masih terus berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan untuk menentukan tarif baru pungutan emiten itu. "Itu koordinasi OJK dengan Kementerian Keuangan. Kami berharap tahun ini juga selesai," kata dia.
Rencananya, penurunan pungutan tidak hanya pada emiten namun juga pada perusahaan efek. Dalam PP No. 11/2014 ada tiga jenis perusahaan efek yang dikenai pungutan, yakni agen penjual efek reksa dana, penjamin emisi efek dan perantara perdagangan efek, serta perusahaan pemeringkat efek.
Pungutan yang berlaku untuk ketiganya sama, yakni sebesar 1,2 persen. Namun Fakhri belum bersedia menyebutkan besaran pungutan yang baru, baik untuk perusahaan efek maupun untuk emiten.(rmol)
Untuk diketahui, proses pencatatan saham lewat Initial Public Offering (IPO) terus coba ditingkatkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Hingga saat ini, BEI mencatat sudah ada sekitar 31 perusahaan yang mencatatkan diri di bursa saham sepanjang tahun 2018 ini.
loading...
Ia mengungkapkan, salah satu faktor masih minimnya calon emiten dengan kapitalisasi besar karena keterbatasan investor lokal di bursa saham. "Dari segi kemudahan IPO kan sudah ada, hanya investor lokal kita kurang besar," ungkapnya.
Dengan minimnya investor lokal di bursa saham membuat serapan IPO menjadi kecil pula. Contohnya, andai PT Freeport Indonesia berencana IPO 5 persen saham saja, daya serap pasar saat ini belum akan mampu menampungnya.
Isaka menilai, penambahan investor lokal menjadi sangat penting demi menambah daya serap. "Beberapa langkah edukasi seperti kegiatan Yuk Nabung Saham musti terus digenjot sampai ke daerah," tuturnya.
AEI juga mengusulkan biaya pencatatan saham tahunan (annual listing fee) bagi para emiten di BEI kembali ke format lama, berdasarkan modal disetor. Hal ini untuk menarik emiten-emiten berkapitalisasi besar atau big caps masuk ke BEI.
Saat ini, biaya pencatatan tahunan ditetapkan sebesar Rp 500.000. Itu untuk setiap kelipatan Rp 1 miliar dari jumlah nilai kapitalisasi saham terkini perusahaan tercatat yang bersangkutan paling kurang Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
"Perhitungan seperti ini menjadikan perusahaan yang besar seakan-akan malah mendapatkan hukuman karena listing fee-nya lebih besar," ungkap Isaka.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi belum lama ini mengatakan, bahwa pihaknya masih terus berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan untuk menentukan tarif baru pungutan emiten itu. "Itu koordinasi OJK dengan Kementerian Keuangan. Kami berharap tahun ini juga selesai," kata dia.
Rencananya, penurunan pungutan tidak hanya pada emiten namun juga pada perusahaan efek. Dalam PP No. 11/2014 ada tiga jenis perusahaan efek yang dikenai pungutan, yakni agen penjual efek reksa dana, penjamin emisi efek dan perantara perdagangan efek, serta perusahaan pemeringkat efek.
Pungutan yang berlaku untuk ketiganya sama, yakni sebesar 1,2 persen. Namun Fakhri belum bersedia menyebutkan besaran pungutan yang baru, baik untuk perusahaan efek maupun untuk emiten.(rmol)