Akademisi: Polemik Pilkada Aceh, Presiden Jokowi Diminta Turun Tangan
Jakarta, indometro.id. Polemik soal surat KPU RI Nomor: 151/PP.012-SD/01/KPU/II/2021Tanggal 11 Februari 2021 Perihal Tanggapan Rancangan Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilukada Aceh belum sampai pada titik temu.
Karena itu, tokoh muda asal Aceh, yang kini menjadi Akademisi di Jakarta yang juga Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (SPBI) Dr. Iswadi , M. Pd, meminta Presiden Joko Widodo agar turun tangan menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga tidak kian berlarut.
Polemik terjadi karena Aceh menginginkan Pemilukada dimulai bulan april 2021 sesuai dengan UU PA, sedangkan KPU RI berusaha mengkebirikan keistimewaan Aceh melalui surat KPU RI Nomor: 151/PP.012-SD/01/KPU/II/2021Tanggal 11 Februari 2021.
Keinginan itu telah dietapkan melalui Tahapan Program dan Jadwal pelaksanaan Pilkada Aceh Tahun 2022, serta telah dituangkan dalam Salinan Surat Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 1 PP/01.2-Kpt/11/Prov/I/2021 Tentang Tahapan.
Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Wali Kota dalam Provinsi Aceh Tahun 2022. Namun KPU RI tidak setuju.
Menurut Dr. Iswadi, S.Pd, M.Pd, SK KIP Aceh Nomor 1/PP/01.2-Kpt/11/Prov/I/2021 tentang pilkada itu secara hukum telah sah dan tidak bertentangan dengan ketentuan mana pun di republik ini kepada media ini, Minggu (14/02) di Jakarta.
"Saya sebagai putra asli Aceh yang juga eks ketua relawan Jokowi-JK Provinsi Aceh meminta agar Presiden Jokowi turun tangan menengahi polemik agar tidak berlarut-larut, supaya tahapan pilkada Aceh bisa segera dimulai April 2021 sesuai dengan SK KIP Aceh dan UU PA” kata Iswadi, Minggu (14/2/2021).
Dia berujar SK KIP Aceh Nomor 1/PP/01.2-Kpt/11/Prov/I/2021 yang sudah disetujui DPR Aceh serta pemerintah Aceh merupakan hukum yang sudah bersifat final di Aceh dalam bingkai NKRI.
Jangan sampai perdamaian Aceh dan keistimewaan Aceh tinggal kenangan, ujar Putra Aceh tersebut,tidak ada hak KPU RI melakukan penolakan resmi.
Ia berpandangan secara yuridis SK KIP Aceh tersebut mestinya sudah dinyatakan berlaku karena hanya tiga hal yang bisa membatalkan sebuah peraturan daerah dan SK KIP Aceh.
Tiga hal itu ialah dicabut sendiri oleh Gubernur atau DPR Aceh atau KIP ACEH, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Presiden seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui judicial review.
“Dengan demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang pembentukan produk hukum daerah, maka tidak ada lagi persoalan dengan qanun Pilkada dan SK KIP Aceh, jelasnya.
Iswadi menuturkan, pemilihan kepala Daerah Aceh dan Qanun Aceh, telah diamanatkan dalam memorandum of understanding (MoU) Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. “Jadi tidak benar kalau tidak diatur dalam MoU," katanya.
Perjanjian Helsinki merupakan perjanjian perdamaian antara RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Finlandia pada 15 Agustus 2005 lalu untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Oleh karena itu, jangan sampai gara-gara pilkada perdamaian Aceh terganggu.
Alumni Universitas Negeri Jakarta tersebut mengatakan usia perdamaian Aceh yang termaktub dalam MoU Helsinki (15 Agustus 2005) sudah 15 tahun.
Namun, hingga kini banyak kesepakatan tersebut yang belum terealisasi. Ironisnya justru semakin teramputasi. Terkini, soal Pemilukada dan soal tapal batas Aceh-Sumatera Utara.
Akankah ikatan perjanjian damai itu tercerabut satu persatu? Sehingga keistimewaan Aceh dan perdamaian Aceh akan tinggal kenangan.
Mari kita tunggu sikap dan keputusan resmi Presiden Jokowi terkait Pemilukada dan semua Kepres terkait dengan MOU Helsinki.
Mhd
Posting Komentar